MA
dan King No Wrong!
Mariyadi Faqih ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUMBER
: SUARA
KARYA, 23 Mei 2012
Cerita pilu dan memalukan di jagad yuridis dan para pejuang
keadilan sudah demikian akrab di telinga. Perbuatan memalukan itu pun dapat
dilihat, dirasakan dan sepertinya terus saja dihalalkan. Tiada hari tanpa
praktik pelukaan atau pelecehan sistemis dan masif terhadap jagad hukum.
Nyaris tiada institusi yuridis yang tidak berstigma buruk. Salah
satunya adalah Mahkamah Agung (MA). "Pengadil puncak" ini masih
tercatat sebagai institusi yang masih bercitra buruk dalam penegakan hukum, dan
lebih sering terpublikasikan sebagai bagian dari lingkaran mafia peradilan. Ini
menjadi tantangan sekaligus "PR" bagi Ketua MA sekarang (Hatta Ali).
Lingkaran mafia peradilan itu setidaknya dimulai dari pengadilan
terbawah (Pengadilan Negeri), Pengadilan Tinggi (PT), hingga MA. Di sini,
penyakit bersumber dari gaya atau paradigma, Nicollo Machiavelli het doel heiling de middelen. Artinya,
cara apa pun "halal" dilakukan asalkan tujuan (keinginan) bisa
tercapai. Itulah penyakit yang menguasai dan mencabik-cabik institusi
peradilan.
Nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu
didengarkan dan dijadikan pijakan, jika kepentingan kekuasaan menuntut
disukseskan. Praktik-praktik dusta, pengkhianatan, atau pembusukan nilai-nilai
(values decay) bisa dikedepankan demi
kemapanan dan keberlanjutan kepentingan kekuasaan.
Kepentingan kekuasaan yang "diberhalakan" atau diajarkan
Machiavelli itu dikembangkan oleh murid-muridnya, antara lain komunitas elite
yudisial kita, dalam bentuk kepentingan memburu dan mendapatkan uang dengan
cara gampang, menyelamatkan posisi, menaikkan posisi tawar-menawar, atau
memperlicin jalannya politik peradilan "dagang sapi".
Machiavelli seolah sudah menjadi "ikon" di kalangan
oknum-oknum di rimba mafia hukum kita, sehingga sikap dan gaya berelasi
kekuasaan yudisial yang dibangunnya lebih dominan mempertimbangkan untung rugi,
bukan kondisi riil masyarakat atau pencari keadilan yang membutuhkan etos
kinerja dan kejuangannya.
Sudah berkali-kali wajah hukum kita tercoreng citranya akibat
terjerumus dalam kapitalisasi atau komoditasi dagang sapi gaya para
machevialisme atau memenangkan prinsip simbiosis mutualisme (menguntungkan dan
diuntungkan). Opsi pragmatisme dan kapitalisme malapraktik profesi dijadikannya
sebagai pilihan utama yang mengalahkan berlakunya kode etik.
Jagad sang pengadil mulai dari hakim PN, PT hingga MA menjadi
pembenaran kuatnya madzhab machiavelistik meruntuhkan ideologi keadilan,
mencabik-cabik kebenaran, mengeliminasi egalitarianisme (equality before the law), dan menghancurkan keadaban yuridis. Hukum
menjadi bertaji dan seolah-olah sarat bingkai moral-etis ketika ditembakkan
pada wong cilik yang sedang bermasalah hukum, sementara saat dipertemukan
dengan kekuatan elitis, mulai dari bandit politik hingga ekonomi (korporasi),
tangan-tangan perkasa hakim tiba-tiba kehilangan keberdayaannya (empowerless).
Masyarakat atau pencari keadilan sudah mulai terbiasa mendengar
dan membaca sepak terjang elite yudisial yang baru menduduki jabatan strategis
di negeri ini, dan gampang mengucapkan atau melantunkan lagu-lagu manis.
Misalnya, perkayaan 'akan saya sikat mafia peradilan', atau 'akan saya habisi
makelar kasus', 'akan saya tegakkan keadilan untuk siapa pun yang melanggar
tanpa kecuali', dan sebagainya. Itu menjadi skema politik pencintraan
strukturisasi dirinya di ranah institusi hukum yang seolah benar-benar hendak
terwujud dalam waktu secepat-cepatnya. Namun, faktanya ucapan dan janji seperti
itu tak pernah terbukti.
Komunitas elite yudisial kita itu mengidap penyakit kekuasaan
yudisialnya daripada perannya. Mereka lebih bahagia dan senang bisa menikmati
hak-hak privilitas dan eksklusivitas yang diperoleh selama menjadi elitisme
yudisial daripada meninggikan militansi atau keberaniannya demi memperjuangkan
hak-hak kesamaan derajat dan keadilan wong
cilik yang sedang menghadapi kasus. (Himawan, 2011)
Hakim-hakim itu, yang nota bene dalam wilayah kerja MA, memang
belum berkeinginan kuat untuk menceraikan dirinya dari pesona hedonisasi
malapraktik yang dijalaninya. Terbukti, misalnya, Badan Pengawasan MA telah
menjatuhkan hukuman disiplin kepada 107 hakim selama 2010. Jumlah ini meningkat
dibandingkan 2009 (78 hakim). Survei barometer korupsi global, Tranparency International Indonesia juga
masih menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga terkorup nomor tiga.
Kasus tersebut menunjukkan, sebagian hakim telah terjerumus
menjadi pelaku kejahatan istimewa (extra
ordinary crime) akibat menjadikan hukum dan keadilan sebagai
"mesin" apologis untuk memperlancar dan menyukseskan kepentingan
pribadinya. Para pencari keadilan dibuatnya sebagai penonton dan pejuang yang
bodoh, sementara dirinya berdiri jumawa sebagaimana layaknya 'raja-raja kecil'
yang berprinsip, king no wrongs.
Itu menunjukkan, bahwa faktanya, jagad hukum di negara ini memang
masih mengidap kondisi kritis, yang tidak lepas dari pengaruh kinerja aparat
peradilan, di antaranya hakim, yang terperangkap dalam praktik penyalahgunaan
peran, kewenangan, atau tugas-tugas fundamentalnya. Akibat kondisi kritis yang
menjangkiti ranah hukum itu, seperti diungkap Gumawan Haz (2010), rasanya berat
sekali untuk menyebut kalau negara ini masih sebagai negara hukum.
Dalam tataran norma (das
sollen) dan bunyi konstitusi, memang negara ini tegas-tegas
mengklasifikasikan dirinya jadi negara hukum, namun dalam sisi realitas (das sein), lebih tampak sebagai
konstruksi negara dengan sekumpulan manusia (hakim-hakim) yang gemar melakukan
perlawanan norma atau pembangkangan hukum (legal
discobidience), serta membuat hukum gagal menjakankan tugas sucinya dalam
keadilan egaliter. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar