Mengusir
Macan Tua
Budiman
Sudjatmiko; Pembina Utama Parade
Nusantara
(Persatuan Rakyat Desa Nusantara)
SUMBER
: KOMPAS,
28 Mei 2012
Hampir setiap bangsa pernah melakoni zaman
yang ”salah”. Di antara sebab dari kesalahan itu: pemimpinnya berkuasa terlalu
lama. Dan bangsa yang ia pimpin tak siap untuk kepemimpinan baru, terlepas
apakah mereka punya tradisi filsafat dan sains yang tinggi atau tidak.
Terlepas dari kebaikan dan prestasi yang
ditorehkan para pemimpin yang berkuasa sangat lama ini, sejarah selalu
menyediakan cara yang khas menjatuhkan ”hukuman” serupa dari zaman ke zaman.
Untuk bangsa atau komunitas yang gagap regenerasi, sejarah ”menghukum”
komunitas itu dengan proses transisi yang keras, berlarut-larut, dan sering
diwarnai polarisasi—entah bipolar atau multipolar—yang tajam saat akhirnya
regenerasi datang. Tidakkah, sebagaimana evolusi, regenerasi juga hukum besi
alam? Indonesia tak dikecualikan dari hukum ini, seunik apa pun klaim kita
tentang Indonesia.
Bukan untuk Rakyat
Akibat regenerasi yang memang harus tiba,
Indonesia dihadapkan pada dua pilih- an. Pertama, Indonesia harus mengambil
pola kepemimpinan lain yang kuat untuk menyingkirkan warisan dari pemimpin lama.
Inilah yang terjadi pada kepemimpin- an Presiden Soeharto sejak 1966 sampai
1998, yang secara berdarah-darah membersihkan warisan politik Bung Karno.
Kedua, melahirkan transisi berlarut-larut
ketika sistem terbuka yang coba dilahirkan tak ditopang institusi politik yang
berurat berakar.
Ihwal ketidakberakaran ini karena sekian lama
institusi-institusi sengaja dilumpuhkan. Hanya dengan cara ini ia memberi
keleluasaan penguasa otoriter berkuasa lama dan membangun monumen personal
untuk dirinya. Ketakberakaran inilah yang terjadi di sini sejak 1998. Ketika
kita menyusuri jalan setapak demokrasi sejak 1998, kepemimpinan yang lahir
mengalami gegar budaya menghadapi kompleksitas Indonesia di depan mata.
Sebuah
kompleksitas yang sekian lama ”didisiplinkan” dengan tongkat komando dan lars.
Kompleksitas yang menyeruak ini melibatkan
berlapis-lapis aspirasi ekonomi, kultural, politik, psikologis. Para pemangku
beragam kepentingan ini pun bisa berasal dari kalangan rakyat kebanyakan maupun
jejaring kepentingan antar-elite.
Tak mengherankan jika pemimpin yang lahir di
era Reformasi menghabiskan waktu lebih banyak mencari titik-titik keseimbangan
baru dalam suasana terhuyung-huyung. Titik keseimbangan baru ini harus dicari
dalam rupa kompromi di antara kekuatan politik yang tunggang langgang karena
tongkat komando pendisiplin mereka patah pada 1998.
Mereka inilah yang sekian lama disingkirkan
kekuasaan diktator Orde Baru yang berkuasa lama secara personal. Mereka terdiri
dari pebisnis nirkeluarga Cendana, keluarga politik historis penantang penguasa
otoriter Orba dan pemimpin kultural.
Keadaan itu diperparah dengan kenyataan bahwa
mayoritas pemimpin politik dari kelompok yang dominan sekarang adalah juga
generasi lama yang di era kediktatoran Orba tak dapat berkuasa di republik ini.
Mereka hanya jadi pelengkap kekuasaan otoriter itu, loyalis Orba yang
sesungguhnya menginginkan kekuasaan sekian lama, tetapi tak cukup punya sikap
memperbaiki keadaan di era mereka.
Kekuasaan otoriter Orba yang berlangsung lama
telah mengambil jatah waktu pemimpin potensial di era itu. Mereka kemudian
mengambil jalan kompromi karena tak satu pun kekuatan politik yang bisa berdiri
sendiri (juga tak cukup percaya diri) tanpa topangan kekuatan lain yang kurang
lebih sama magnitudonya.
Karena kebutuhan saling menopang di antara
kekuatan ini lebih untuk kebutuhan sintas, kompromi yang dicapai pun sering tak
berlandaskan kesamaan visi dan platform politik. Banyak koalisi terbentuk lebih
karena kebutuhan hadir di pentas politik. Tak ayal lagi, yang paling
dikorbankan dari koalisi untuk kesintasan kelompok pada akhirnya adalah warga
negara dan generasi muda.
Pengusir Macan
Generasi pemimpin muda akhirnya harus
menanggung beban kesalahan pemimpin tua masa kini yang dulunya tak berani
menggugat secara serius kekuasaan otoriter yang berlangsung lama. Saya tak
punya cara lain untuk menggambarkan situasi ini kecuali dengan sketsa fenomena
leher botol di pintu masuk sebuah stadion karena ada macan tua berjaga di sana.
Generasi tua menumpuk di mulut pintu karena
tak berani melewatinya pada jam sebelumnya: seekor macan tua di pintu itu
sekian lama! Ketika sebuah angkatan yang lebih muda mengumpulkan keberanian
menyeruak ke muka mengusir macan itu dan berhasil, maka rombongan yang tak
berani mengusir macan tadi kemudian melompat ke depan. Mereka meminta generasi
pengusir macan kembali keluar stadion karena mau masuk dan menduduki kursi VIP
di dalamnya.
Karena tidak sedikit, secara bergiliran
mereka menikmati kursi VIP yang jumlahnya sedikit itu dalam waktu tak terlalu
lama. Tak seorang pun puas karenanya. Terjadilah proses daur ulang penjatahan
pendudukan kursi VIP ini, sembari terus mengingkari fakta bahwa masih ada
rombongan lain yang harus memasuki pintu stadion. Merekalah rombongan yang
sesungguhnya telah berani mengusir macan tua sang penjaga pintu!
Moral dari kisah ini: kesalahan sebuah bangsa
karena telah membiarkan pemimpin otoriter berkuasa sekian lama akan berakibat
pada kesalahan lain yang tak kalah fatalnya. Kesalahan susulan ini adalah
mandeknya proses regenerasi politik, yang pada gilirannya berakibat pada
menjauhnya jarak antarpelaku tiap tahap reformasi, mulai dari membabat hutan
otoriterisme, menanam bibit demokrasi, menuai serta menikmati kekuasaan yang
lahir dari sana. Akibatnya, transisi demokrasi bertele-tele, sementara rakyat
mulai menghitung hari kematian atau kebangkitannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar