Melindungi
Hak-Hak Petani
Erpan Faryadi ; Anggota
Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Tinggal di Cimahi, Jawa Barat
SUMBER : SUARA
KARYA, 31 Mei 2012
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari konflik agraria yang terjadi
pada 22 Mei 2012 di Deli Serdang, Sumatera Utara antara PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) II dengan warga, yang membuat sekitar 22 orang terluka? Bentrokan itu
dipicu oleh sengketa lahan seluas 80 hektar antara PTPN II dengan warga yang
mengklaim lahan itu milik mereka. Sementara PTPN II menyebutkan lahan itu
menjadi hak PTPN II sejak 2003.
Demikian pula, dari Jember, Jawa Timur, pada hari yang sama
dilaporkan ratusan warga berupaya menduduki lahan hak guna usaha milik PTPN XI
di Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji. Warga menanam pohon pisang pada lahan
yang disengketakan itu. Atau pun, konflik tanah di Mesuji dan Bima awal 2012
dan menewaskan sejumlah orang. Hal ini kemudian mendorong DPR mengambil
inisiatif untuk membentuk panitia penyelesaian konflik agraria, yang sayangnya
masih terhambat.
Dapat dikatakan, pemicu sejumlah sengketa tanah tersebut adalah
ketidakadilan. Yakni, situasi di mana terjadi ketimpangan di dalam penguasaan
dan pemilikan tanah dan sumber daya alam. Guna merombak ketimpangan agraria itu
secara menyeluruh, perlu dilakukan upaya-upaya sistematis oleh negara bersama
masyarakat untuk menjalankan apa yang dikenal sebagai program pembaruan agraria
(agrarian reform). Pada gilirannya,
program pembaruan agraria akan mengurangi konflik agraria, meski tidak
menghapuskannya sama sekali.
Karena, program itu belum dikerjakan oleh pemerintah, tuntutan
atasnya terus berkembang di mana-mana. Dalam tahun-tahun terakhir, seperti
diperlihatkan kasus-kasus tanah di atas, peristiwa pendudukan tanah maupun
blokade-blokade produksi adalah tuntutan nyata atas pentingnya program
pembaruan agraria.
Konflik agraria yang kita saksikan di Mesuji dan Bima adalah bukti
nyata atas tuntutan pengembalian hak atas tanah, yang menurut masyarakat, telah
diambil akibat adanya konsesi untuk perkebunan dan kehutanan (Mesuji) dan
pertambangan (Bima). Demikian pula, sengketa tanah di Deli Serdang dan Jember
terkait dengan saling klaim hak atas tanah antara warga dengan konsesi hak guna
usaha (HGU) perkebunan besar.
Konteks baru pengambilan tanah demi kepentingan energi nabati dan
pangan, serta dampaknya bagi petani Indonesia dan relevansi dijalankannya
pembaruan agraria di dalam konteks baru itu.
Dengan terjadinya krisis kapitalisme global yang semula dipicu
oleh krisis keuangan di AS tahun 2008 dan sekarang berimbas ke Eropa, membuat
orang berpikir keras mengenai jalan keluarnya agar krisis dapat teratasi. Salah
satunya adalah kembali berinvestasi ke sektor pertanian, dengan harapan surplus
pertanian yang diperoleh dapat digunakan untuk menggerakkan kembali roda
ekonomi yang melambat. Komoditas yang diandalkan untuk itu adalah produk pangan
dan minyak nabati (biofuel).
Penggunaan energi nabati sebagai pengganti energi minyak bumi
dewasa ini telah menjadi kebijakan energi sejumlah negeri industri maju seperti
AS, Uni Eropa, dan Jepang. Kebijakan itu segera diikuti secara serentak oleh
berbagai negeri lain, termasuk Indonesia karena terkait dengan syarat pemberian
bantuan pembangunan dari lembaga-lembaga kreditor multilateral utama seperti
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Uni Eropa sendiri mengandalkan pasokan energi nabati biodiesel
dari Indonesia dan Malaysia, yang diolah dari minyak kelapa sawit (CPO).
Artinya, minyak kelapa sawit yang semula hanya digunakan untuk keperluan
industri makanan, kosmetik, dan kesehatan, dewasa ini juga telah menjadi
komoditas penting di dalam industri minyak nabati sebagai bahan baku utama
pembuatan biodiesel.
Berapa luas tanah Indonesia yang diperlukan guna memproduksi biodiesel buat negeri-negeri Eropa ini?
Sebuah lembaga dari Belanda, The Dutch
Environment Assessment Agency, menaksir diperlukan sekitar 2,5-3 juta
hektar tanah di Indonesia dan Malaysia dibutuhkan untuk produksi biodiesel (Tim Rice, 2010: 35-37). Pada 2005,
melalui Menteri Pertanian saat itu Anton Apriantono, Indonesia menyatakan
komitmennya untuk menghasilkan energi nabati baik guna konsumsi domestik
ataupun ekspor, dengan pembukaan proyek kebun sawit terbesar di dunia di
Kalimantan seluas 1,8 juta hektar.
Sementara itu, naiknya harga komoditas
pangan dunia, yang mencerminkan adanya krisis pangan, menyebabkan ratusan juta
penduduk mengalami kesulitan memperoleh pangan. Meskipun demikian, kepanikan
atas krisis pangan dunia lebih disebabkan oleh faktor spekulasi dalam rangka
mengambil keuntungan dari perdagangan komoditas pangan. Selain adanya faktor
tekanan yang hebat dari industri minyak nabati untuk memproduksi minyak nabati
dari produk-produk pangan. Contohnya adalah produk pangan seperti kedelai,
kelapa sawit, jagung, dan tebu yang sebelumnya diproduksi semata-mata untuk
konsumsi makanan manusia dan pakan ternak, sekarang produksinya harus juga
dialokasikan untuk diolah menjadi minyak nabati.
Oleh karenanya, kepanikan terhadap adanya krisis pangan dunia,
memang dengan sengaja dihembuskan oleh sebagai pintu masuk untuk menata kembali
produksi pangan melalui pertanian pangan skala raksasa. Dengan menyatakan bahwa
untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada pilihan lain bagi
dunia selain meningkatkan produktivitas pertanian melalui perkembangan
teknologi dan melibatkan swasta lebih banyak.
Inilah tema kampanye global untuk mengatasi krisis pangan yang
diluncurkan FAO di dalam konferensinya pada 2009. Dengan sigap Indonesia
melalui Wakil Presiden Boediono menanggapinya. Dalam pidatonya yang disampaikan
pada Konferensi FAO di Roma itu, dia menyebutkan Indonesia siap memberikan
dukungannya bagi pemenuhan pangan dunia, termasuk cita-cita besar menjadikan
Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang siap kapan saja memasok pangan
seperti beras. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar