Kamis, 31 Mei 2012

Energi dan Eksploitasi Asing


Energi dan Eksploitasi Asing
Erwin Handono ; Komite Kedaulatan Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SUMBER :  REPUBLIKA, 30 Mei 2012



Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Indonesia merupakan negara yang dikelilingi oleh ring of fire. Di daerah ini terdapat banyak gunung berapi akibat adanya pertemuan dua lempengan besar, yakni lempeng Eurasia dan lempeng Australia. Akibatnya, terjadi banyak bencana yang melanda negeri ini.

Namun, di balik semua ini, ternyata terdapat banyak kekayaan yang melimpah. Benturan lempeng antara lempeng Eurasia dan lempeng Australia tidak hanya membentuk pegunungan, tetapi sebuah cekungan yang di dalamnya terkandung minyak dan gas alam. Menurut data statistik, Indonesia memiliki 15 persen cadangan minyak yang ada di dunia saat ini.

Tercatat terdapat 15 cekungan besar di Indonesia yang mengandung minyak dan gas alam, yakni di sekitar Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan beberapa di sekitar Indonesia bagian timur. Namun, Pertamina—BUMN yang bergerak di bidang migas—hanya menguasai bagian cekungan di sekitar Jawa Barat dan sebagian di sekitar Jawa Timur. Sedang kan, cekungan yang mengandung minyak dan gas yang lain sebagian besar dikuasai oleh pihak asing, seperti Chev ron, Exxon, Total, dan Shell.

Produksi minyak nasional anjlok dalam beberapa tahun terakhir. Diduga salah satu penyebabnya adalah campur tangan lembaga keuangan International Monetary Fund (IMF) dalam perumusan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas. Undang-undang ini sangat menguntungkan pihak investor.

Liberalisasi sektor migas ini menjadikan pemerintah tidak memiliki posisi yang kuat sebagai pemegang kontrol penuh atas sektor energi. Ditambah lagi kontrak yang sudah berjalan, tidak bisa dibatalkan begitu saja sehingga pihak asing leluasa mengeksploitasi sumber energi negara ini.

Energi merupakan salah satu faktor penting untuk menopang kehidupan suatu bangsa. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber energi seharusnya memiliki potensi besar untuk mengembangkan berbagai sumber energi yang ada dan tumbuh menjadi sebuah negara besar yang mandiri.

Namun, kenyataannya Indonesia masih mengimpor BBM dari luar negeri demi menutupi defisit karena produksi dalam negeri tidak bisa menutupi tingkat konsumsi BBM nasional. Produksi minyak mentah nasional hanya mencapai 339,450 juta barel per tahun, sedangkan tingkat konsumsi nasional terus meningkat mencapai 396,226 juta barel per tahun.

Liberalisasi ekonomi sebenarnya merupakan gerakan yang datang dari negara-negara industri maju dengan sistem kapitalisme yang mulai jenuh di dalam batas-batas negara mereka sehingga terus bergerak keluar mencari ruang yang lebih luas. Indonesia merupakan salah satu korban dari liberalisasi ekonomi di berbagai bidang, termasuk liberalisasi di sektor migas.

Proses liberalisasi dan intervensi asing sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia membutuhkan pengakuan dari pihak asing, terutama Belanda agar mendapatkan kemerdekaan secara penuh.

Demi mendapatkan pengakuan tersebut, dibentuk sebuah perjanjian antara pi hak Indonesia dan Belanda pada 23 Agustus 1949 yang bernama Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam perjanjian ini, terdapat tiga hal penting yang harus dipatuhi oleh Indonesia, yaitu memperbolehkan berkembangnya perusahaan asing yang ada di Indonesia, Indonesia harus mematuhi segala bentuk peraturan-peraturan IMF, dan Indonesia menerima warisan utang Hindia-Belanda. Sejak saat itu, pihak asing masuk ke dalam sektor-sektor penting di Indonesia, termasuk sektor energi.

Sebenarnya pada 1956, Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk membatalkan pembayaran utang-utang tersebut dan melakukan nasionalisasi terhadap beberapa perusahaan asing. Hal ini menyebabkan banyaknya kecaman dari luar, terutama dari pihak Belanda. Pada 23 Agustus 1965, pemerintah mengeluarkan UU pemutusan kerja sama dengan perusahaan asing demi melindungi perusahaan domestik dalam negeri.

Namun, akibat tekanan yang luar biasa dari pihak asing, pada November 1966 pemerintah mengeluarkan undang-undang baru. Secara garis besar berisi, melanjutkan untuk membayar utang Hindia-Belanda, bergabung dengan Asian Development Bank, dan kembali masuk sebagai anggota Bank Dunia (World Bank).

Beban utang yang ditinggalkan Belanda tidaklah sedikit ditambah lagi bunga yang diberikannya semakin memberatkan posisi Indonesia. Segala bentuk utang ini menjadi senjata pihak asing dalam menekan pihak Indonesia.

Pakar ekonomi-politik sektor energi Revrisond Baswir mengatakan, segala bentuk permasalahan yang ada di domestik suatu negara tidaklah bisa dilihat dari dalam negara tersebut saja, tapi selalu ada campur tangan asing melalui aktor-aktor internasional tertentu.

Revrisond Baswir menjelaskan bahwa proses liberalisasi yang dilakukan oleh pihak asing sudah dilakukan sejak dulu, bukan hanya 5-10 tahun lalu, melainkan sejak awal kemerdekaan Indonesia me lalui berbagai perjanjian internasioanl yang banyak merugikan Indonesia.

Sekarang ini sudah terbentuk sebuah sistem yang dibangun sejak dulu demi memenuhi kepentingan pihak asing. Hal ini terlihat dari peta kekuasaan sektor energi nasional yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan asing, bukan oleh BUMN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar