Memahami
Krisis Suriah
Pramudito
; Mantan Diplomat dan
Pemerhati Masalah Internasional,
Alumnus Univesitas Negeri
Jember
SUMBER
: SUARA
KARYA, 24 Mei 2012
Sejak merdeka, Suriah hanya memiliki satu partai, yakni Partai
Baath (Sosialis Arab). Awal 1960-an kelompok Syiah Alawite mulai menguasai
partai itu. Selanjutnya, pada 1970 Hafidz al Assad dari keluarga besar Assad
memimpin Partai Baath sekaligus menjadi Presiden Suriah periode 1970-2000.
Setelah Hafidz al Assad wafat, Partai Baath menetapkan anaknya yakni Bashar al
Assad menjadi Presiden Suriah hingga sekarang. Jadi, dalam masa 40 tahun
terakhir kelompok minoritas Syiah Alawite mendominasi kehidupan politik negara
ini.
Gelombang revolusi yang melanda Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya
ikut memberikan inspirasi bagi kaum oposisi di Suriah untuk juga berjuang
menjungkalkan rezim Presiden Assad. Bagi kaum oposisi, rezim Assad dinilai
telah bertindak represif dan otoriter. Rezim Assad membatasi secara ketat
partisipasi politik golongan-golongan di luar kelompok Syiah Alawite.
Keistimewaan hanya diberikan kepada para pemimpin dan pejabat Partai Baath yang
berkuasa untuk duduk dalam pemerintahan. Komandan Disisi IV, salah satu pasukan
elite Suriah dipegang oleh Jenderal Masher al Assad, saudara kandung Presiden
Assad.
Pembangunan ekonomi juga dirasakan lambat oleh mayoritas rakyat
Suriah yang berpaham Sunni. Rakyat Suriah masih tergolong miskin dibandingkan
dengan rakyat negara-negara sekelilingnya. Mereka sudah lama merasakan
ketidakadilan dan tekanan di bawah kekuasaan rezim al Assad yang menganut paham
Syiah.
Suriah diapit oleh Irak, Yordania, Lebanon, Israel dan Turki yang
mempunyai peran penting dalam percaturan politik di Timur Tengah. Negara ini
juga berperan cukup dominan di Timur Tengah dan selalu mendukung sekutunya,
Lebanon yang sama-sama menganut Syiah yakni Hezbollah ketika krisis Lebanon
meletus pada 1970-an.
Pada 1967, seusai perang Arab-Israel, Suriah kehilangan dataran
tinggi Golan yang jatuh ke tangan Israel dan sampai sekarang belum sepenuhnya kembali
ke tangannya. Karena itulah, Suriah selalu bersikap keras terhadap Israel dan
menuntut pengembalian daerah-daerah Arab yang direbut Israel setelah perang
1967 tanpa syarat. Iran memandang Suriah sebagai sekutunya yang dapat
diandalkan dalam percaturan politik di Timteng. Dalam perang Irak-Iran pada
1980-1988, Suriah mendukung Iran. Sedangkan dengan pihak Palestina, Suriah
lebih dekat dengan kelompok Hamas dibandingkan dengan kelompok Fatah -
Palestina yang menguasai daerah Tebing Barat.
Dhus, Suriah, Iran, kelompok Hezbollah di Lebanon dan Hamas di
Palestina merupakan poros utama anti-Barat dan anti Israel di Timur Tengah.
Sementara itu negara-negara Arab yang mayoritas berpaham Sunni seperti Mesir,
Yordania, kelompok Fatah di Palestina cenderung lebih moderat dalam menghadapi
Israel. Malahan Mesir dan Yordania, disamping Turki telah menjalin hubungan
diplomatik dengan Israel.
Di level internasional Suriah mendapat dukungan Rusia dan China,
antara lain karena hubungan ekonomi dan suasana kebatinan di antara mereka. Tak
heran, baik Rusia maupun China sebagai anggota tetap DK PBB bersikap pasang
badan untuk membela Suriah. Pada waktu pemungutan suara di DK PBB atas Resolusi
No S/2012/77 yang diusulkan Jerman, Inggris, Turki dan Liga Arab diveto oleh
Rusia dan China. Rusia dan China menilai usulan resolusi yang antara lain
berbunyi "meminta Presiden Bashir al Assad mundur dan menyerahkan
kekuasaan kepada wakilnya" dianggap tidak akan menyelesaikan persoalan dan
kedua negara itu menganjurkan pendekatan diplomasi langsung dengan rezim Bashir
al Assad.
Atas belum berhasilnya PBB mengatasi kemelut di Suriah, China
memanfaatkan kekosongan itu dengan mengajukan sebuah rancangan usulan untuk
penyelesaian konflik Suriah. Antara lain usulan menggelar dialog komprehensif
antara pemerintah dan oposisi di bawah mediator Utusan Khusus PBB dan Liga
Arab, Kofi Anan. Perkembngan terakhir menunjukkan bahwa Kofi Anan sendiri
sejauh ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan untuk menyalakan obor
perdamaian di Suriah.
Konflik di Suriah antara pihak oposisi dan pemerintah Presiden
Bashar al Assad sejauh ini belum ada prospek penyelesaian yang menggembirakan,
meskipun pihak PBB dan Liga Arab telah meningkatkan peranannya guna membawa
kedua pihak ke meja perundingan.
Kekerasan di beberapa kota di Suriah masih terjadi antara pasukan
pemerintah dan pihak opisisi. Keinginan Kofi Anan agar pemerintah Suriah menunjuk
sebuah tim perunding belum mendapat tanggapan yang diharapkan dari kedua pihak
yang bertikai. Padahal dengan adanya tim perunding yang akan melakukan dialog
dengan pihak oposisi merupakan salah satu kunci menuju perdamaian bagi Suriah.
Dalam pada itu, Resolusi DK-PBB No 2043 tentang Penyebaran 300
personil Pemantau PBB oleh kalangan pengamat masih kurang bisa diharapkan untuk
menghentikan aksi kekerasan di Suriah. Tim Pemantau PBB itu tidak mempunyai
wewenang yang mengikat, karena resolusi itu merupakan hasil kompromi
negara-negara Barat Anggota Tetap DK-PBB dengan Rusia dan China, sehingga masih
bersifat lunak.
Peledakan dua bom di Damaskus, 10 Mei lalu menunjukkan bahwa
situasi di Suriah semakin tidak aman. Pemerintah Suriah menuduh sekelompok militan
yang melakukan serangan bom itu untuk menggulingkan Pemerintah Bashar. Namun,
kelompok oposisi menuduh justru pemerintahlah yang merekayasa serangan bom itu,
untuk menimbulkan kesan bahwa tanpa Presiden Bashar, Suriah akan selalu dalam
keadaan kacau.
Sejauh ini seruan-seruan agar rezim Bashar melunakkan sikapnya
terhadap kaum opisisi tidak dihiraukan. Sementara setiap langkah DK-PBB selalu
dalam bayangan veto Rusia dan China yang lebih pro Presiden Assad. Kiranya
selain China dan Rusia, faktor Iran juga perlu diperhitungkan dalam upaya
penyelesaian krisis di Suriah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar