Menjaga
Kehormatan Pengadilan
Denny Indrayana ; Wakil
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER : SINDO, 29
Mei 2012
Seorang
rekan mengirimkan pesan BBM (Black- Berry
Messenger) yang lebih kurang berbunyi,“Tidak bisa dibenarkan propaganda
pengadilan sebagai benteng koruptor.
Seluruh warga negara, koruptor
sekalipun, berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan. Lembaga peradilan,
termasuk PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), adalah salah satu alat untuk memperjuangkan
keadilan tersebut yang dijamin oleh konstitusi. Maka tuduhan terhadap
pengadilan sebagai benteng koruptor adalah tuduhan yang menyalahi keadaban
konstitusi.” Saya tersenyum membaca pesan BBM tersebut. Sekilas pesan itu
terasa benar dan heroik.
Namun, ada cacat logika mendasar di dalamnya. Atas pesan BBM tersebut, saya menjawab, “Silakan saja atas nama konstitusi membela gubernur koruptor untuk diberhentikan. Silakan mengatakan memberhentikan gubernur yang korup, dan telah ada dalam penjara, sebagai perbuatan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan keadaban konstitusi.
Namun, pertanyaannya: Konstitusi beradab mana yang mengatakan koruptor tetap berhak menjabat sebagai gubernur dari balik jeruji besi penjara?” Agaknya, komunikasi BBM di atas terjadi karena pernyataan saya agar peradilan tata usaha negara tidak menjadi benteng pertahanan bagi para pelaku tindak pidana korupsi disalahpahami. Pernyataan itu saya sampaikan justru sebagai bentuk penghormatan kepada lembaga peradilan sebagai lembaga yang mahaagung, yang bertugas menegakkan keadilan di muka bumi.
Saya tidak rela lembaga peradilan yang terhormat justru dimanfaatkan sebagai tameng bagi para pelaku kejahatan. Indonesia sebagai negara hukum tentu saja wajib memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya. Termasuk untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Namun, perjuangan hukum demikian harus tetap dapat dibedakan antara perjuangan mencari keadilan ataukah sebaliknya, perjuangan melawan keadilan.
Pengadilan tentu saja tidak boleh serta-merta menolak gugatan yang diajukan para koruptor sekalipun. Namun, pengadilan sebenarnya mempunyai mekanisme hukum acara agar tidak kemudian serta-merta dimanfaatkan menjadi benteng pertahanan para koruptor. Salah satu saringan pengadilan untuk menolak suatu gugatan untuk diperiksa adalah melalui yurisdiksi kewenangan, atau sering disebut sebagai kompetensi absolut.
Maka, perkara perdata sebenarnya tidak dapat dipidanakan; perkara konstitusi tidak dapat dibawa ke peradilan tata usaha negara. Atau persoalan pidana yang sudah diputus, konsekuensinya tidak boleh disimpangi dengan mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. Saat ini mulai muncul putusan sengketa pemilihan kepala daerah yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diganjal pelaksanaannya melalui peradilan tata usaha negara.
Kepala daerah yang dikalahkan MK menggugat keputusan KPU ke PTUN, kepala daerah terpilih tidak dapat dilantik. Sekilas upaya pengganjalan ke PTUN itu merupakan hak, tapi sebenarnya tidak lebih dari ketidaksiapan untuk kalah. Seharusnya, begitu putusan MK dijatuhkan, semua peserta pilkada harus menghormati itu. UUD 1945 dan UU MK dengan tegas mengatur, sengketa pilkada adalah wilayah MK untuk memutuskannya, sebagai forum penyelesaian sengketa pilkada pada tingkat pertama dan terakhir.
Maka, membawa sengketa pilkada ke ranah PTUN jelas-jelas langkah hukum yang keliru. Apalagi, UU PTUN mengatur bahwa keputusan KPU mengenai hasil pemilihan umum bukan merupakan objek sengketa peradilan tata usaha negara (Lihat Pasal 2 g UU PTUN). Peradilan tata usaha negara pada dasarnya juga harus menghormati putusan peradilan lainnya.
Misalnya, dalam pemberhentian kepala daerah, putusan peradilan pidana yang menentukan seorang bersalah melakukan korupsi, dan merupakan putusan berkekuatan hukum tetap, seharusnya ditindaklanjuti dengan pemberhentian kepala daerah yang bersangkutan selaku kepala daerah. Keputusan pemberhentian demikian, yang didasarkan pada putusan peradilan pidana, seharusnya tidak dapat digugat di hadapan peradilan tata usaha negara.
Apalagi putusan pemberhentian itu juga telah diatur dalam regulasi pemberhentian kepala daerah menurut UU Pemda dan PP terkait. Lebih jauh, UU PTUN dengan jelas mengatur keppres pemberhentian kepala daerah yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bukan merupakan keputusan TUN yang dapat digugat dalam peradilan TUN (Pasal 2 e UU PTUN).
Logika agar PTUN tidak masuk ke wilayah pemberhentian kepala daerah yang korup dapat dijelaskan pula sebagai berikut. Jika putusan peradilan pidana pada level tertinggi MA, yang sudah menyatakan seorang kepala daerah korupsi, dapat dianulir pemberhentiannya oleh PTUN, maka tentu akan muncul komplikasi hukum.
Karena PTUN pada puncaknya juga akan berujung pada MA, seharusnya PTUN menghormati putusan pidana MA, dan tidak melanjutkan proses peradilan TUN-nya. Jika kedua proses peradilan dibiarkan berjalan, dapat saja terjadi secara pidana seseorang dipenjarakan karena korupsi, namun secara putusan tata usaha negara tidak dapat diberhentikan. Dengan demikian, akan terjadi keabsurdan hukum, di mana kepala daerah yang terbukti korupsi tetap bisa menjabat sebagai kepala daerah dari balik terali besi penjara.
Keabsurdan mana yang bukan hanya bertentangan dengan logika hukum, tetapi lebih jauh bertabrakan dengan etika dan moralitas yang sangat mendasar. Dengan dasar logika yang sama, hak prerogatif presiden seharusnya bukan merupakan objek sengketa TUN. Jika hak prerogatif presiden dapat digugat di hadapan TUN, dia bukan lagi hak prerogatif. Secara definisi hak prerogatif adalah hak khusus mutlak yang dimiliki presiden selaku pemimpin negara.
Hak prerogatif dijamin oleh konstitusi. Maka, gugatan terhadap hak prerogatif berarti pula pemandulan atas hak yang diberikan oleh UUD. Seharusnya, semua pihak mengerti dan dapat memahami bahwa dalam pelaksanaan hak prerogatif, presiden mempunyai keleluasaan penuh untuk melaksanakan kewenangannya, tanpa dibuka ruang gugatan secara yuridis, yang membawa konsekuensi pembatalan.
Pelaksanaan hak prerogatif presiden tentu saja tetap dapat dikritisi,namun bukan digugat secara peradilan TUN. Sikap kritis tetap dapat dilakukan sebagai kontrol sosial-politik sehingga konsekuensinya juga pada akuntabilitas politik. Atau bagi Presiden, sanksinya adalah pada dukungan politik yang menurun.Tetapi, bukan sanksi yuridis berupa pembatalan keputusan yang berdasarkan hak prerogatif tersebut.
Coba saja dibayangkan, jika hak prerogatif dapat digugat, ketika presiden mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet, dapat saja calon menteri yang tidak terpilih atau menteri yang diberhentikan menggugat keputusan presiden demikian ke hadapan TUN. Dalam hal demikian, jika keppres terkait anggota kabinet itu dapat digugat di peradilan TUN, alangkah kacaunya sistem presidensial kita karena presiden menjadi kehilangan kewenangan prerogatifnya yang dijamin eksistensinya berdasarkan konstitusi.
Dalam konteks yang sama, saya berpendapat, grasi merupakan kewenangan presiden yang termasuk hak prerogatif. Meskipun perlu memperhatikan pertimbangan MA, keputusan grasi akhirnya tetap ada di tangan presiden. Maka, menggugat hak prerogatif grasi presiden ke hadapan PTUN, meskipun merupakan hal yang dapat dilakukan, seharusnya tidak diterima oleh PTUN karena peradilan TUN tidak dapat membatalkan keputusan yang berdasarkan hak prerogatif presiden.
Akhirnya, pengadilan tidak hanya dihormati dengan menerima suatu gugatan hukum. Namun, pengadilan juga tetap terhormat ketika dengan tegas menolak gugatan yang bukan kompetensinya untuk memeriksa. Tetap doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Namun, ada cacat logika mendasar di dalamnya. Atas pesan BBM tersebut, saya menjawab, “Silakan saja atas nama konstitusi membela gubernur koruptor untuk diberhentikan. Silakan mengatakan memberhentikan gubernur yang korup, dan telah ada dalam penjara, sebagai perbuatan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan keadaban konstitusi.
Namun, pertanyaannya: Konstitusi beradab mana yang mengatakan koruptor tetap berhak menjabat sebagai gubernur dari balik jeruji besi penjara?” Agaknya, komunikasi BBM di atas terjadi karena pernyataan saya agar peradilan tata usaha negara tidak menjadi benteng pertahanan bagi para pelaku tindak pidana korupsi disalahpahami. Pernyataan itu saya sampaikan justru sebagai bentuk penghormatan kepada lembaga peradilan sebagai lembaga yang mahaagung, yang bertugas menegakkan keadilan di muka bumi.
Saya tidak rela lembaga peradilan yang terhormat justru dimanfaatkan sebagai tameng bagi para pelaku kejahatan. Indonesia sebagai negara hukum tentu saja wajib memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya. Termasuk untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Namun, perjuangan hukum demikian harus tetap dapat dibedakan antara perjuangan mencari keadilan ataukah sebaliknya, perjuangan melawan keadilan.
Pengadilan tentu saja tidak boleh serta-merta menolak gugatan yang diajukan para koruptor sekalipun. Namun, pengadilan sebenarnya mempunyai mekanisme hukum acara agar tidak kemudian serta-merta dimanfaatkan menjadi benteng pertahanan para koruptor. Salah satu saringan pengadilan untuk menolak suatu gugatan untuk diperiksa adalah melalui yurisdiksi kewenangan, atau sering disebut sebagai kompetensi absolut.
Maka, perkara perdata sebenarnya tidak dapat dipidanakan; perkara konstitusi tidak dapat dibawa ke peradilan tata usaha negara. Atau persoalan pidana yang sudah diputus, konsekuensinya tidak boleh disimpangi dengan mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. Saat ini mulai muncul putusan sengketa pemilihan kepala daerah yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diganjal pelaksanaannya melalui peradilan tata usaha negara.
Kepala daerah yang dikalahkan MK menggugat keputusan KPU ke PTUN, kepala daerah terpilih tidak dapat dilantik. Sekilas upaya pengganjalan ke PTUN itu merupakan hak, tapi sebenarnya tidak lebih dari ketidaksiapan untuk kalah. Seharusnya, begitu putusan MK dijatuhkan, semua peserta pilkada harus menghormati itu. UUD 1945 dan UU MK dengan tegas mengatur, sengketa pilkada adalah wilayah MK untuk memutuskannya, sebagai forum penyelesaian sengketa pilkada pada tingkat pertama dan terakhir.
Maka, membawa sengketa pilkada ke ranah PTUN jelas-jelas langkah hukum yang keliru. Apalagi, UU PTUN mengatur bahwa keputusan KPU mengenai hasil pemilihan umum bukan merupakan objek sengketa peradilan tata usaha negara (Lihat Pasal 2 g UU PTUN). Peradilan tata usaha negara pada dasarnya juga harus menghormati putusan peradilan lainnya.
Misalnya, dalam pemberhentian kepala daerah, putusan peradilan pidana yang menentukan seorang bersalah melakukan korupsi, dan merupakan putusan berkekuatan hukum tetap, seharusnya ditindaklanjuti dengan pemberhentian kepala daerah yang bersangkutan selaku kepala daerah. Keputusan pemberhentian demikian, yang didasarkan pada putusan peradilan pidana, seharusnya tidak dapat digugat di hadapan peradilan tata usaha negara.
Apalagi putusan pemberhentian itu juga telah diatur dalam regulasi pemberhentian kepala daerah menurut UU Pemda dan PP terkait. Lebih jauh, UU PTUN dengan jelas mengatur keppres pemberhentian kepala daerah yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bukan merupakan keputusan TUN yang dapat digugat dalam peradilan TUN (Pasal 2 e UU PTUN).
Logika agar PTUN tidak masuk ke wilayah pemberhentian kepala daerah yang korup dapat dijelaskan pula sebagai berikut. Jika putusan peradilan pidana pada level tertinggi MA, yang sudah menyatakan seorang kepala daerah korupsi, dapat dianulir pemberhentiannya oleh PTUN, maka tentu akan muncul komplikasi hukum.
Karena PTUN pada puncaknya juga akan berujung pada MA, seharusnya PTUN menghormati putusan pidana MA, dan tidak melanjutkan proses peradilan TUN-nya. Jika kedua proses peradilan dibiarkan berjalan, dapat saja terjadi secara pidana seseorang dipenjarakan karena korupsi, namun secara putusan tata usaha negara tidak dapat diberhentikan. Dengan demikian, akan terjadi keabsurdan hukum, di mana kepala daerah yang terbukti korupsi tetap bisa menjabat sebagai kepala daerah dari balik terali besi penjara.
Keabsurdan mana yang bukan hanya bertentangan dengan logika hukum, tetapi lebih jauh bertabrakan dengan etika dan moralitas yang sangat mendasar. Dengan dasar logika yang sama, hak prerogatif presiden seharusnya bukan merupakan objek sengketa TUN. Jika hak prerogatif presiden dapat digugat di hadapan TUN, dia bukan lagi hak prerogatif. Secara definisi hak prerogatif adalah hak khusus mutlak yang dimiliki presiden selaku pemimpin negara.
Hak prerogatif dijamin oleh konstitusi. Maka, gugatan terhadap hak prerogatif berarti pula pemandulan atas hak yang diberikan oleh UUD. Seharusnya, semua pihak mengerti dan dapat memahami bahwa dalam pelaksanaan hak prerogatif, presiden mempunyai keleluasaan penuh untuk melaksanakan kewenangannya, tanpa dibuka ruang gugatan secara yuridis, yang membawa konsekuensi pembatalan.
Pelaksanaan hak prerogatif presiden tentu saja tetap dapat dikritisi,namun bukan digugat secara peradilan TUN. Sikap kritis tetap dapat dilakukan sebagai kontrol sosial-politik sehingga konsekuensinya juga pada akuntabilitas politik. Atau bagi Presiden, sanksinya adalah pada dukungan politik yang menurun.Tetapi, bukan sanksi yuridis berupa pembatalan keputusan yang berdasarkan hak prerogatif tersebut.
Coba saja dibayangkan, jika hak prerogatif dapat digugat, ketika presiden mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet, dapat saja calon menteri yang tidak terpilih atau menteri yang diberhentikan menggugat keputusan presiden demikian ke hadapan TUN. Dalam hal demikian, jika keppres terkait anggota kabinet itu dapat digugat di peradilan TUN, alangkah kacaunya sistem presidensial kita karena presiden menjadi kehilangan kewenangan prerogatifnya yang dijamin eksistensinya berdasarkan konstitusi.
Dalam konteks yang sama, saya berpendapat, grasi merupakan kewenangan presiden yang termasuk hak prerogatif. Meskipun perlu memperhatikan pertimbangan MA, keputusan grasi akhirnya tetap ada di tangan presiden. Maka, menggugat hak prerogatif grasi presiden ke hadapan PTUN, meskipun merupakan hal yang dapat dilakukan, seharusnya tidak diterima oleh PTUN karena peradilan TUN tidak dapat membatalkan keputusan yang berdasarkan hak prerogatif presiden.
Akhirnya, pengadilan tidak hanya dihormati dengan menerima suatu gugatan hukum. Namun, pengadilan juga tetap terhormat ketika dengan tegas menolak gugatan yang bukan kompetensinya untuk memeriksa. Tetap doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar