Masa
Depan yang Bagaimana? (2)
JE Sahetapy ; Guru Besar Emiritus Bidang Hukum Pidana
di Universitas Airlangga,
Surabaya
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 30 Mei 2012
Sebelum memasuki paragraf baru tentang demonstrasi
akhir-akhir ini bertalian dengan harga minyak yang menyangkut napas kehidupan
rakyat kecil, untuk kesekian kali saya mengimbau agar putusan pengadilan dengan
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” diganti dengan “Demi
Keadilan berdasarkan Pancasila”, karena putusan itu dengan “de uitzonderingen bevestigen de regel”
sebagian besar tidak profesional, meskipun sulit dibuktikan secara yuridis
formal, yang menyangkut KKN, pemerasan, dan penyuapan terselubung, “power by remote control” yang berarti
menghina dan melaknat Tuhan.
Selain itu, untuk kesekian kali saya berharap pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah untuk memberikan landasan hukum yang sah, agar dari beberapa terjemahan W.v.S. ada yang ditentukan menjadi KUHP atas dasar yuridis yang absah.
Pandangan seorang Guru Besar Emeritus bahwa dasarnya adalah
Undang-Undang 1946 Nomor 1, jadi sudah sah, maka saya ingin bertanya, dari
terjemahan-terjemahan yang ada, yang mana menurut Anda itu yang sah. Apa tidak
perlu dibedakan ”elementen” dari ”bestanddelen” (Prof Vrij) secara ”mutatis mutandis” perbuatan pidana dari
tindak pidana.
Pasal V Undang-Undang 1946 No 1 menetapkan: “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagai sementara tidak berlaku.”
Pasal VI : (1) ”Nama Undang-Undang hukum pidana ’Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie’ diubah menjadi ’Wetboek van Strafrecht’. (2) Undang-undang tersebut dapat disebut ”Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
Nah, dari terjemahan-terjemahan itu yang sah yang mana: Moeljatno, Soesilo, BPHN dll. Jangan-jangan seperti kata orang Belanda – maaf – “Daar heeft hij geen kaas van gegeten.” Ibarat seperti orang Jawa tidak pernah makan atau merasakan tempe.
Ribut-ribut di ruang sidang DPR dengan segala teknik politiking dan perhitungan-perhitungan yang diragukan kebenarannya berdasarkan bukti tertulis dari Kementerian Keuangan menurut Drs Kwik Kian Gie, mengingatkan saya ibarat berputar-putar seperti kincir angin.
Sementara itu, para demonstran diperlakukan di berbagai
tempat secara tidak manusiawi dengan menuduh mereka ”anarkistis”. Di waktu yang
lalu polisi selalu berdalih bahwa mereka terapkan ”praduga tak bersalah”. Kalau
demikian, mengapa harus ditahan dan ”dipukul”. Mereka lupa bahwa praduga tak
bersalah hanya berlaku di pengadilan. Kalau TAK BERSALAH meskipun ”praduga”,
jangan ditahan Pak Polisi. Tolong disimak baik-baik, jangan keburu omong!
Yang mengherankan saya sebagai orang awam yang tidak mengerti tentang hitungan harga minyak, mengapa wakil-wakil yang terhormat tidak membahas Pasal 33 UUD 1945 dan memutuskan untuk mendirikan pabrik minyak (oil refinery) dengan menghentikan ekspor minyak mentah yang cuma menguntungkan para makelar minyak.
Bayangkan minyak kita dijual dan kemudian dibeli minyak kita
lagi, apa itu masuk akal! Apakah kita ini semua sudah begitu ”bego”? Apakah
para pejabat kita sudah baca buku John Perkins, yaitu Confessions of an Economic Hit Man (2004).
Jangan lupa orang-orang asing itu, khususnya “bule” sangat senang kalau Indonesia labil, guncang, dan kacau, agar mereka bisa bermain dan mengail di air keruh. Jangan lupa pula: Indonesia kaya akan berbagai mineral, khususnya di Papua dan Kalimantan. Saya pernah baca: ”Java het verleden, Sumatra en Borneo het heden, Nieuw Guinea de toekomst”. Artinya: Jawa masa lampau, Sumatera dan Kalimantan masa sekarang, dan Papua masa depan.
Para pemimpin/pejabat kita tentu sudah mafhum bahwa yang menjadi kaya yaitu makelar-makelar minyak sejak zaman Orde Baru. Saya sungguh khawatir uraian saya akan menjadi panjang, apalagi kalau membahas “bangkit”-nya rakyat jelata di daerah-daerah. Belum lagi kalau dikaji masalah pertambangan, pertanahan, penebangan hutan, pengavlingan laut, dst. dst., termasuk pencemaran lingkungan hidup.
Kesimpulan (Sementara)
Pertama, negara ini seperti di zaman akhir VOC menjelang kehancurannya di mana korupsi serta abuse of power merajalela.
Lima dekade yang lalu, tidak ada yang begini ini! Siapa yang
harus “digantung” dalam sejarah? Oleh karena itu, penguasa c.q. pemerintah (dan
DPR) wajib mengambil tindakan tegas tanpa diskriminasi atau tanpa pandang bulu
dalam sifat dan bentuk apa pun, berupa suatu kebijakan (policy) yang mendasar dan menyeluruh (holistik) dalam rangka
mencabut sampai ke akar-akarnya KKN dalam rangka membersihkan semua aparat
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) serta menindak tanpa ampun
semua pengacara, baik yang terlibat KKN maupun yang melanggar kode etik
kepengacaraan.
Kedua, perbaikan yang akan dilakukan tidak cukup dengan
mengandalkan atau menciptakan atau memperbaiki perundang-undangan yang ada.
Memperbaiki perundang-undangan dengan biaya yang di-”simsalabim” di Banggar DPR
memang keterlaluan kalau ada sangkut paut dengan KKN.
Bung Karno pernah bilang: “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken.” Saya ingin
memparafrasakan jadi: ”Met de huidige
regering, politicien, de rechters incl. KPK, en juristen/advocaten, kunnen wij
de corruptie niet uitroeien.” Artinya: dengan pemerintah, para politikus,
para hakim serta KPK dan para sarjana hukum/advokat sekarang ini, kami tidak
dapat membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Mengapa?
Tolong simak penjelasan di Lawyer’s Club TV-One, tanggal 29 April 2012, pukul 19.25 WIB, yaitu ada apa dengan KPK serta para hakim berdasarkan penjelasan Kaligis dan pengacara Nazaruddin yang memberikan kesan ada rekayasa! Mungkin saya keliru dan itu bisa saja.
Ketiga, perbaikan kultural yang harus diutamakan, terutama yang menyangkut moral, etik, dan integritas untuk semua pemimpin sipil, kepolisian, dan militer di segala bidang, apalagi di bidang pendidikan dan perpajakan. Ternyata pelajaran agama cuma suatu kembang dinding atau kembang ritual. Semoga Penguasa Tertinggi tidak pura-pura tutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM dan kesulitan-kesulitan mendirikan serta penghancuran rumah-rumah ibadah dari kelompok manapun.
Keempat, dibutuhkan pemimpin yang tegas bukan yang “inggih-inggih mboten kepanggih” apalagi yang NATO alias ”No Action Talk Only”. Dengan perkataan lain, satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan, meskipun lidah tak bertulang.
Kelima, semacam anomie yang terjadi di Tanah Air kita dari Papua sampai di Aceh, adalah harga yang harus dibayar akibat dari politik pencitraan dan “ambisi hitam” dari para pemimpin sipil, polisi, militer, serta parpol c.q. para politikus di pusat dan di daerah. ”Wiens brood men eet, diens woord men spreekt” (kata orang Belanda) alias ”He who pays the piper calls the tune” (Inggris).
Keenam, tepat sekali kalau dikatakan bahwa “de regering is radeloos, het volk is redeloos, het land is reddeloos.” Artinya: pemerintah (seperti) sudah berputus asa, rakyat tidak mampu berpikir lagi, dan negeri ini sudah tak tertolong lagi.
Ketujuh, Qui vivra
verra (Fr.) = dat zal de tijd leeren
(Bel.) = waktu yang akan mengajar (kita). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar