Minggu, 22 April 2012

Visi Budaya Gubernur Jakarta


Visi Budaya Gubernur Jakarta
Agus Dermawan T, Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Seni Budaya
SUMBER : KORAN TEMPO, 21 April 2012



Enam pasang calon Gubernur Jakarta telah siap bertarung untuk memperebutkan kursi utama, yang oleh khalayak disebut takhta DKI-1. Keutamaan Gubernur Jakarta di antaranya diangkat oleh tugasnya sebagai penyuguh wajah cantik negara. Memakai perumpamaan sebuah toko, Gubernur Jakarta adalah perancang etalase yang mengajak masyarakat dunia mengintroduksi seluruh isi Indonesia Raya. Dan lantaran negeri ini sedari dulu termitoskan sebagai pemilik seribu budaya, maka isi etalase itu tak lain adalah pajangan kebudayaan. Suatu hal yang mengingatkan kita kepada Kota Paris, Madrid, London, Bangkok, Roma, Beijing, Wina, dan sebagainya.

Pada 1960-an Presiden Sukarno mulai memikirkan hal ini: betapa Jakarta semestinya tidak sekadar tampil sebagai kota pemerintahan, tetapi juga semerbak sebagai kota kebudayaan. Sehingga ia lantas mengangkat seniman Henk Ngantung sebagai Wakil Gubernur dan kemudian Gubernur Jakarta, 1964-1965. Dasar yang diletakkan Henk Ngantung diteruskan Ali Sadikin alias Bang Ali dari 1966 sampai 1977.

Bang Ali menegaskan bahwa Jakarta memang menyimpan potensi luar biasa untuk itu. Potensi ini semakin nyata terlihat ketika pada 1970-an Jakarta menjadi magnet bagi sektor apa saja. Selain menjadi pusat pusaran politik, kala itu (dan ternyata sampai sekarang) Jakarta menjadi pusat industri. Menjadi pusat perkembangan teknologi. Menjadi pusat dunia usaha, perdagangan, dan pasar. Menjadi wilayah wisata yang menyediakan banyak hiburan. Keserbapusatan Jakarta ini memberikan stimulasi kepada masyarakat Indonesia modern di berbagai daerah untuk segera bergabung. Maka, ketika orang-orang daerah ini berkumpul di Ibu Kota, jadilah Jakarta sebagai wadah geliat budaya dari mana saja.

Jakarta Rumah Besar

Oleh Bang Ali, Jakarta dijadikan rumah besar yang murah hati. Di kota ini semua unsur kebudayaan diberi ruang untuk hidup dan menentukan nasibnya sendiri. Aktivitas komunitas yang bersemangat primordial ini lantas menghasilkan subkultur yang dinamakan kebudayaan urban. Kebudayaan yang mengasimilasikan tradisionalisme daerah dengan gelora Ibu Kota. Kebudayaan yang sah milik daerah asalnya, tetapi juga diklaim sebagai kekayaan baru kebudayaan Jakarta.

Bang Ali mempersilakan semua warganya mendirikan perkumpulan dan kantong-kantong budaya, yang dikoordinasi oleh Dinas Kebudayaan. Dalam implementasi lanjut, pemerintah Kota Jakarta memfasilitasi panggung untuk sosialisasi dan aktualisasinya. Fasilitas ini menyebar sampai ke dasar, bahkan sampai dalam bentuk gelanggang anak-anak muda yang didirikan di lima wilayah Ibu Kota.

Dan fasilitas kebudayaan itu mengkristal dalam bentuk pusat kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dituntun oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Masyarakat tahu bahwa DKJ dan TIM dikelola oleh budayawan dari seluruh pelosok Indonesia. Dari Sunda (Ajip Rosidi), Sumatera Barat (Zaini), Jawa Tengah (Daduk Djajakusuma), Jawa Timur (Trisno Sumardjo), Sumatera Utara (Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana), Sulawesi Utara (H.B. Jassin), dan seregu budayawan asli Betawi yang diikoni Benyamin Suaeb. Lalu, pengerjaan gedung-gedung kesenian itu diserahkan kepada arsitek keturunan Tionghoa, Ir Tjiong Sung Hong. Begitu berhasilnya lembaga ini, sampai UNESCO menawarkan agar TIM-DKJ menjadi pusat kebudayaan Melayu. Sementara Sang Gubernur, yang tercatat sebagai orang Sumedang, memanggil dirinya dengan "Bang, istrinya disebut "Empok", panggilan akrab milik warga Betawi.

Dampak positif dari terakomodasinya heterogenitas ini adalah munculnya rasa persaudaraan dan toleransi antarsuku. Selebihnya, menghadirkan rasa bangga, karena apa yang dimiliki setiap suku diberi peluang untuk hadir eksistensial dan kontributif di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang kompleks. Rasa bangga ini menjelma dalam bentuk sejuknya kepala serta hangatnya hati setiap insan urban. Sehingga, perkelahian antarkelompok yang dilingkupi sentimen ras menjadi muskil terjadi. Cerita ihwal darah suku A mengalir akibat tikaman dari suku B adalah dongeng yang mustahil, karena mereka merasa ikut memiliki Jakarta, dan merasa terpanggil untuk memelihara kultur plural Jakarta.

Apa yang dilakukan oleh Bang Ali tentu saja berusaha diteruskan oleh pelanjutnya, seperti Tjokropranolo, Surjadi Sudirdja, Suprapto, Wiyogo Admodarminto, Sutiyoso. Namun kompleksitas persoalan Jakarta yang semakin membelit menyebabkan visi pendekatan budaya ini sedikit demi sedikit tidak terlalu terprioritaskan. Benturan kepentingan politis yang datang dari pemerintah pusat juga merupakan sekian banyak sebab.

Fauzi Bowo alias Foke, gubernur incumbent yang tahu betul arti dan fungsi kebudayaan, terlihat tak pernah letih mengembalikan visi itu dalam ruang pemerintahannya. Namun situasi darurat terus menggempur dari segala arah. "Saya tahu, heterogenitas budaya merupakan roh utama Jakarta sejak dahulu kala," kata Foke, yang tercatat sebagai warga asli Jakarta.

Cerita Lama Akulturasi

Visi Jakarta dalam mengakomodasi dan mengkompilasi aneka kebudayaan itu memang bukan hal baru. Disimak dari sejarahnya, Jakarta atau Betawi adalah kumpulan dari kebudayaan campuran yang tumbuh sejak tahun 1600. Bahkan nama Betawi diambil dari kata Batavia, sebutan pemerintah Hindia Belanda atas Jakarta. Sebagai kota pelabuhan, Batavia menghimpun aneka suku bangsa pelaut dari banyak penjuru Nusantara, seperti Bugis, Melayu, Jawa, dan Madura. Dalam kurun yang berbeda, bergabung suku Sunda, Bali, dan sebagainya yang datang lewat darat. Mereka menggumpal dalam komunitas pesisir Batavia.

Akulturasi yang terjadi di Betawi semakin unik ketika bangsa Cina, Spanyol, Belanda, Arab, Jerman, serta Inggris ikut masuk dan bermain-main di dalamnya. Kebudayaan Betawi pun menjadi semakin berwarna. Pengaruh Portugis, yang dibawa oleh orang-orang Mardijkers (orang-orang dari Malabar dan India), sampai sekarang masih terasa dalam dunia musik dan tari-tarian. Kebudayaan Cina meresap dalam bahasa go-cap, go-ceng, sampai kesenian musik dan panggung semacam gambang rancak dan gambang kromong.

Adapun pengaruh Arab yang dibawa oleh orang Moor (dari kata Portugis, mouro, yang artinya muslim) masuk dalam bentuk kebudayaan Islam. Dalam masyarakat Betawi, pengaruh Arab ini kelihatan dominan. Dan itu ditunjukkan lewat prinsip yang dianut oleh keluarga Betawi, bahwa kemampuan mengaji atau membaca kitab Al-Quran dianggap lebih penting ketimbang menguasai ilmu dari pendidikan umum. Itu sebabnya, cita-cita utama masyarakat Betawi adalah "berlayar", yang maksudnya menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Alhasil, pendekatan budaya adalah sebuah konsep yang paling penting dalam mengangkat Jakarta sebagai Ibu kota negara, sebagai etalase Nusantara. Karena itu, kemacetan jalan raya, banjir ganas, agresivitas perilaku warga (dalam setiap levelnya), sesungguhnya hanya akibat dari mampetnya rasa budaya. Yang tampil dalam bentuk sikap mau menang sendiri, akibat runtuhnya puncak-puncak kearifan lokal yang mengagulkan toleransi antarsesama.

Foke-Nachrowi, Hidayat-Didik, Alex-Nono, Hendardji-Riza, Faizal-Biem, sampai Jokowi-Ahok tak akan berhasil memperbaiki Jakarta tanpa melihat kebudayaan sebagai dasar pelaksanaan tata masyarakat dan tata kota. Kebudayaan kebersamaan yang hilang akan membuat Kota Jakarta kusut dan lantas tenggelam. Dan etalase itu hanya tinggal angan-angan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar