Energi
dan Eksploitasi Asing
Erwin Handono ; Komite Kedaulatan Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA,
30 Mei 2012
Sebagai
sebuah negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan
alam melimpah. Indonesia merupakan negara yang dikelilingi oleh ring of fire. Di daerah ini terdapat
banyak gunung berapi akibat adanya pertemuan dua lempengan besar, yakni lempeng
Eurasia dan lempeng Australia. Akibatnya, terjadi banyak bencana yang melanda
negeri ini.
Namun,
di balik semua ini, ternyata terdapat banyak kekayaan yang melimpah. Benturan
lempeng antara lempeng Eurasia dan lempeng Australia tidak hanya membentuk
pegunungan, tetapi sebuah cekungan yang di dalamnya terkandung minyak dan gas
alam. Menurut data statistik, Indonesia memiliki 15 persen cadangan minyak yang
ada di dunia saat ini.
Tercatat
terdapat 15 cekungan besar di Indonesia yang mengandung minyak dan gas alam,
yakni di sekitar Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan beberapa di sekitar Indonesia
bagian timur. Namun, Pertamina—BUMN yang bergerak di bidang migas—hanya
menguasai bagian cekungan di sekitar Jawa Barat dan sebagian di sekitar Jawa
Timur. Sedang kan, cekungan yang mengandung minyak dan gas yang lain sebagian
besar dikuasai oleh pihak asing, seperti Chev ron, Exxon, Total, dan Shell.
Produksi
minyak nasional anjlok dalam beberapa tahun terakhir. Diduga salah satu
penyebabnya adalah campur tangan lembaga keuangan International Monetary Fund
(IMF) dalam perumusan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas. Undang-undang
ini sangat menguntungkan pihak investor.
Liberalisasi
sektor migas ini menjadikan pemerintah tidak memiliki posisi yang kuat sebagai
pemegang kontrol penuh atas sektor energi. Ditambah lagi kontrak yang sudah
berjalan, tidak bisa dibatalkan begitu saja sehingga pihak asing leluasa
mengeksploitasi sumber energi negara ini.
Energi
merupakan salah satu faktor penting untuk menopang kehidupan suatu bangsa.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber energi seharusnya memiliki potensi
besar untuk mengembangkan berbagai sumber energi yang ada dan tumbuh menjadi
sebuah negara besar yang mandiri.
Namun,
kenyataannya Indonesia masih mengimpor BBM dari luar negeri demi menutupi
defisit karena produksi dalam negeri tidak bisa menutupi tingkat konsumsi BBM
nasional. Produksi minyak mentah nasional hanya mencapai 339,450 juta barel per
tahun, sedangkan tingkat konsumsi nasional terus meningkat mencapai 396,226
juta barel per tahun.
Liberalisasi
ekonomi sebenarnya merupakan gerakan yang datang dari negara-negara industri
maju dengan sistem kapitalisme yang mulai jenuh di dalam batas-batas negara
mereka sehingga terus bergerak keluar mencari ruang yang lebih luas. Indonesia
merupakan salah satu korban dari liberalisasi ekonomi di berbagai bidang,
termasuk liberalisasi di sektor migas.
Proses
liberalisasi dan intervensi asing sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Pada
masa awal kemerdekaan, Indonesia membutuhkan pengakuan dari pihak asing,
terutama Belanda agar mendapatkan kemerdekaan secara penuh.
Demi
mendapatkan pengakuan tersebut, dibentuk sebuah perjanjian antara pi hak
Indonesia dan Belanda pada 23 Agustus 1949 yang bernama Konferensi Meja Bundar
(KMB). Dalam perjanjian ini, terdapat tiga hal penting yang harus dipatuhi oleh
Indonesia, yaitu memperbolehkan berkembangnya perusahaan asing yang ada di
Indonesia, Indonesia harus mematuhi segala bentuk peraturan-peraturan IMF, dan
Indonesia menerima warisan utang Hindia-Belanda. Sejak saat itu, pihak asing
masuk ke dalam sektor-sektor penting di Indonesia, termasuk sektor energi.
Sebenarnya
pada 1956, Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk membatalkan pembayaran
utang-utang tersebut dan melakukan nasionalisasi terhadap beberapa perusahaan
asing. Hal ini menyebabkan banyaknya kecaman dari luar, terutama dari pihak
Belanda. Pada 23 Agustus 1965, pemerintah mengeluarkan UU pemutusan kerja sama
dengan perusahaan asing demi melindungi perusahaan domestik dalam negeri.
Namun,
akibat tekanan yang luar biasa dari pihak asing, pada November 1966 pemerintah
mengeluarkan undang-undang baru. Secara garis besar berisi, melanjutkan untuk
membayar utang Hindia-Belanda, bergabung dengan Asian Development Bank, dan
kembali masuk sebagai anggota Bank Dunia (World Bank).
Beban
utang yang ditinggalkan Belanda tidaklah sedikit ditambah lagi bunga yang
diberikannya semakin memberatkan posisi Indonesia. Segala bentuk utang ini
menjadi senjata pihak asing dalam menekan pihak Indonesia.
Pakar
ekonomi-politik sektor energi Revrisond Baswir mengatakan, segala bentuk permasalahan
yang ada di domestik suatu negara tidaklah bisa dilihat dari dalam negara
tersebut saja, tapi selalu ada campur tangan asing melalui aktor-aktor
internasional tertentu.
Revrisond
Baswir menjelaskan bahwa proses liberalisasi yang dilakukan oleh pihak asing
sudah dilakukan sejak dulu, bukan hanya 5-10 tahun lalu, melainkan sejak awal
kemerdekaan Indonesia me lalui berbagai perjanjian internasioanl yang banyak
merugikan Indonesia.
Sekarang
ini sudah terbentuk sebuah sistem yang dibangun sejak dulu demi memenuhi
kepentingan pihak asing. Hal ini terlihat dari peta kekuasaan sektor energi
nasional yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan asing, bukan oleh BUMN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar