Berkawan
Kita dalam Riset
Andrianto Handojo ; Ketua Dewan Riset Nasional
SUMBER : KOMPAS, 31
Mei 2012
Pertanyaan ”Mana hasil riset kita?” kerap dilontarkan. Jika hanya mengenai
jumlah, jawaban dapat mengacu, misalnya, pada publikasi hasil riset dalam
forum-forum bergengsi.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(Indikator Iptek Indonesia, 2009), pada 2008 terdapat 1.416 artikel ilmuwan
Indonesia yang dimuat dalam jurnal internasional, dibandingkan 766 pada 1999.
Namun, jawaban menjadi lebih sukar jika
ditinjau aspek riset sebagai pemicu dan pendorong teknologi. Kementerian Riset
dan Teknologi (Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia, 2010)
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persentase teknologi tinggi dalam ekspor
manufaktur kita tidak melebihi 16,3 persen, dibandingkan Thailand (31 persen)
atau Filipina (74 persen). Menurut Dirjen Industri Kecil dan Menengah Euis
Saedah (April 2012), dari 10 mobil yang berlintasan di Malaysia, tujuh di
antaranya mobil nasional.
Ini berbeda dengan Indonesia yang tak
menunjukkan satu pun mobil nasional dari 10 yang terlihat. Di samping
kemungkinan penyebab lain, pengamatan ini mengisyaratkan kurangnya dukungan
riset kita ke arah teknologi.
Lembaga Intermediasi
Artinya pula, hanya sedikit hasil penelitian
yang diindustrikan. Situasi ini sudah banyak diketahui dan lemahnya mata rantai
antara riset dan industri dipandang sebagai masalah utama. Maka, sosialisasi
hasil penelitian digelar sebagai salah satu usaha remedial.
Lembaga intermediasi, yang mempertemukan
industriawan dengan peneliti beserta karyanya, didorong untuk dibentuk. Program
pendanaan riset tertentu mensyaratkan kemitraan dengan industri yang harus
dibuktikan dengan tanda tangan industriawan dalam proposal riset.
Semua upaya tersebut perlu, tetapi agaknya
harus dilengkapi. Tak sedikit peneliti yang dengan segenap keahlian dan
ketekunannya membuahkan hasil riset yang patut dibanggakan dari segi ilmiah,
kebaruan, atau inovasi. Namun, ketika ditawarkan, tidak jarang pihak industri
menanggapi: ”Bukan itu yang kami butuhkan”.
Pihak industri mempunyai alasan sendiri.
Mereka mempertimbangkan kelangsungan pasokan bahan baku, peluang pemasaran,
keandalan produk nantinya, neraca keuangan, dan sebagainya yang biasanya
bermuara pada kesimpulan singkat: terlalu besar risikonya. Di pihak lain,
peneliti terlatih secara akademik mengutamakan salah satunya sintesis pemikiran
sebagai ukuran kualitas. Kedua kutub cara pendekatan yang berbeda ini tidak
mudah dicairkan dalam wadah intermediasi.
Dapat saja peneliti ikut mempelajari
persoalan industri. Namun, sebagaimana orang tidak bisa menjadi peneliti hebat
hanya dengan belajar dari buku atau kursus singkat, ketangguhan menangani
masalah industri pun memerlukan pula kesaratan pengalaman.
Di sini kita berbicara tentang kedalaman
pandang (insight) dan kepekaan rasa (sense),
belum tentang jenis dan jenjang pendidikan masing-masing. Tidak berlebihan jika
kedua ”kubu”, peneliti dan industriawan, dikatakan memiliki kultur yang
berbeda.
Saling Menyesuaikan
Timbul kesulitan jika hasil dari kultur yang
satu mesti langsung diaplikasikan oleh kultur yang lain. Apalagi jika tanda tangan
industriawan baru dibubuhkan pada proposal riset saat terakhir, gara-gara
perkenalannya mungkin baru berusia dua minggu.
Sesungguhnya yang penting ialah membentuk
kemitraan peneliti-industriawan jauh sebelum hasil riset dicapai, sebelum
penelitian dimulai, sebelum proposal disusun, bahkan sebelum ide digagas.
Dibutuhkan pemahaman timbal balik tentang
keinginan, jalan pikiran, dan cara pendekatan. Bukan dengan maksud meleburnya,
melainkan untuk saling menyesuaikan dan memberikan masukan. Mulai dari topik
riset harus dipilih dengan serius dan disepakati bersama.
Jika pertemanan dapat diwujudkan, pertama,
pihak industri semestinya tak segan memberikan dukungan karena ada rasa ikut
memiliki sejak awal, bukan kesan mendadak disodori hasilnya. Kedua, kepentingan
yang sama menjurus pada saling mengoreksi secara kontinu, ditambah ikhtiar yang
padu untuk mengatasi pembiayaan. Ketiga, manakala kemitraan sudah menjadi
persahabatan, hambatan psikologis, seperti tentang latar belakang pendidikan,
kalau ada, niscaya akan pudar.
Namun, syaratnya, perkawanan harus kental,
tidak segan meniru kaum bisnis yang fasih menjalin relasi. Misalnya, saling
mengundang pada seminar atau acara peluncuran produk pabrik,
kunjung-mengunjungi, sore bersama ke kafe. Tidak lupa rajin bertukar bicara
lewat telepon, mengirim pesan singkat (SMS), e-mail, atau media komunikasi lain, sekaligus membuat pemakaiannya
yang marak menjadi lebih produktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar