Ihwal
Justice Collaborator
Achmad
Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
SUMBER
: SUARA
KARYA, 23 Mei 2012
Bandingkan dengan artikel
Achmad Fauzi di JAWA POS 09 Mei 2012 :
Belakangan ini, panggung hukum Indonesia dihiasi dengan
kolaborator secara tiba-tiba. Jika beberapa waktu lalu, opini publik digiring
oleh kekuatan politik untuk menjadikan Angelina Sondakh sebagai justice collaborator, kini Neneng Sri
Wahyuni dikondisikan demikian.
Neneng, istri M Nazaruddin, menjadi buron KPK sejak 20 Agustus
2011 dalam kasus korupsi pembangkit listrik tenaga surya di Kemenakertrans
senilai Rp 3,8 miliar. Namun, secara tiba-tiba, Neneng ingin keluar dari
persembunyiannya dan mengungkap semua tabir yang menjadi penghalang pandangan
penegak hukum dalam mengurai kejahatan korupsi. Itikad baik yang tiba-tiba ini
harus diwaspadai KPK agar tidak memperlakukan Neneng secara khusus. Sebab,
pokok perdebatan hukum tentang justice
collaborator belakangan ini tak lagi steril dari pengaruh politik.
Konsep justice collaborator
diyakini sebagian kalangan sebagai instrumen untuk mengungkap tabir kejahatan
terorganisir seperti korupsi. Justice
collaborator merupakan saksi pelaku yang bekerja sama, di mana yang bersangkutan
sebagai pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, mengakui
perbuatannya dan bersedia memberikan kesaksian penting tentang keterlibatan
pihak-pihak lain dalam proses peradilan.
Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang
bekerja sama, ada dua. Pertama, yang bersangkutan punya keterlibatan minimum
dalam sebuah tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukan dan
memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Kedua, jaksa
penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan kesaksian dan bukti-bukti signifikan sehingga penyidik dan atau
penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana tersebut secara efektif. Pelaku
lainnya dengan peran yang lebih besar dan telah menyita aset sebagai hasil dari
suatu tindak pidana, dapat diungkap.
Kompensasi yang diberikan kepada seorang justice collaborator berupa pidana percobaan bersyarat secara
khusus dan atau menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa
lainnya yang dinyatakan terbukti bersalah. Terhadap penerapan kompensasi
hukuman ini, di antara pengamat dan praktisi hukum bersilang pendapat.
Ada yang
mengatakan justice collaborator
sebagai pelecehan terhadap hakim karena menggiring putusan hakim pada suatu
perkara tertentu. Tetapi, ada pula yang berargumentasi perlakuan khusus
terhadap seorang justice collaborator
dibolehkan sepanjang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Ihwal justice collaborator secara rinci diatur dalam Konvensi PBB
Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Pasal
37 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan,
memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman seorang
pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan
secara substansial. Ketentuan serupa juga terdapat dalam pasal 26 Konvensi PBB
Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000).
Negara Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006 telah
meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan berdasarkan UU No. 5 Tahun 2009
telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang
Terorganisasi. Karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut
selayaknya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah
menghadapi darurat korupsi.
Kelompok politik mendorong KPK menetapkan Neneng sebagai justice collaborator dengan dalih
tersangka siap mengungkap semua dunia hitam korupsi yang melibatkan dirinya.
Namun, dorongan itu rawan campur tangan otoritas politik terhadap hukum.
Menawarkan peran sebagai justice
collaborator kepada tersangka yang tidak punya itikad baik membuka tabir
kejahatan korupsi sama saja membuka ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi,
serta peluang bagi politisi yang telah masuk dalam bidikan KPK untuk lari dari
jerat penegak hukum.
Ketiadaan itikad baik Neneng untuk membantu KPK terlihat dari sikapnya
yang seolah lari dari tanggung jawab sampai menjadi buron. Neneng sendiri tak
punya komitmen untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap
skandal 'tikus berdasi' di pusaran kekuasaan. Sehingga, telah cacat prasyarat
untuk dijadikan justice collaborator.
Karena itu, KPK sebaiknya memaksimalkan bukti-bukti yang ada dan
melakukan penelusuran rekening mencurigakan milik Neneng terkait proyek di
Kemenakertrans. Penelusuran bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) adalah langkah benar. Tak selalu jerat pasal 11 atau pasal 12
huruf A UU Tipikor yang dipakai. Sebagaimana kejaksaan menjerat Bahasyim
Assiffie (mantan pegawai Dirjen Pajak) dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK juga bisa
melakukan langkah yang sama. Sehingga, semua jaringan korupsi yang menggurita
dengan melibatkan elite kekuasaan dapat terdeteksi dan wacana pemiskinan
koruptor memperoleh momentum.
Masyarakat berharap kadar ketegasan KPK dalam perang melawan
korupsi tidak terdegradasi oleh bergulirnya 'gerilya politik' justice collaborator. Sebagai extra ordinary crime, korupsi tak bisa
diselesaikan melalui kesepakatan politik. Maka dari itu, masyarakat harus turut
serta memantau secara jelas jalannya kasus ini, sehingga segala kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
bisa dikontrol dengan saksama.
Korupsi musuh kita bersama. Sepakat gunakan pembuktian terbalik,
hukum berat dan miskinkan pelakunya. Jangan beri remisi supaya jera. Sebab,
korupsi di negeri ini telah meruntuhkan tata nilai dan visi ideal birokrasi
yang bersih dari penyelewengan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar