Moralitas
Rendah Pejabat Negara
Mariyadi Faqih ; Peserta
Program Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUMBER : SUARA
KARYA, 30 Mei 2012
Gugatan publik terhadap perilaku pejabat negara yang menumpuk
kekayaan, dan meningkat tajamnya kekayaan pejabat negara, atau sejenisnya, saat
ini seperti angin lalu. Padahal, permintaan agar Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) gigih menelusuri sumber aliran dana pejabat negara santer didengungkan.
Kemudian, temuan PPATK terbaru yang menduga adanya transaksi ilegal bernilai
miliaran rupiah di kalangan pejabat negara, misalnya, sudah terang benderang.
Tetapi, penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan itu masih sulit diungkap,
bahkan terkesan tidak bisa terungkap.
Pejabat negara yang dituding terlibat dalam perbuatan tidak
terpuji, seperti menerima upeti atau hadiah dari kolega, rekanan, pengusaha,
atau pihak-pihak yang berhasrat menjalin hubungan baik dengan dirinya, juga
menjadi episode berkelanjutan. Episode demikian ini dibuktikan dengan banyaknya
pejabat negara yang berurusan dengan hukum. Bahkan, ada yang sampai membuat
anekdot tempat masa depan pejabat itu sebagai 'hotel prodeo' alias sel penjara.
Dalam sebuah kasus, seorang pejabat baru menjabat seumur jagung,
tetapi indeks prestasi kekayaannya sudah melambung tinggi. Kekayaan yang
dinilai imposible ini membuat rakyat miskin bertanya-tanya, mengapa jadi
pejabat negara di "negeri pinokio" dan "negeri ketoprak"
ini demikian enak? Apakah syarat hidup makmur secara mudah hanya dengan menjadi
pejabat negara?
Praduga bersalah yang distigmakan oleh publik itu sangat
beralasan, mengingat masih kuatnya budaya KKN mencengkeram pemerintahan.
Melangitnya kekayaan seorang pejabat negara atau tidak rasionalnya pendapatan
resmi dengan posisi kekayaan saat menjabat, layak dituding berani "bermain
api" selama menjalankan roda kekuasaan yang diamanatkan kepadanya.
Dalam buku Kejahatan Negara, Eko Prasetio menyebutkan contoh
kekayaan salah seorang selebriti politik Indonesia, yang sebelum menjadi
anggota dewan tinggal di rumah kos bertarif sangat murah. Namun, dalam kurang
dari dua tahun menjabat, kekayaannya sudah mencapai miliaran rupiah.
Mengapa kekayaan seorang pejabat bisa cepat melangit? Selebriti
politik itu amat suka bertransaksi ilegal. Elite politik, misalnya, suka membawa
atau menghadapkan rekanan ke selebriti kekuasaan di daerah. Jasa makelar ini
berbuah fee atau pemberian sebagai kompensasi hadiah dan gratifikasi yang tidak
sedikit. Dia bukan hanya mendapatkan hadiah atas jasa-jasanya, tetapi juga
mampu menciptakan kolaborasi yang membuat rekanan merasa takut dan bergantung
kepadanya, sehingga upeti terus mengalir secara rutin.
Tampaknya, pejabat negara ini tidak menyia-nyiakan setiap
kesempatan. Baginya berlaku prinsip aji mumpung. Begitu ada peluang strategis,
mereka gampang sekali menerima tawaran hubungan baik atau jalinan emosional
dengan pihak-pihak tertentu yang dinilai menguntungkanya secara ekonomi.
Ironisnya, ketika kesempatan tidak terbuka, pejabat negara itu berusaha
menciptakan kondisi yang memungkinkan orang lain tergiring untuk mengirimkan
upeti. Pejabat negara ini membikin kondisi yang membuat objek bisa dengan mudah
ter-pressure atau terdikte. Bahwa, dirinya membutuhkan uang, perlu dikirim
upeti, atau perlakuan istimewa lainnya.
Mentalitas tidak baik seperti memburu, mengumpulkan, dan menimbun
kekayaan saat menjabat merupakan mentalitas yang menyatu dengan dimensi
struktural. Meski sebenarnya sudah ada rambu-rambu moral profetis yang
mengikatnya, tetapi tidak diindahkan.
Filosof kenamaan Aristoteles pernah mengingatkan, "Semakin
tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah
penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kesusilaan, kebenaran, kejujuran, dan
keadilan." (D Taniwijaya, 2006)
Dalam diri seseorang yang larut menjadi pemuja atau pengultus
kekayaan berarti dirinya rela dikerangkeng oleh kekuatan kapital, yang
mengakibatkan kecerdasan batinnya lemah atau mengidap krisis profetis berbasis
humanitas dan kebangsaan.
Kecerdasan batin yang melemah merupakan salah satu akar utama kriminogen
terjadinya penyalahgunaan atau pengebirian moral profetis. Kecerdasan batin
akan tetap hidup dan menyala sepanjang manusia bersungguh-sungguh
membebaskannya dari beban kecenderungan mencintai kekayaan atau dimensi ekonomi
secara berlebihan.
Apa yang diingatkan oleh Aristoteles layak dijadikan refleksi
elite pejabat. Bahwa, manakala manusia sudah terjebak dalam pengkultusan
kekayaan atau sumber-sumber status sosial- ekonomi, maka sosok ini telah
menjatuhkan opsi pada deskralisasi atau pengimpotensian moral profetisnya.
Peran-peran yang dimainkannya cenderung memanfaatkan jabatannya untuk mencari
dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dengan mengorbankan komitmennya terhadap
loyalitas kerakyatan.
Moral profetis seperti yang disinyalir oleh Frans Magnis Suseno
sebagai kekuatan utama dan pondasi normatif yang menyangga kehidupan
kemasyarakatan dan kebangsaan, akhirnya sebatas diberlakukan jadi aksesoris,
melodi merdu paduan suara struktural, dan nyanyian kultural kelompok eksklusif
yang selalu dilantunkan. Pejabat negara seperti itulah yang membuat lahirnya
stigma negara tanpa negarawan di negeri ini.
Bangsa ini kaya pejabat bergelar tinggi yang kelihatannya
intelektual, namun gelar yang disandangnya tidak diikuti tingginya komitmen
moral. Komitmen pribadi secara eksklusif berupa nafsu memperkaya diri dan
keluarga jauh lebih ditinggikan dibandingkan tanggung jawab menyejahterakan
rakyat.
Beban ekonomi rakyat sudah sedemikian berat. Mereka hanya
disisakan ampasnya, sementara saripatinya sudah dihisap oleh pejabat
penyeleweng. Negara pun dilabeli dengan "negara tanpa hukum" (state without law). Sungguh memprihatinkan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar