Kamis, 24 Mei 2012

Ihwal Justice Collaborator


Ihwal Justice Collaborator
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
SUMBER :  SUARA KARYA, 23 Mei 2012
Bandingkan dengan artikel Achmad Fauzi di JAWA POS 09 Mei 2012 :


Belakangan ini, panggung hukum Indonesia dihiasi dengan kolaborator secara tiba-tiba. Jika beberapa waktu lalu, opini publik digiring oleh kekuatan politik untuk menjadikan Angelina Sondakh sebagai justice collaborator, kini Neneng Sri Wahyuni dikondisikan demikian.

Neneng, istri M Nazaruddin, menjadi buron KPK sejak 20 Agustus 2011 dalam kasus korupsi pembangkit listrik tenaga surya di Kemenakertrans senilai Rp 3,8 miliar. Namun, secara tiba-tiba, Neneng ingin keluar dari persembunyiannya dan mengungkap semua tabir yang menjadi penghalang pandangan penegak hukum dalam mengurai kejahatan korupsi. Itikad baik yang tiba-tiba ini harus diwaspadai KPK agar tidak memperlakukan Neneng secara khusus. Sebab, pokok perdebatan hukum tentang justice collaborator belakangan ini tak lagi steril dari pengaruh politik.

Konsep justice collaborator diyakini sebagian kalangan sebagai instrumen untuk mengungkap tabir kejahatan terorganisir seperti korupsi. Justice collaborator merupakan saksi pelaku yang bekerja sama, di mana yang bersangkutan sebagai pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya dan bersedia memberikan kesaksian penting tentang keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses peradilan.

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, ada dua. Pertama, yang bersangkutan punya keterlibatan minimum dalam sebuah tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukan dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Kedua, jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan kesaksian dan bukti-bukti signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana tersebut secara efektif. Pelaku lainnya dengan peran yang lebih besar dan telah menyita aset sebagai hasil dari suatu tindak pidana, dapat diungkap.

Kompensasi yang diberikan kepada seorang justice collaborator berupa pidana percobaan bersyarat secara khusus dan atau menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lainnya yang dinyatakan terbukti bersalah. Terhadap penerapan kompensasi hukuman ini, di antara pengamat dan praktisi hukum bersilang pendapat. 
Ada yang mengatakan justice collaborator sebagai pelecehan terhadap hakim karena menggiring putusan hakim pada suatu perkara tertentu. Tetapi, ada pula yang berargumentasi perlakuan khusus terhadap seorang justice collaborator dibolehkan sepanjang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Ihwal justice collaborator secara rinci diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Pasal 37 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman seorang pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan secara substansial. Ketentuan serupa juga terdapat dalam pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000).

Negara Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006 telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan berdasarkan UU No. 5 Tahun 2009 telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi. Karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut selayaknya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah menghadapi darurat korupsi.

Kelompok politik mendorong KPK menetapkan Neneng sebagai justice collaborator dengan dalih tersangka siap mengungkap semua dunia hitam korupsi yang melibatkan dirinya. Namun, dorongan itu rawan campur tangan otoritas politik terhadap hukum. Menawarkan peran sebagai justice collaborator kepada tersangka yang tidak punya itikad baik membuka tabir kejahatan korupsi sama saja membuka ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi, serta peluang bagi politisi yang telah masuk dalam bidikan KPK untuk lari dari jerat penegak hukum.

Ketiadaan itikad baik Neneng untuk membantu KPK terlihat dari sikapnya yang seolah lari dari tanggung jawab sampai menjadi buron. Neneng sendiri tak punya komitmen untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap skandal 'tikus berdasi' di pusaran kekuasaan. Sehingga, telah cacat prasyarat untuk dijadikan justice collaborator.

Karena itu, KPK sebaiknya memaksimalkan bukti-bukti yang ada dan melakukan penelusuran rekening mencurigakan milik Neneng terkait proyek di Kemenakertrans. Penelusuran bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah langkah benar. Tak selalu jerat pasal 11 atau pasal 12 huruf A UU Tipikor yang dipakai. Sebagaimana kejaksaan menjerat Bahasyim Assiffie (mantan pegawai Dirjen Pajak) dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK juga bisa melakukan langkah yang sama. Sehingga, semua jaringan korupsi yang menggurita dengan melibatkan elite kekuasaan dapat terdeteksi dan wacana pemiskinan koruptor memperoleh momentum.

Masyarakat berharap kadar ketegasan KPK dalam perang melawan korupsi tidak terdegradasi oleh bergulirnya 'gerilya politik' justice collaborator. Sebagai extra ordinary crime, korupsi tak bisa diselesaikan melalui kesepakatan politik. Maka dari itu, masyarakat harus turut serta memantau secara jelas jalannya kasus ini, sehingga segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) bisa dikontrol dengan saksama.

Korupsi musuh kita bersama. Sepakat gunakan pembuktian terbalik, hukum berat dan miskinkan pelakunya. Jangan beri remisi supaya jera. Sebab, korupsi di negeri ini telah meruntuhkan tata nilai dan visi ideal birokrasi yang bersih dari penyelewengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar