Kutukan
Sumber Daya Alam
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : KORAN
TEMPO, 29 Mei 2012
Pemerintah
memberlakukan bea keluar 65 jenis mineral: 21 mineral logam, 10 bukan logam,
dan 34 batuan. Bea keluar sebesar 20 persen yang mulai berlaku 7 Mei lalu itu
tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2012 tentang
Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan. Semula bea keluar hanya untuk 14
komoditas. Menurut kalkulasi Kementerian Keuangan, perluasan obyek bea keluar
berpotensi menambah penerimaan Rp 18 triliun per tahun. Beleid ini diprotes
pengusaha karena dinilai terburuburu. Selain menurunkan ekspor 8-9 persen, pengusaha
mengaku merugi triliunan rupiah (Koran Tempo, 18 Mei 2012).
Menurut
pemerintah, pengenaan bea keluar bertujuan: (1) meningkatkan nilai tambah lewat
pengolahan dan pemurnian mineral; (2) menjamin kebutuhan dalam negeri; (3)
menertibkan data (produksi dan ekspor); (4) melindungi kelestarian sumber daya
alam; (5) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas
ekspor di pasar internasional; dan (6) menjaga stabilitas harga komoditas di
dalam negeri. Dari sisi proses, produksi mineral jauh lebih mudah dan murah
ketimbang minyak dan gas bumi (migas). Jadi wajar jika negara memungut
penerimaan jauh lebih besar. Apalagi proses penambangan mineral terbukti telah
memberikan dampak lingkungan yang lebih besar.
Kebijakan
ini senapas dengan tekad pemerintah yang menetapkan 2014 sebagai tahun program
hilirisasi industri. Semua komoditas yang dihasilkan tidak boleh diekspor lagi
dalam bentuk mentah. Harus ada nilai tambah yang bisa didapatkan melalui
pengolahan. Putusan melakukan hilirisasi industri merupakan pilihan tepat.
Indonesia harus menjadi bangsa yang maju dan mampu menguasai teknologi. Langkah
mengekspor komoditas dalam bentuk bahan mentah tidak ubahnya zaman VOC.
Indonesia sudah 67 tahun merdeka. Tentu ada yang salah apabila masih mengekspor
bentuk bahan mentah.
Dengan
hilirisasi, akan banyak hal yang bisa diperoleh. Bukan hanya nilai ekspor yang
kian tinggi, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Akan banyak nilai
tambah baru yang tercipta dengan program hilirisasi, bahkan jutaan orang bisa
ikut menikmatinya, yang dalam ilmu ekonomi disebut dampak berganda (multiplier effect). Hilirisasi juga
penting agar negeri ini tidak terkena “kutukan sumber daya alam“ (resource curse).
Potensi
sumber daya alam bagaikan pedang bermata dua: bila dikelola dengan baik dan
bijak akan jadi kemakmuran, sebaliknya, bila dikelola secara serampangan akan
menjadi malapetaka. Yang sering terjadi, negara yang kaya akan sumber daya alam
seperti Indonesia gemar mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan,
tidak memperhatikan kaidah keberlanjutan dan aspek lingkungan, bahkan cenderung
korup serta memberi konsesi lewat kolusi. Selain itu, negara yang kaya sumber
daya alam cenderung tidak memiliki industri yang kuat. Sebab, pengembangan
sektor industri jadi mahal dan tidak efisien, seperti dalam hal upah, karena
harus bersaing dengan sektor ekstraktif yang tampak lebih menjanjikan. Dalam
khazanah teori ekonomi, hal ini sering disebut “penyakit Belanda“ (Dutch disease).
Indonesia
kaya sumber daya alam. Sayangnya, selama puluhan tahun kekayaan sumber daya
alam tidak dikelola dengan bijak dan menjadi sumber kesejahteraan. Sebaliknya,
lisensi sumber daya alam diobral murah, mudah, cepat, dan menabrak undang-undang.
Sumber daya alam dikeruk habis tanpa memperhatikan kaidah lingkungan dan
keberlanjutan. Filosofinya: “kalau bisa dihabiskan hari ini, mengapa harus
menunggu besok“. Masa bodoh dengan generasi mendatang, generasi anak-cucu. Di
lapangan, yang berlangsung adalah rezim “keruk-keduktebang dan jual obral“.
Kalimantan
Timur dan Papua adalah contoh baik the
paradox of plenty. Kedua provinsi itu kaya sumber daya alam. Namun,
kemiskinan, kelaparan, dan angka dropout sekolah masih amat tinggi. Akses
terhadap pelayanan kesehatan amat rendah. Pendek kata, indeks pembangunan
manusia di dua provinsi itu amat rendah. Otonomi daerah menjadi pintu baru
obral lisensi sumber daya alam. Hal ini tergambar jelas dari banyaknya korupsi
yang melibatkan kepala daerah. Sumber daya alam yang melimpah tidak menjadi
sumber kesejahteraan, tapi justru jadi biang kesengsaraan dan konflik.
“Paradoks
keberlimpahan“ juga terjadi pada minyak bumi. Sejak pertengahan 1970 hingga
awal 1980-an, perekonomian Indonesia diuntungkan oleh bonanza minyak. Krisis
minyak membuat harga minyak di pasar dunia melambung tinggi.
Perekonomian Indonesia seperti mendapat durian runtuh (windfall profit). Sayangnya, karena hanya menjual minyak mentah dan tidak pernah mengembangkan refinery product, rezeki nomplok dari minyak berubah menjadi kutukan saat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak (net importer). Pemerintah harus mengalokasikan dana subsidi cukup besar untuk konsumsi bahan bakar minyak, yang sebetulnya bahan bakunya kita miliki dan dapat diproduksi sendiri. Sampai saat ini, perekonomian Indonesia masih mengandalkan komoditas primer, dan belum memasuki fase pengembangan sektor industri lebih maju.
Perekonomian Indonesia seperti mendapat durian runtuh (windfall profit). Sayangnya, karena hanya menjual minyak mentah dan tidak pernah mengembangkan refinery product, rezeki nomplok dari minyak berubah menjadi kutukan saat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak (net importer). Pemerintah harus mengalokasikan dana subsidi cukup besar untuk konsumsi bahan bakar minyak, yang sebetulnya bahan bakunya kita miliki dan dapat diproduksi sendiri. Sampai saat ini, perekonomian Indonesia masih mengandalkan komoditas primer, dan belum memasuki fase pengembangan sektor industri lebih maju.
Ketergantungan
pada sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan memiliki sejumlah bahaya
(Prasetyantoko, 2012). Pertama, harga komoditas primer amat fluktuatif.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam
cenderung tidak stabil. Kedua, sumber daya alam yang bersifat tak terbarukan
pada saatnya akan habis. Jika cadangan kekayaan bumi dihabiskan untuk keperluan
saat ini, kita akan mewariskan rongsokan kepada anak-cucu. Ketiga, perekonomian
yang terlalu bertumpu pada sumber daya alam cenderung membuat sektor sekunder
dan tersier dalam jejaring industri tidak berkembang. Kekayaan alam menimbulkan
crowding out effect pada industri
domestik.
Di
samping minyak dan gas bumi, ekspor Indonesia masih bertumpu pada batu bara
serta minyak sawit mentah (crude palm
oil/CPO). Posisi batu bara sebagai penyumbang devisa jauh meninggalkan komoditas
pertambangan lain, seperti nikel, bauksit, mangan, granit, dan bijih besi.
Ironisnya, karena mengobral ekspor, industri domestik kekurangan pasokan batu
bara. Secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir, hampir semua komoditas
pertambangan ekspornya naik secara eksponensial. Peran CPO dalam menghasilkan
devisa juga tak terkejar komoditas perkebunan lain. Sayangnya, ekspor sawit
belum seluruhnya diolah. Kita rupanya tak beranjak dari zaman kolonial.
Agar
tidak menjadi kutukan, sumber daya alam harus dikelola secara bijak. Pertama,
karena sifatnya tidak bisa diperbarui, sumber daya alam harus dihemat. Kita
bisa mencontoh Amerika Serikat, Australia, Swedia, Kanada, Selandia Baru,
Norwegia, Finlandia, bahkan Malaysia yang menepis tesis kutukan sumber daya
alam. Kedua, sumber daya alam harus dimanfaatkan pertama-tama untuk kepentingan
domestik. Cina, misalnya, meskipun kaya akan batu bara, mereka tidak mengobral
batu bara itu. Batu bara digunakan untuk mendorong industri domestik. Ketiga,
tidak menjual sumber daya alam dalam bentuk mentah, tapi mengolahnya terlebih
dulu. Dengan mengolah, akan ada dua keuntungan sekaligus: nilai tambah lebih
tinggi dan harganya tidak fluktuatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar