Dampak
Liberalisasi Pertanian
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
SUMBER : KOMPAS, 31
Mei 2012
Tulisan Profesor Bustanul Arifin di Kompas,
21 Mei 2012, menyoal kegentingan masalah di sektor pertanian, merupakan
peringatan serius bagi pemerintah. Ada tiga poin penting yang diketengahkan:
penurunan produksi, konversi lahan, dan kelemahan implementasi kebijakan.
Secara prinsip saya sepakat dengan elaborasi
persoalan itu, termasuk beberapa rekomendasi jalan keluarnya.
Sungguh pun begitu, sebagian rekomendasi itu
merupakan ”syarat perlu” (necessary),
tetapi belum mencukupi (not sufficient).
Terdapat tiga fakta lain yang mesti diumumkan agar problem tersebut bisa
diatasi sampai ke akar-akarnya.
Pertama, penurunan produksi terjadi bersamaan
dengan liberalisasi (sektor pertanian). Kedua, lahan persawahan terus menyusut,
tetapi area perkebunan makin meluas. Ketiga, peningkatan produksi tidak akan
berdampak terhadap kesejahteraan petani jika tidak dikaitkan dengan strategi
transformasi ekonomi.
Kemandirian Pangan
Lanskap perekonomian nasional harus diakui
membawa perubahan drastis seusai krisis ekonomi 1997/1998. Liberalisasi tak
hanya terjadi di sektor keuangan (yang dimulai secara sistematis sejak 1983),
tetapi juga di sektor produksi dan perdagangan. Sektor pertanian juga bukan
pengecualian, saat peran Bulog dipereteli sehingga hanya mengurus beras
(tadinya sembilan bahan pokok) dan aneka tarif perdagangan dihapus.
Hasilnya, produksi komoditas penting, seperti
jagung dan kedelai, langsung merosot. Kemandirian pangan kedelai, buah, kacang
tanah, susu, gula putih, jagung, daging sapi, dan sayuran kian menyusut dan
belum ada tanda-tanda meningkat dalam jangka pandek. Cadangan pangan (beras)
Indonesia hanya 4,38 persen dari total produksi, jauh tertinggal dari Thailand
(61,52 persen), Brunei (52,07 persen), Vietnam (24,44 persen), Myanmar (18,23
persen), Filipina (16,5 persen), Laos (15,71 persen), dan Malaysia (10,85
persen) [ASEAN Food security Information
System; dalam Hanani, 2012].
Konversi lahan juga menarik dicermati karena
sebagian besar terjadi pada lahan sawah, entah untuk keperluan industri,
permukiman, atau yang lain. Proses itu terus berlangsung sampai kini sehingga
luas lahan kira-kira berkurang sekitar 60.000 hektar per tahun (setelah
ditambah 40.000 lahan baru per tahun). Penurunan produksi kedelai dan jagung
sebagian juga akibat penyusutan lahan. Oleh karena itu, di samping soal
liberalisasi perdagangan, konversi lahan merupakan persoalan utama di balik
penurunan produksi. Masalahnya, mengapa pola yang sama tidak terjadi di
perkebunan? Lahan kelapa sawit, misalnya, setiap tahun rata-rata bertambah 6,7
persen (Indef, 2011).
Jika dilihat dari struktur kepemilikan,
memang terdapat perbedaan antara lahan sawah dan kebun. Lahan sawah dikelola
oleh petani kecil (rata-rata penguasaan lahan di Jawa kurang dari 0,5 hektar),
sementara perkebunan didominasi investor besar yang menguasai ribuan hektar.
Pertanyaannya, apakah ini terkait lobi/upeti dari para investor kakap itu?
Berikutnya, peningkatan produksi bukan
merupakan langkah yang mustahil dilakukan karena sumber daya (lahan) memang
tersedia. Namun, peningkatan produksi tanpa dikaitkan dengan strategi
transformasi ekonomi yang benar rasanya tidak akan memberikan kesejahteraan
yang memadai bagi petani.
Struktur ekonomi di Indonesia bermasalah
sebab sektor pertanian masih menyerap sekitar 43 persen dari total tenaga kerja
(TK), sementara donasi terhadap PDB hanya 15 persen. Sebaliknya, sektor
industri menyerap 12 persen TK, tetapi kontribusi terhadap PDB sekitar 25
persen (sempat 28 persen pada 2005).
Persoalan ini mengemuka karena dua hal: (i)
sektor industri yang dikembangkan jauh dari sektor pertanian sehingga kurang
menyerap TK/padat modal; dan (ii) TK di Indonesia 70 persen hanya tamat SLTP ke
bawah sehingga sulit masuk ke sektor industri/jasa, andai pun lapangan kerja
itu tersedia. Dengan begitu, program peningkatan produksi sejak awal harus
dikaitkan dengan strategi industrialisasi.
Realokasi Anggaran
Dalam soal liberalisasi pertanian, studi yang
dilakukan Wanki Moon (Is Agriculture
Compatible with Free Trade?, 2011) penting dipertimbangkan. Moon
menyampaikan bahwa sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga
argumen: (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa nonmarket (lahan, air, keragaman,
hutan), baik di tingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian terasosiasi dengan
isu-isu kemanusiaan, semisal perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan
pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; dan (c) sektor
pertanian memiliki peran dan kemampuan berbeda-beda antarnegara sehingga
kekalahan dalam liberalisasi bisa jadi petaka kemanusiaan.
Mencermati perkembangan sektor pertanian pasca-liberalisasi
perdagangan dan alasan Moon, selayaknya pemerintah memiliki keberanian tekad
dan moral untuk menghindarkan perekonomian (sektor pertanian) dari jerat
liberalisasi.
Terkait konversi lahan memang dibutuhkan
regulasi yang melarang perubahan pemanfaatan lahan pertanian dan penegakan
kebijakan. Namun, di luar itu butuh program perluasan lahan yang masih mungkin
di luar Jawa. Pemerintah selama ini berdalih keterbatasan anggaran untuk
menyiapkan infrastruktur pembukaan lahan sawah (berbeda dengan lahan baru di
perkebunan yang dibiayai sendiri oleh investor). Jika pemerintah punya
komitmen, anggaran itu sebetulnya bisa diambilkan dari dana pengurangan
kemiskinan (yang dialokasikan Rp 90 triliun di APBN). Jadi, masalahnya adalah
realokasi, bukan keterbatasan anggaran. Justru dengan langkah ini, program
pengurangan kemiskinan jadi jauh lebih sistematis/kredibel dan efektif dalam
jangka panjang.
Selebihnya, pemerintah mesti berjibaku
meningkatkan pendidikan dan keterampilan TK (tenaga kerja, red), di samping
menyiapkan strategi industrialisasi berbasis pertanian, agar transformasi
ekonomi berjalan matang. Pemerintah mesti bergegas agar petaka tidak tiba
mendahului. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar