Kamis, 24 Mei 2012

Memahami Krisis Suriah


Memahami Krisis Suriah
Pramudito ; Mantan Diplomat dan Pemerhati Masalah Internasional,
Alumnus Univesitas Negeri Jember
SUMBER :  SUARA KARYA, 24 Mei 2012


Sejak merdeka, Suriah hanya memiliki satu partai, yakni Partai Baath (Sosialis Arab). Awal 1960-an kelompok Syiah Alawite mulai menguasai partai itu. Selanjutnya, pada 1970 Hafidz al Assad dari keluarga besar Assad memimpin Partai Baath sekaligus menjadi Presiden Suriah periode 1970-2000. Setelah Hafidz al Assad wafat, Partai Baath menetapkan anaknya yakni Bashar al Assad menjadi Presiden Suriah hingga sekarang. Jadi, dalam masa 40 tahun terakhir kelompok minoritas Syiah Alawite mendominasi kehidupan politik negara ini.

Gelombang revolusi yang melanda Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya ikut memberikan inspirasi bagi kaum oposisi di Suriah untuk juga berjuang menjungkalkan rezim Presiden Assad. Bagi kaum oposisi, rezim Assad dinilai telah bertindak represif dan otoriter. Rezim Assad membatasi secara ketat partisipasi politik golongan-golongan di luar kelompok Syiah Alawite. Keistimewaan hanya diberikan kepada para pemimpin dan pejabat Partai Baath yang berkuasa untuk duduk dalam pemerintahan. Komandan Disisi IV, salah satu pasukan elite Suriah dipegang oleh Jenderal Masher al Assad, saudara kandung Presiden Assad.

Pembangunan ekonomi juga dirasakan lambat oleh mayoritas rakyat Suriah yang berpaham Sunni. Rakyat Suriah masih tergolong miskin dibandingkan dengan rakyat negara-negara sekelilingnya. Mereka sudah lama merasakan ketidakadilan dan tekanan di bawah kekuasaan rezim al Assad yang menganut paham Syiah.

Suriah diapit oleh Irak, Yordania, Lebanon, Israel dan Turki yang mempunyai peran penting dalam percaturan politik di Timur Tengah. Negara ini juga berperan cukup dominan di Timur Tengah dan selalu mendukung sekutunya, Lebanon yang sama-sama menganut Syiah yakni Hezbollah ketika krisis Lebanon meletus pada 1970-an.

Pada 1967, seusai perang Arab-Israel, Suriah kehilangan dataran tinggi Golan yang jatuh ke tangan Israel dan sampai sekarang belum sepenuhnya kembali ke tangannya. Karena itulah, Suriah selalu bersikap keras terhadap Israel dan menuntut pengembalian daerah-daerah Arab yang direbut Israel setelah perang 1967 tanpa syarat. Iran memandang Suriah sebagai sekutunya yang dapat diandalkan dalam percaturan politik di Timteng. Dalam perang Irak-Iran pada 1980-1988, Suriah mendukung Iran. Sedangkan dengan pihak Palestina, Suriah lebih dekat dengan kelompok Hamas dibandingkan dengan kelompok Fatah - Palestina yang menguasai daerah Tebing Barat.

Dhus, Suriah, Iran, kelompok Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Palestina merupakan poros utama anti-Barat dan anti Israel di Timur Tengah. Sementara itu negara-negara Arab yang mayoritas berpaham Sunni seperti Mesir, Yordania, kelompok Fatah di Palestina cenderung lebih moderat dalam menghadapi Israel. Malahan Mesir dan Yordania, disamping Turki telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Di level internasional Suriah mendapat dukungan Rusia dan China, antara lain karena hubungan ekonomi dan suasana kebatinan di antara mereka. Tak heran, baik Rusia maupun China sebagai anggota tetap DK PBB bersikap pasang badan untuk membela Suriah. Pada waktu pemungutan suara di DK PBB atas Resolusi No S/2012/77 yang diusulkan Jerman, Inggris, Turki dan Liga Arab diveto oleh Rusia dan China. Rusia dan China menilai usulan resolusi yang antara lain berbunyi "meminta Presiden Bashir al Assad mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya" dianggap tidak akan menyelesaikan persoalan dan kedua negara itu menganjurkan pendekatan diplomasi langsung dengan rezim Bashir al Assad.

Atas belum berhasilnya PBB mengatasi kemelut di Suriah, China memanfaatkan kekosongan itu dengan mengajukan sebuah rancangan usulan untuk penyelesaian konflik Suriah. Antara lain usulan menggelar dialog komprehensif antara pemerintah dan oposisi di bawah mediator Utusan Khusus PBB dan Liga Arab, Kofi Anan. Perkembngan terakhir menunjukkan bahwa Kofi Anan sendiri sejauh ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan untuk menyalakan obor perdamaian di Suriah.

Konflik di Suriah antara pihak oposisi dan pemerintah Presiden Bashar al Assad sejauh ini belum ada prospek penyelesaian yang menggembirakan, meskipun pihak PBB dan Liga Arab telah meningkatkan peranannya guna membawa kedua pihak ke meja perundingan.

Kekerasan di beberapa kota di Suriah masih terjadi antara pasukan pemerintah dan pihak opisisi. Keinginan Kofi Anan agar pemerintah Suriah menunjuk sebuah tim perunding belum mendapat tanggapan yang diharapkan dari kedua pihak yang bertikai. Padahal dengan adanya tim perunding yang akan melakukan dialog dengan pihak oposisi merupakan salah satu kunci menuju perdamaian bagi Suriah.

Dalam pada itu, Resolusi DK-PBB No 2043 tentang Penyebaran 300 personil Pemantau PBB oleh kalangan pengamat masih kurang bisa diharapkan untuk menghentikan aksi kekerasan di Suriah. Tim Pemantau PBB itu tidak mempunyai wewenang yang mengikat, karena resolusi itu merupakan hasil kompromi negara-negara Barat Anggota Tetap DK-PBB dengan Rusia dan China, sehingga masih bersifat lunak.

Peledakan dua bom di Damaskus, 10 Mei lalu menunjukkan bahwa situasi di Suriah semakin tidak aman. Pemerintah Suriah menuduh sekelompok militan yang melakukan serangan bom itu untuk menggulingkan Pemerintah Bashar. Namun, kelompok oposisi menuduh justru pemerintahlah yang merekayasa serangan bom itu, untuk menimbulkan kesan bahwa tanpa Presiden Bashar, Suriah akan selalu dalam keadaan kacau.

Sejauh ini seruan-seruan agar rezim Bashar melunakkan sikapnya terhadap kaum opisisi tidak dihiraukan. Sementara setiap langkah DK-PBB selalu dalam bayangan veto Rusia dan China yang lebih pro Presiden Assad. Kiranya selain China dan Rusia, faktor Iran juga perlu diperhitungkan dalam upaya penyelesaian krisis di Suriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar