Rabu, 30 Mei 2012

Memuluskan Jalan bagi Pengembangan Panas Bumi

Memuluskan Jalan bagi Pengembangan Panas Bumi
Edi Leksono ; Dosen Teknik Fisika ITB; Ketua Kelompok Keahlian Teknik Fisika ITB
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2012


DIPERKIRAKAN, 40% dari sumber daya panas bumi di dunia terdapat di Indonesia. Itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan cadangan energi panas bumi terbesar di dunia. Potensi untuk pembangkit listrik bertenaga panas bumi dengan demikian sangatlah besar, mengingat saat ini baru sekitar 4% dari cadangan tenaga panas bumi Indonesia tersebut yang telah dimanfaatkan. Meskipun Indonesia berada di urutan ketiga negara pemanfaat energi panas bumi (setelah Amerika Serikat dan Filipina), panas bumi belum memainkan peran yang signifi kan dalam ketenagalistrikan di negara ini.

Secara umum, kegiatan usaha panas bumi di Indonesia diatur berdasarkan UU No 27 Tahun 2003. Beberapa peraturan pelaksana undangundang tersebut kemudian dikeluarkan pada 2007 dan 2009. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN) 20052025 menargetkan peningkatan pembangkitan listrik bertenaga panas bumi sampai dengan 9.500 Mw di 2025 dari 807 Mw di 2005.

Risiko Gagal Dijamin

Dalam rangka meningkatkan ketertarikan investor dalam penyediaan listrik swasta, Menteri Keuangan pada Agustus 2011 menerbitkan Peraturan No 139/PMK.011/2011. Pemerintah Indonesia memberikan jaminan kepada pihak pengembang apabila terjadi risiko gagal bayar oleh PT PLN (persero) berdasarkan perjanjian jual beli tenaga listrik. Maret lalu, surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) atas proyek PLTP Muaralaboh dan PLTP Rajabasa ditandatangani Menteri Keuangan. Selain fasilitas penjaminan, Kementerian Keuangan menyediakan fasilitas dana geotermal melalui Peraturan Menteri Keuangan No 03/PMK.011/2012 yang merupakan bentuk dukungan pemerintah Indonesia untuk kegiatan eksplorasi panas bumi.

Jaminan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 139/PMK.011/2011 tersebut dapat diberikan berdasarkan usulan dari PLN kepada Menteri Keuangan untuk sebagian atau seluruh jangka waktu pengoperasian pembangkit listrik, yaitu sejak tanggal pengoperasian komersial sampai dengan berakhirnya j jangka waktu perjanjian jual beli tenaga listrik. Khusus untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, jaminan akan dibatalkan apabila investor gagal mencapai financial close, yaitu penandatanganan perjanjian pembiayaan dan penerimaan dana oleh pengembang--dalam jangka waktu 48 bulan setelah penerbitan jaminan.

Sekalipun Peraturan No 139/PMK.011/2011 telah memperjelas bentuk dan struktur penjaminan, itu masih belum dapat dikatakan memadai untuk memastikan terwujud dan berlangsungnya proyekproyek pembangkit listrik.
Jaminan tersebut tidak mencakup risiko-risiko di luar gagal bayar PLN dalam jual beli tenaga listrik dengan investor.

Revisi Batas Harga Jual

Melalui Peraturan Presiden No 4 Tahun 2010, PLN telah ditugaskan mempercepat pembangunan pem bangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Menteri ESDM pun kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 2 Tahun 2011 yang secara khusus mengatur pembangkit listrik tenaga panas bumi. Peraturan Menteri ESDM tersebut mengharuskan PLN untuk membeli listrik dari pengembang PLTP, termasuk para pemenang lelang pengusahaan wilayah kerja panas bumi dan pengembang yang diberi hak atau konsesi sebelum pemberlakuan UU No 27 Tahun 2003.

Selain itu, pernah dinyatakan pula oleh Menteri ESDM bahwa peraturan tersebut juga berlaku pada proyek-proyek pembangkit listrik yang disebutkan dalam Peraturan Menteri ESDM No 15 Tahun 2010, yaitu yang merupakan bagian dari proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 Mw tahap kedua.

Harga listrik panas bumi yang dibeli dari pemenang lelang pengusahaan wilayah kerja panas bumi telah dipatok maksimal sebesar 9,7 sen dolar AS per kWh. Untuk wilayah kerja panas bumi yang telah dilelangkan sebelum pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM No 2 Tahun 2010 yang harga listriknya telah disepakati lebih tinggi dari 9,7 sen dolar AS per kWh, harus dilakukan negosiasi harga baru.
Harga listrik yang telah dibeli sebelum berlakunya UU No 27 Tahun 2003 juga harus dinegosiasi kan kembali. Harga listrik baru hasil negosiasi kemudian harus mendapatkan persetujuan Kementerian ESDM.

Yang patut diperhatikan, pada saat lelang wilayah kerja panas bumi, sulit bagi penawar un tuk menen tukan har ga jual listrik ka rena minimnya ketersediaan data terkait dengan wilayah kerja panas bumi bersangkutan. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penentuan harga sangat mungkin berubah ketika proses penge boran telah di mulai. Untuk itu, pemerin tah diharap kan dapat membantu dan mengu rangi risiko pengembang dengan tidak menyeragamkan patokan harga di seluruh Indonesia, mengingat kondisi daerah yang bisa sangat berbeda-beda.

Saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun kebijakan mengenai feed in tariff khusus untuk panas bumi. Diperkirakan, penetapan tarif khusus ini nantinya tidak seragam, tetapi akan ditentukan beberapa variabel. Pertama, ketersediaan energi selain panas bumi pada lokasi pengembangan. Daerah-daerah yang ketersediaan sumber energi primernya banyak akan memiliki besaran tarif yang le bih kecil jika dibandingkan de ngan daerah yang lebih sedikit memiliki ketersediaan sumber energi selain panas bumi.

Kedua, daya dukung lingkungan di lokasi pengembangan karena panas bumi dikenal sebagai energi yang bersih. Ketiga, ketersediaan energi panas bumi di lokasi pengembangan. Peraturan baru ini sebelumnya dijadwalkan akan diterbitkan pada akhir tahun lalu. Kenyataannya, hingga saat ini peraturan tersebut belum selesai disusun dan diperkirakan baru akan terbit Juni nanti.

Kendala Percepatan

Saat ini, barangkali yang paling mendesak dibutuhkan ialah payung hukum yang mengatur penggunaan kawasan hutan konservasi atau taman nasional untuk mempercepat proses pengembangan panas bumi di Indonesia. Patut diingat bahwa sebagian besar wilayah kerja panas bumi terletak di wilayah-wilayah konservasi, sedangkan sampai saat ini belum ada ketegasan mengenai pemanfaatan lahan konservasi untuk pengusahaan panas bumi.

Berkenaan dengan aspek teknis dan pendanaan, dibutuhkan alokasi risiko yang adil bagi investor dan pengembang serta syarat dan ketentuan yang diatur jelas dan menjadi bagian dari dokumen lelang. Penjaminan pemerintah yang tersedia saat ini masih belum mempertimbangkan tingginya risiko yang harus ditanggung pengembang swasta dalam eksplorasi sumber daya yang disebabkan kurang memadainya data terkait dengan wilayah kerja panas bumi.

Kendala pengembangan panas bumi di Indonesia terletak pula pada pemahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum selaras. Pengembang listrik swasta masih mengeluhkan pungutan-pungutan di daerah yang dapat menambah beban pembiayaan. Selain itu, kompleksitas persoalan pengadaan tanah belum sepenuhnya terjawab bahkan oleh undang-undang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang diberlakukan Januari lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar