Visi Budaya
Gubernur Jakarta
Agus Dermawan T, Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Seni Budaya
SUMBER
: KORAN TEMPO, 21 April 2012
Enam pasang calon Gubernur Jakarta telah siap
bertarung untuk memperebutkan kursi utama, yang oleh khalayak disebut takhta DKI-1.
Keutamaan Gubernur Jakarta di antaranya diangkat oleh tugasnya sebagai penyuguh
wajah cantik negara. Memakai perumpamaan sebuah toko, Gubernur Jakarta adalah
perancang etalase yang mengajak masyarakat dunia mengintroduksi seluruh isi
Indonesia Raya. Dan lantaran negeri ini sedari dulu termitoskan sebagai pemilik
seribu budaya, maka isi etalase itu tak lain adalah pajangan kebudayaan. Suatu
hal yang mengingatkan kita kepada Kota Paris, Madrid, London, Bangkok, Roma,
Beijing, Wina, dan sebagainya.
Pada 1960-an Presiden Sukarno mulai
memikirkan hal ini: betapa Jakarta semestinya tidak sekadar tampil sebagai kota
pemerintahan, tetapi juga semerbak sebagai kota kebudayaan. Sehingga ia lantas
mengangkat seniman Henk Ngantung sebagai Wakil Gubernur dan kemudian Gubernur
Jakarta, 1964-1965. Dasar yang diletakkan Henk Ngantung diteruskan Ali Sadikin
alias Bang Ali dari 1966 sampai 1977.
Bang Ali menegaskan bahwa Jakarta memang
menyimpan potensi luar biasa untuk itu. Potensi ini semakin nyata terlihat
ketika pada 1970-an Jakarta menjadi magnet bagi sektor apa saja. Selain menjadi
pusat pusaran politik, kala itu (dan ternyata sampai sekarang) Jakarta menjadi
pusat industri. Menjadi pusat perkembangan teknologi. Menjadi pusat dunia
usaha, perdagangan, dan pasar. Menjadi wilayah wisata yang menyediakan banyak
hiburan. Keserbapusatan Jakarta ini memberikan stimulasi kepada masyarakat
Indonesia modern di berbagai daerah untuk segera bergabung. Maka, ketika
orang-orang daerah ini berkumpul di Ibu Kota, jadilah Jakarta sebagai wadah
geliat budaya dari mana saja.
Jakarta Rumah Besar
Oleh Bang Ali, Jakarta dijadikan rumah besar
yang murah hati. Di kota ini semua unsur kebudayaan diberi ruang untuk hidup
dan menentukan nasibnya sendiri. Aktivitas komunitas yang bersemangat primordial
ini lantas menghasilkan subkultur yang dinamakan kebudayaan urban. Kebudayaan
yang mengasimilasikan tradisionalisme daerah dengan gelora Ibu Kota. Kebudayaan
yang sah milik daerah asalnya, tetapi juga diklaim sebagai kekayaan baru
kebudayaan Jakarta.
Bang Ali mempersilakan semua warganya
mendirikan perkumpulan dan kantong-kantong budaya, yang dikoordinasi oleh Dinas
Kebudayaan. Dalam implementasi lanjut, pemerintah Kota Jakarta memfasilitasi
panggung untuk sosialisasi dan aktualisasinya. Fasilitas ini menyebar sampai ke
dasar, bahkan sampai dalam bentuk gelanggang anak-anak muda yang didirikan di
lima wilayah Ibu Kota.
Dan fasilitas kebudayaan itu mengkristal
dalam bentuk pusat kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dituntun
oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Masyarakat tahu bahwa DKJ dan TIM dikelola
oleh budayawan dari seluruh pelosok Indonesia. Dari Sunda (Ajip Rosidi),
Sumatera Barat (Zaini), Jawa Tengah (Daduk Djajakusuma), Jawa Timur (Trisno
Sumardjo), Sumatera Utara (Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana), Sulawesi
Utara (H.B. Jassin), dan seregu budayawan asli Betawi yang diikoni Benyamin
Suaeb. Lalu, pengerjaan gedung-gedung kesenian itu diserahkan kepada arsitek
keturunan Tionghoa, Ir Tjiong Sung Hong. Begitu berhasilnya lembaga ini, sampai
UNESCO menawarkan agar TIM-DKJ menjadi pusat kebudayaan Melayu. Sementara Sang
Gubernur, yang tercatat sebagai orang Sumedang, memanggil dirinya dengan
"Bang, istrinya disebut "Empok", panggilan akrab milik warga
Betawi.
Dampak positif dari terakomodasinya
heterogenitas ini adalah munculnya rasa persaudaraan dan toleransi antarsuku.
Selebihnya, menghadirkan rasa bangga, karena apa yang dimiliki setiap suku
diberi peluang untuk hadir eksistensial dan kontributif di tengah hiruk-pikuk
Jakarta yang kompleks. Rasa bangga ini menjelma dalam bentuk sejuknya kepala
serta hangatnya hati setiap insan urban. Sehingga, perkelahian antarkelompok
yang dilingkupi sentimen ras menjadi muskil terjadi. Cerita ihwal darah suku A
mengalir akibat tikaman dari suku B adalah dongeng yang mustahil, karena mereka
merasa ikut memiliki Jakarta, dan merasa terpanggil untuk memelihara kultur
plural Jakarta.
Apa yang dilakukan oleh Bang Ali tentu saja
berusaha diteruskan oleh pelanjutnya, seperti Tjokropranolo, Surjadi Sudirdja,
Suprapto, Wiyogo Admodarminto, Sutiyoso. Namun kompleksitas persoalan Jakarta
yang semakin membelit menyebabkan visi pendekatan budaya ini sedikit demi
sedikit tidak terlalu terprioritaskan. Benturan kepentingan politis yang datang
dari pemerintah pusat juga merupakan sekian banyak sebab.
Fauzi Bowo alias Foke, gubernur incumbent
yang tahu betul arti dan fungsi kebudayaan, terlihat tak pernah letih
mengembalikan visi itu dalam ruang pemerintahannya. Namun situasi darurat terus
menggempur dari segala arah. "Saya tahu, heterogenitas budaya merupakan
roh utama Jakarta sejak dahulu kala," kata Foke, yang tercatat sebagai
warga asli Jakarta.
Cerita Lama Akulturasi
Visi Jakarta dalam mengakomodasi dan
mengkompilasi aneka kebudayaan itu memang bukan hal baru. Disimak dari
sejarahnya, Jakarta atau Betawi adalah kumpulan dari kebudayaan campuran yang
tumbuh sejak tahun 1600. Bahkan nama Betawi diambil dari kata Batavia, sebutan
pemerintah Hindia Belanda atas Jakarta. Sebagai kota pelabuhan, Batavia menghimpun
aneka suku bangsa pelaut dari banyak penjuru Nusantara, seperti Bugis, Melayu,
Jawa, dan Madura. Dalam kurun yang berbeda, bergabung suku Sunda, Bali, dan
sebagainya yang datang lewat darat. Mereka menggumpal dalam komunitas pesisir
Batavia.
Akulturasi yang terjadi di Betawi semakin
unik ketika bangsa Cina, Spanyol, Belanda, Arab, Jerman, serta Inggris ikut
masuk dan bermain-main di dalamnya. Kebudayaan Betawi pun menjadi semakin
berwarna. Pengaruh Portugis, yang dibawa oleh orang-orang Mardijkers (orang-orang
dari Malabar dan India), sampai sekarang masih terasa dalam dunia musik dan
tari-tarian. Kebudayaan Cina meresap dalam bahasa go-cap, go-ceng, sampai
kesenian musik dan panggung semacam gambang rancak dan gambang kromong.
Adapun pengaruh Arab yang dibawa oleh orang
Moor (dari kata Portugis, mouro, yang artinya muslim) masuk dalam bentuk
kebudayaan Islam. Dalam masyarakat Betawi, pengaruh Arab ini kelihatan dominan.
Dan itu ditunjukkan lewat prinsip yang dianut oleh keluarga Betawi, bahwa
kemampuan mengaji atau membaca kitab Al-Quran dianggap lebih penting ketimbang
menguasai ilmu dari pendidikan umum. Itu sebabnya, cita-cita utama masyarakat
Betawi adalah "berlayar", yang maksudnya menunaikan ibadah haji ke
Mekah.
Alhasil, pendekatan budaya adalah sebuah
konsep yang paling penting dalam mengangkat Jakarta sebagai Ibu kota negara,
sebagai etalase Nusantara. Karena itu, kemacetan jalan raya, banjir ganas,
agresivitas perilaku warga (dalam setiap levelnya), sesungguhnya hanya akibat
dari mampetnya rasa budaya. Yang tampil dalam bentuk sikap mau menang sendiri,
akibat runtuhnya puncak-puncak kearifan lokal yang mengagulkan toleransi
antarsesama.
Foke-Nachrowi, Hidayat-Didik, Alex-Nono,
Hendardji-Riza, Faizal-Biem, sampai Jokowi-Ahok tak akan berhasil memperbaiki
Jakarta tanpa melihat kebudayaan sebagai dasar pelaksanaan tata masyarakat dan
tata kota. Kebudayaan kebersamaan yang hilang akan membuat Kota Jakarta kusut
dan lantas tenggelam. Dan etalase itu hanya tinggal angan-angan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar