Kamis, 24 Mei 2012

MA dan King No Wrong!


MA dan King No Wrong!
Mariyadi Faqih ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUMBER :  SUARA KARYA, 23 Mei 2012


Cerita pilu dan memalukan di jagad yuridis dan para pejuang keadilan sudah demikian akrab di telinga. Perbuatan memalukan itu pun dapat dilihat, dirasakan dan sepertinya terus saja dihalalkan. Tiada hari tanpa praktik pelukaan atau pelecehan sistemis dan masif terhadap jagad hukum.

Nyaris tiada institusi yuridis yang tidak berstigma buruk. Salah satunya adalah Mahkamah Agung (MA). "Pengadil puncak" ini masih tercatat sebagai institusi yang masih bercitra buruk dalam penegakan hukum, dan lebih sering terpublikasikan sebagai bagian dari lingkaran mafia peradilan. Ini menjadi tantangan sekaligus "PR" bagi Ketua MA sekarang (Hatta Ali).

Lingkaran mafia peradilan itu setidaknya dimulai dari pengadilan terbawah (Pengadilan Negeri), Pengadilan Tinggi (PT), hingga MA. Di sini, penyakit bersumber dari gaya atau paradigma, Nicollo Machiavelli het doel heiling de middelen. Artinya, cara apa pun "halal" dilakukan asalkan tujuan (keinginan) bisa tercapai. Itulah penyakit yang menguasai dan mencabik-cabik institusi peradilan.

Nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu didengarkan dan dijadikan pijakan, jika kepentingan kekuasaan menuntut disukseskan. Praktik-praktik dusta, pengkhianatan, atau pembusukan nilai-nilai (values decay) bisa dikedepankan demi kemapanan dan keberlanjutan kepentingan kekuasaan.

Kepentingan kekuasaan yang "diberhalakan" atau diajarkan Machiavelli itu dikembangkan oleh murid-muridnya, antara lain komunitas elite yudisial kita, dalam bentuk kepentingan memburu dan mendapatkan uang dengan cara gampang, menyelamatkan posisi, menaikkan posisi tawar-menawar, atau memperlicin jalannya politik peradilan "dagang sapi".

Machiavelli seolah sudah menjadi "ikon" di kalangan oknum-oknum di rimba mafia hukum kita, sehingga sikap dan gaya berelasi kekuasaan yudisial yang dibangunnya lebih dominan mempertimbangkan untung rugi, bukan kondisi riil masyarakat atau pencari keadilan yang membutuhkan etos kinerja dan kejuangannya.

Sudah berkali-kali wajah hukum kita tercoreng citranya akibat terjerumus dalam kapitalisasi atau komoditasi dagang sapi gaya para machevialisme atau memenangkan prinsip simbiosis mutualisme (menguntungkan dan diuntungkan). Opsi pragmatisme dan kapitalisme malapraktik profesi dijadikannya sebagai pilihan utama yang mengalahkan berlakunya kode etik.

Jagad sang pengadil mulai dari hakim PN, PT hingga MA menjadi pembenaran kuatnya madzhab machiavelistik meruntuhkan ideologi keadilan, mencabik-cabik kebenaran, mengeliminasi egalitarianisme (equality before the law), dan menghancurkan keadaban yuridis. Hukum menjadi bertaji dan seolah-olah sarat bingkai moral-etis ketika ditembakkan pada wong cilik yang sedang bermasalah hukum, sementara saat dipertemukan dengan kekuatan elitis, mulai dari bandit politik hingga ekonomi (korporasi), tangan-tangan perkasa hakim tiba-tiba kehilangan keberdayaannya (empowerless).

Masyarakat atau pencari keadilan sudah mulai terbiasa mendengar dan membaca sepak terjang elite yudisial yang baru menduduki jabatan strategis di negeri ini, dan gampang mengucapkan atau melantunkan lagu-lagu manis. Misalnya, perkayaan 'akan saya sikat mafia peradilan', atau 'akan saya habisi makelar kasus', 'akan saya tegakkan keadilan untuk siapa pun yang melanggar tanpa kecuali', dan sebagainya. Itu menjadi skema politik pencintraan strukturisasi dirinya di ranah institusi hukum yang seolah benar-benar hendak terwujud dalam waktu secepat-cepatnya. Namun, faktanya ucapan dan janji seperti itu tak pernah terbukti.

Komunitas elite yudisial kita itu mengidap penyakit kekuasaan yudisialnya daripada perannya. Mereka lebih bahagia dan senang bisa menikmati hak-hak privilitas dan eksklusivitas yang diperoleh selama menjadi elitisme yudisial daripada meninggikan militansi atau keberaniannya demi memperjuangkan hak-hak kesamaan derajat dan keadilan wong cilik yang sedang menghadapi kasus. (Himawan, 2011)

Hakim-hakim itu, yang nota bene dalam wilayah kerja MA, memang belum berkeinginan kuat untuk menceraikan dirinya dari pesona hedonisasi malapraktik yang dijalaninya. Terbukti, misalnya, Badan Pengawasan MA telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 107 hakim selama 2010. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2009 (78 hakim). Survei barometer korupsi global, Tranparency International Indonesia juga masih menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga terkorup nomor tiga.

Kasus tersebut menunjukkan, sebagian hakim telah terjerumus menjadi pelaku kejahatan istimewa (extra ordinary crime) akibat menjadikan hukum dan keadilan sebagai "mesin" apologis untuk memperlancar dan menyukseskan kepentingan pribadinya. Para pencari keadilan dibuatnya sebagai penonton dan pejuang yang bodoh, sementara dirinya berdiri jumawa sebagaimana layaknya 'raja-raja kecil' yang berprinsip, king no wrongs.

Itu menunjukkan, bahwa faktanya, jagad hukum di negara ini memang masih mengidap kondisi kritis, yang tidak lepas dari pengaruh kinerja aparat peradilan, di antaranya hakim, yang terperangkap dalam praktik penyalahgunaan peran, kewenangan, atau tugas-tugas fundamentalnya. Akibat kondisi kritis yang menjangkiti ranah hukum itu, seperti diungkap Gumawan Haz (2010), rasanya berat sekali untuk menyebut kalau negara ini masih sebagai negara hukum.

Dalam tataran norma (das sollen) dan bunyi konstitusi, memang negara ini tegas-tegas mengklasifikasikan dirinya jadi negara hukum, namun dalam sisi realitas (das sein), lebih tampak sebagai konstruksi negara dengan sekumpulan manusia (hakim-hakim) yang gemar melakukan perlawanan norma atau pembangkangan hukum (legal discobidience), serta membuat hukum gagal menjakankan tugas sucinya dalam keadilan egaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar