Janji
Pemilu dan Sumpah Pejabat
Mohamad Sobary ; Budayawan
SUMBER : KOMPAS, 30
Mei 2012
Orang bijak berkata: ”Hidup dimulai dari ketiadaan menuju ke ketiadaan”.
Kaum bijak lain, yang berkecenderungan lebih
kuantitatif, menyimpulkan, ”Hidup ini perjalanan dari titik nol menuju ke titik
nol berikutnya”. Di dunia politik, titik ”nol” itu tiba-tiba bermetamorfosis
jadi ”nol besar” alias bohong besar. Para pejabat yang memperoleh jabatan lewat
proses pemilihan—tak selalu demokratis—harus menempuh jalan kampanye. Di situ
dilontarkanlah janji-janji menggiurkan yang bisa disebut ”janji pemilu”.
Ungkapan ini hidup dan berkembang terus dalam
kegetiran politik kita. Dan, apa yang getir ini kita gunakan untuk memberi
makna terhadap fenomena lain dalam pergaulan hidup sehari- hari. Barang siapa
terbentur janji yang ternyata tak terpenuhi, apa lagi itu berkali-kali, kita
sebut ”janji pemilu” juga.
Sumpah
Basa-Basi
Konotasi negatif ini betul-betul menyudutkan
pemilu dan para politisi. Padahal, patut dicatat juga, di sekitar kita banyak
orang yang ”murah janji”, tapi sulit memenuhinya. Di sini, orang yang tak
pernah berkampanye sekalipun dalam hidupnya juga dianggap telah ikut membuat
”janji pemilu” tadi. Begitulah cara kehidupan ”mencipta” kata-kata dan
”memproduksi” ungkapan demi ungkapan menggelikan, yang membuat kita merasa
getir sekaligus menjadi lebih matang.
Alhasil, apabila orang menang dalam
pemilihan, jadilah dia pejabat negara. Dan, kita tahu, semua pejabat negara
disumpah— intinya dia sendiri bersumpah— di depan banyak orang, di bawah
bimbingan rohaniwan.
Isinya: dia akan mengutamakan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dia tak akan melakukan tindak
pidana korupsi, kolusi, ataupun nepotisme dalam bentuk apa pun. Dia akan tulus
mengabdi bagi kepentingan bangsa dan negara. Inilah sumpah jabatan, dibimbing
rohaniwan tadi, dengan menyebut nama Allah atau atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
Hingga kini sumpah itu masih kita percayai, seolah kelak bakal dipenuhi dengan
setulus hati.
Pejabat negara seperti Maha Patih Gajahmada
pun punya sumpah. Namun, sumpah beliau tidak standar, tidak perlu dibimbing
rohaniwan, dan tidak seragam. Sumpah itu lahir dari komitmen politik pribadi
yang besar, sebagai suatu aspirasi kultural yang diabdikan bagi negara, dan
menjadi kenangan mengagumkan. Kita mengenalnya sebagai Sumpah Palapa. Dari
momentum ketika sumpah itu diucapkan ke momentum berikutnya ada tindakan, ada
perjuangan. Niat mewujudkan sumpah agar menjadi kenyataan sangat besar, tanpa
memikirkan risiko yang mungkin saja berbahaya.
Ini bedanya sumpah dia dengan sumpah jabatan
bagi para pejabat negara sekarang. Banyak pejabat disumpah, atau bersumpah
berkali-kali, karena ia pindah dari satu jabatan ke jabatan lain. Isi sumpahnya
sama, diucapkan dengan keseriusan yang sama. Ada satu hal penting, yang sungguh
mengagumkan bagi saya, saat bersumpah, pejabat itu tak ketawa. Ini luar biasa
seriusnya meski mereka tahu persis sumpah itu hanya dagelan dan sekadar
basa-basi birokrasi.
Sesudah bersumpah mereka memuaskan diri
dengan korupsi dan melanggar sehebat-hebatnya semua sumpah itu, tetapi tak ada
satu pejabat pun yang kualat. Adakah ini salah sang rohaniwan, yang tak
berwibawa dan tak memiliki kompetensi rohani secukupnya? Mengapa pejabat korup
yang melanggar sumpah itu hidupnya malah mulus, makmur, masih dipuja-puja
media, dan naik haji atau umroh sekeluarga juga disorot media dengan kekaguman
yang tak disembunyikan? Dua pihak, yang kagum dan yang dikagumi, sama-sama
telah kehilangan rasa malu.
Sumpah seperti ini hanya menjadi sampah
kebudayaan yang membikin erosi integritas moral dan politik bangsa kita. Dari
hari ke hari kita berkubang di dalam kebusukan seperti itu, tapi kita, tampaknya,
diam-diam merasa sedang berada dalam infotainment yang menyegarkan.
Para pelanggar, penegak, dan penjaga gawang
hukum di negeri ini beramai-ramai berbohong atas nama Tuhan dan kebohongan itu
dilembagakan. Mengapa tradisi ini dibiarkan berkembang terus dan setiap saat
masih saja selalu ada sumpah? Haruskah kita berkesimpulan bahwa dalam
lingkungan komunitas macam itu hidup dimulai dari kepalsuan menuju kepalsuan
yang lebih mengerikan, yang pada akhirnya membahayakan nasib rakyat?
Wajah
Tanpa Dosa
Di zaman Orde Baru dulu hidup juga
mengerikan. Pejabat korup secara mencolok dan ketahuan, tetapi juga aman.
Ketika gelombang kemarahan rakyat menuntut agar uang yang dikorup dikembalikan
kepada rakyat, dengan tenang—bahkan nyaris seperti ada aura senyum di wajahnya,
Pak Harto (Soeharto) bersumpah, ia tak punya satu sen pun uang. Kemarahan,
meski terkendali, bagaikan mendidih di kalangan rakyat. Siapa bisa percaya
kepada sumpah seperti itu? Namun, Pak Harto itu orang terlatih dan segenap
tindakannya selalu bersifat ”legally correct”. Maka, marah tinggal marah.
Kekecewaan publik meluas. Kita frustrasi. Itu zaman Pak Harto.
Tiba-tiba, dalam hiruk pikuk melawan korupsi
yang makin besar dan besar dewasa ini, ada lagi bocah—pejabat negara—yang
wajahnya juga mengesankan seolah ”tanpa dosa”, mengucapkan sumpah bahwa ia tak
korup. Bahwa, jika terbukti, yang bersangkutan siap digantung di Tugu Monas.
Saya mendengar sumpah itu lewat televisi. Betulkah dia siap digantung? Sudah
lama orang tak percaya pada sumpah pejabat yang dijadikan main-main macam itu. ●
sempurna untuk suatu dagelan gila ala indonesia
BalasHapus