Menumbuhkan
Hasrat Belajar Siswa
Iwan
Pranoto ; Guru Besar Institut Teknologi
Bandung
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 28 Mei 2012
SUNGGUH
mengejutkan pernyataan beberapa pejabat tinggi Kemendikbud yang berisi
pengakuan penggunaan ujian nasional (UN) dalam memaksa siswa belajar. Yang
terakhir, berita `Kemendikbud Berkukuh Lanjutkan UN', Media Indonesia, 19 Mei
2012, yang menuliskan argumen, `Tanpa ada UN mereka (siswa) akan santai saja'.
Senada dengan itu, dalam sebuah berita online
di sebuah portal disampaikan sebuah pernyataan, “Percayalah, kalau tidak diberi
ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar.“
Jika
disampaikan orang awam, kalimat itu mungkin wajar. Namun jika keluar dari
pejabat tinggi di kementerian yang bertanggung jawab dalam kebijakan pendidikan
di tingkat nasional, pernyataan itu sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan.
Secara implisit, pernyataanpernyataan tersebut membenarkan bahwa petinggi
Kemendikbud mendukung upaya memaksa anak belajar dengan cara ditakuti `tak
lulus'. Secara implisit pula itu mengakui bahwa dirinya gagal menumbuhkan sikap
sukacita belajar pada siswa.
Hasrat Belajar
Dari
sudut teori belajar, pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip
belajar, yang mensyaratkan kondisi emosi siswa yang tak cemas sebagai prasyarat
terjadinya proses belajar yang efektif. Selain itu, memaksa siswa belajar
memanfaatkan ancaman kegagalan lulus UN itu juga melahirkan pertanyaan yang
lebih mendasar, “Apa jaminannya siswa kita nanti 20 tahun dari sekarang tetap
mau belajar pada saat sudah tidak ada kita dan tidak ada ancaman tak lulus UN?”
Kalau siswa belajar hanya saat ini, tetapi tidak belajar lagi selepas sekolah,
lalu apa gunanya sekolah? Pendidikan yang baik tidak hanya membuat siswa
belajar sekarang saja, tetapi justru menjamin bahwa siswa tetap berhasrat
belajar di kemudian hari.
Tanda
sekolah dan guru yang berhasil ialah saat siswa telah lulus dan telah tidak ada
yang mengharuskan mereka belajar, tetapi mereka tetap berhasrat dan cakap
belajar hal-hal baru. Si bijak akan belajar pada saat tak perlu, tetapi si
pandir akan belajar saat terpaksa. Tentu pendidikan yang diangan-angankan dalam
Pembukaan UUD ‘45 kita adalah yang pertama, bukan belajar karena terpaksa.
Secara
umum, tugas guru ialah membelajarkan tiga hal: pengetahuan, skill, sikap. Yang paling penting ialah
sikap. Salah satu sikap utama yang ditumbuhkan pendidik ialah suka belajar. Apa
gunanya menguasai pengetahuan dari ribuan buku jika tak punya gairah atau
hasrat belajar? Ilmu pengetahuan di dunia industri berkembang terlalu cepat
untuk dikejar institusi pendidikan. Oleh karena itu, pendidik masa sekarang
justru perlu menyiapkan lulusannya untuk siap belajar hal-hal baru. Sikap suka
belajar justru menjadi sangat vital dalam karakter siswa zaman sekarang.
Pendidikan
telah menyadari hal tersebut. Dalam teori belajar modern seperti teori otak
yang didasari ilmu saraf, motivasi intrinsik untuk belajar menjadi syarat
mutlak agar belajar efektif. Hanya dengan memiliki motivasi intrinsik atau
hasrat belajar dari diri sendiri seorang siswa dapat belajar efektif. Sebaliknya,
pemaksaan apalagi kecemasan tidak mampu membuat anak belajar efektif. Hasrat
belajar itulah yang kami--guru--tumbuhkan di murid kami melalui kegiatan
sehari-hari.
Ancaman
Argumen
bahwa UN dapat memaksa siswa belajar itu memang betul, tak ada yang dapat
membantahnya. Akan tetapi, hal tersebut sangat berbahaya bagi ka berbahaya bagi
karakter siswa kita terhadap budaya belajar. Tanpa kesukaan dan hasrat belajar,
anakanak kita tak mungkin akan punya inisiatif serta kemampuan belajar untuk
mengembangkan dirinya di kemudian hari. Padahal, kecakapan dan hasrat
belajarlah satu satunya bekal yang dapat disiapkan bagi anak cucu kita untuk
berlaga di masa depan yang penuh ketakpastian.
Pendidik
yang baik tidak akan menakuti siswa menggunakan kecemasan tak lulus ujian
sebagai motivasi agar siswanya belajar. Pelatih atau pengajar
keterampilan-keterampilan teknis sederhana mungkin memang menggunakan ancaman
untuk memaksa anak latihnya supaya berlatih. Itu efektif untuk segala bentuk
keterampilan yang membutuhkan low order
of thinking (LOT) semata atau berpikir tingkat rendah. Namun, pendidikan
bukan pelatihan. Guru pendidik tidak berfungsi menciptakan atlet, tetapi justru
menyadarkan siswanya untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, manusia
yang cakap dan suka belajar selama hidupnya. Oleh karena itu, pada masa
sekarang guru bertugas mengajak anak didiknya untuk merasakan nikmatnya
belajar. Kenikmatan harus dirasakan siswa saat belajar setiap saat, bukan saat
kelulusan saja.
Ketakutan
tak lulus UN yang menimbulkan kecemasan pada anak memang merupakan senjata
pamungkas ampuh untuk memaksa siswa belajar, tetapi belajar seperti apa? Jika
didasari kecemasan atau ketakutan, siswa akan
learning for the test (menghafal),
bukan learning for understanding
(belajar untuk memahami). Akibatnya jika menggunakan kecemasan sebagai alat
pemaksa siswa belajar, kita tentunya tidak dapat berharap anak-anak kita akan
berpikir tingkat tinggi atau high order
of thinking (HOT).
Di
samping akan mendorong LOT bukan HOT, kecemasan sebagai pemaksa siswa belajar
sangat berbahaya. Pengambil kebijakan pendidikan di Republik ini dan semua
pendidik perlu ingat bahwa jumlah pengidap math
anxiety, atau siswa yang cemas terhadap matematika, di Indonesia adalah
salah satu yang paling tinggi di dunia.
Menurut
beberapa riset tentang math anxiety,
penggunaan ancaman dalam pembelajaran merupakan sebabnya. Jika itu rupakan
salah satu penyebabnya. Jika itu berkelanjutan, pengidap math anxiety akan menjadi math
phobia yang akan sangat sulit diobati. Malah menurut Prof Daniel Mohammad
Rosyid, jika keadaan itu diteruskan akan menjadi thinking disorder, atau ketidakberesan berpikir. Hal itu sangat
serius.
Secara
biologis, dalam kondisi tertekan atau cemas, bagian utama otak yang domi nan
adalah batang otak. Itu merupakan bagian otak yang menangani survival, cari selamat. Otak tersebut
akan berupaya total untuk menyelamatkan diri. Fokusnya satu, yakni selamat.
Akibatnya fokusnya juga hanya pada berpikir tingkat sangat rendah, tak akan
berpikir tingkat tinggi. Pertimbangan moral dan integritas pun akan
dinomorduakan pada saat kita terancam dan pada saat menghadapi situasi
hidup-mati. Memang untuk melatih binatang di sirkus digunakan ancaman pakai
pecut dan sangat berhasil.
Kuda,
macan, gajah, dsb patuh mempertontonkan keterampilan yang diminta pelatih di
sirkus. Inikah yang ingin kita terapkan ke anak-anak kita? Ancaman berbeda
dengan tantangan. Itu harus dibedakan. Pembelajaran yang dibutuhkan sekarang
ialah yang menyampaikan ilmu baru atau cara baru, memberikan tantangan yang
sesuai dengan jenjang kecakapan anak, dan dukungan.
Lalu,
apakah kita tak boleh mengancam sedikit pun agar siswa belajar? Idealnya tidak.
Namun jika dilakukan dalam waktu yang pendek, serta tidak melibatkan vonis
‘mati-hidup’ atau ‘lulus-tidak’, itu masih diperbolehkan. Selain sangat
berbahaya bagi karakter siswa, ancaman itu melanggar kenyataan bahwa belajar
merupakan kegiatan intelektual di taraf mental.
Jika,
katakanlah, kita memaksa anak belajar dan memang berhasil membuat mereka duduk
membaca buku, lalu yakinkah kita bahwa mereka sungguh-sungguh belajar? Apakah
semua anak sudah punya hasrat belajar sekarang? Sayangnya tidak. Jika ya, tugas
guru akan sangat mudah. Namun, walau tak punya hasrat belajar secara alami,
anak punya rasa keingintahuan. Itu tertanam atau built in di benaknya. Guru yang baik akan memanfaatkan
keingintahuan siswa tersebut untuk memicu hasrat belajarnya.
Idealisme Pendidik
Tentunya
tugas guru dalam menyadarkan siswa agar menjadi manusia pembelajar sepanjang
hayat bukan tugas mudah. Bila saat ini di masyarakat berkembang perilaku
belajar karena terpaksa dan menunggu diancam, itu benar.
Namun, pendidikan dan terutama Kemendikbud sepatutnya menggagas keadaan yang seharusnya terjadi, bukan menguatkan perilaku buruk yang sedang terjadi. Pendidikan yang diamanatkan melalui UUD'45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya menggagas keadaan ideal yang diimpikan seharusnya terjadi, yakni anak-anak kita berhasrat belajar.
Namun, pendidikan dan terutama Kemendikbud sepatutnya menggagas keadaan yang seharusnya terjadi, bukan menguatkan perilaku buruk yang sedang terjadi. Pendidikan yang diamanatkan melalui UUD'45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya menggagas keadaan ideal yang diimpikan seharusnya terjadi, yakni anak-anak kita berhasrat belajar.
Sangat
menyedihkan jika pendidik yang sadar akan sebuah perilaku buruk yang sedang
terjadi di masyarakat justru mengalah dan membenarkan kemudian melembagakan
perilaku buruk itu. Pendidik di mana pun yakin tentang harapan kehidupan yang
lebih baik di hari esok.
Pendidikan
merupakan sebuah rekayasa sosial berdasarkan idealisme dan dengan kepercayaan
total pada harapan. Guru secara filosofis seharusnya yakin pada harapan
kebaikan. Guru itu seperti petani sinting yang tetap menanam benih walaupun
sudah diberi tahu bahwa ada peluang 90% akan terjadi banjir.
Kami--guru--percaya terhadap harapan keberhasilan 10%. ●
Absurdnya para penggagas kebijakan pendidikan (DIKTI),MENDIKBUD itu dahulu nya berasal dari golongan cendekia yang bertitle professor / mahaguru di universitas terkenal.Dan mungkin saja dahulu mereka pun meneriakkan idealisme -idealisme seperti ini. Namun setelah mereka berada didalam lingkaran kekuasaan malah berbalik melakukan apa yang mereka tentang dahulu.Gejala seperti itu sangat marak .Layak nya politisi badak, manusia , cendekia yang masuk golongan nir ' karakter' .
BalasHapusNaudzubillah min dzalik.Pak guru besar kita ini terlalu -sangat terlalu. Terlalu meng-agung-agungkan khayalan tidak masuk akal.Alangkah bijaksana terlebih dahulu intropeksi,ber-refleksi. Sebagai informasi diPerguruan Terbaik konon katanya Institut Terbaik Bangsa sangat banyak lembaga bimbingan belajar (privat-privat ) untuk mahasiswa tingkat pertama untuk MK : Calculus,Fisika,Kimia. APAKAH itu ciri calon pemikir dan pemimpin bangsa?sejauh itukah kualitas perguruan tinggi yang mengklaim memiliki putra -putri terbaik bangsa! Barangkali dosen-dosen termasuk mahaguru disana gagal menumbuhkan hasrat belajar mahasiswa-mahasiswa tersebut.Sehingga mahasiswa itu tidak memiliki semangat belajar , rasa percsya diri belajar,sikap kedewasaan berpikir , kemandirian .Di sisi lain ini bisa terjadi karena dosen tidak memperhatikan kualitas bagaimana ia mendidik.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak Professor,guru adalah alumni(produk intelektual)berbagai perguruan tinggi PTN dan PTS di negeri ini. Jadi jika guru-guru itu sangat banyak mayoritas bertipe guru kognitif,akibatnya mereka para guru kognitif gagal menanamkan hasrat belajar pada anak didik, nilai-nilai moral,etika dan keteladanan pada anak- anak didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah , sebenarnya mereka sendiri tidak dapat dipersalahkan.Karena mereka juga output dari profesor-profesor di universitas . Jadi ada ikatan dan mata rantai antara profesor , guru-guru biasa dan anak didik.Rendahnya kualitas pendidikan dasar-menengah tak terlepas dari kebijakan pemerintah yang sangat sering tidak sehat dan kegagalan pendidikan tinggi membentuk intelektualitas dan moral mereka selain faktor seperti kesejahteraan.Output sistem pendidikan , selama inilebih banyak guru-guru kognitif , padahal jika menginginkan sumberdayamanusia berkualitas guru-guru kreatiflah yang harus dijadikan tolak ukur kaulitas guru.
BalasHapus