Senin, 28 Mei 2012

Diseminasi Nasionalisme Mbah Liem

Diseminasi Nasionalisme Mbah Liem
Sholahuddin ; Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, Alumnus Centre for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 28 Mei 2012


PENULIS senyum-senyum sendiri melihat foto almarhum KH Moeslim Rifa’i Imampuro beredar di situs NU online, laman resmi PBNU. Ada foto Mbah Liem memboncengkan Iwan Fals, bersama Gus Dur, dan disalami Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Kiai karismatik yang eksentrik dan punya jiwa nasionalisme tinggi itu berpulang pada Kamis, 24 Mei 2012 sekitar pukul 05.00 dalam usia 91 tahun.

Salah satu unikumnya, ia mewajibkan santrinya di Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti melantunkan ’’Indonesia Raya’’ sebelum melaksanakan kegiatan. Sikap nasionalisme tinggi itu juga tercermin dalam penamaan ponpesnya, yang terletak di Desa Troso Kecamatan Karanganom Klaten.

Nama Pancasila Sakti inilah yang menjadi pembeda dari ponpes, yang biasanya oleh pengasuhnya diberi nama islami, nama Arab, sebut saja misalnya Pondok Pesantren Modern Daarus Salam di Ponorogo, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in di Lirboyo Kediri, atau Pondok Al-Anwar di Sarang Rembang.
Sebagai salah satu tokoh yang concern terhadap keutuhan NKRI, Mbah Liem pantas dijuluki kiai nasionalis sejati di Indonesia. Api nasionalisme yang dikobarkanya harus senantiasa kita teladani dan lestarikan dalam kehidupan sehari-hari.
Survei yang diadakan Yayasan Genta Pemuda Indonesia sebagaimana dirilis Koran Tempo, 22 Desember 2011 menunjukkan bahwa pemuda Indonesia masih memiliki semangat nasionalisme tinggi. Indikator survei itu meliputi ketidaksetujuan terhadap konsep negara federal, keinginan memproteksi negara, dan sikap memprioritaskan kepentingan bangsa.

Hasil survei menyebutkan 30,2% responden menyatakan sangat tidak setuju jika Indonesia dipecah menjadi negara federal, 38% menyatakan tidak setuju, dan 8,6% menyatakan setuju. Sementara itu, 62,5% responden memandang perlunya pembatasan investasi asing, 17,3% menilai investasi asing merupakan pemikiran neoliberalisme, dan 16,4% terbuka kepada investasi asing dengan syarat pembagian keuntungan yang adil. Hanya 3,8% responden yang menganggap investasi asing dapat memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Survei ini melibatkan 421 responden dari 33 provinsi, semuanya pengurus organisasi pemuda yang terdaftar di Kemenpora. Mereka menjabat ketua umum, sekretaris, bendahara, atau ketua bidang. Pengumpulan data dilakukan dalam dua periode, yaitu 25 Oktober-8 November 2011 dan 2-10 Desember 2011.

Nilai Kebangsaan

Jika di kalangan pemuda semangat nasionalisme masih tetap tinggi, bagaimana semangat nasionalisme di lingkungan pelajar kita dewasa ini? Pengumuman UN 2012 memperlihatkan  jebloknya nilai Bahasa Indonesia. Dari 7.579 siswa yang tidak lulus ujian nasional, sebagian besar gagal pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia, sama seperti tahun lalu. Bahkan angka ketidaklulusan akibat gagal dalam ujian Bahasa Indonesia lebih tinggi ketimbang ketidaklulusan pada mata pelajaran Bahasa Inggris. (Koran Jakarta, 26/05/12).
Ada pergeseran nilai kecintaan terhadap Bahasa Indonesia di kalangan pelajar. Kecintaan mereka terhadap bahasa nasional telah tergantikan oleh kecintaan terhadap Bahasa Inggris dan juga budaya pop. Inilah pergeseran yang harus menjadi keprihatinan kita bersama.

Nilai-nilai nasionalisme yang ditinggalkan Mbah Liem harus senantiasa kita kembangkan di lingkungan lembaga pendidikan, sebagaimana ia mendiseminasikan nilai-nilai itu di ponpes yang diasuhnya. Hal itu mendasarkan nilai cinta terhadap Tanah Air sebagai bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar