Kamis, 10 Mei 2012

Plus Minus Justice Collaborator


Plus Minus Justice Collaborator
Achmad Fauzi; Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
SUMBER :  JAWA POS, 09 Mei 2012


KEJAHATAN korupsi di Indonesia terorganisasi dan mewabah. Akarnya kukuh dan menjalar, melemahkan berbagai sendi birokrasi. Karena itu, spektrum peta kerja KPK harus lebih luas dengan membidik kasus-kasus besar serta sektor strategis yang menjadi hulu pembiakan korupsi. Metodenya sistemis, tidak kasus per kasus serta mencari pola atau kecenderungan umumnya.

Konsep justice collaborator yang belakangan marak diperbincangkan diyakini sebagian kalangan sebagai instrumen untuk mengungkap tabir kejahatan terorganisasi seperti korupsi. Justice collaborator merupakan saksi pelaku yang bekerja sama, sebagai pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya dan bersedia memberikan kesaksian penting tentang keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses peradilan.

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja sama ada dua. Pertama, yang bersangkutan punya keterlibatan minimum dalam sebuah tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukan, dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

Kedua, jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan kesaksian dan bukti-bukti signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana tersebut secara efektif: mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar serta menyita aset sebagai hasil dari suatu tindak pidana.

Kompensasi yang diberikan kepada seorang justice collaborator berupa pidana percobaan bersyarat secara khusus dan atau menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lain yang dinyatakan terbukti bersalah.

Terhadap penerapan kompensasi hukuman itu, sebagian di antara pengamat dan praktisi hukum bersilang pendapat. Ada yang mengatakan justice collaborator sebagai pelecehan terhadap hakim karena menggiring putusan hakim pada suatu perkara tertentu. Tetapi, ada pula yang berargumentasi bahwa perlakuan khusus terhadap seorang justice collaborator diperbolehkan sepanjang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Ihwal justice collaborator secara rinci diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) 2003. Pasal 37 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman seorang pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan. Ketentuan serupa juga terdapat dalam pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes) 2000.

Negara Indonesia berdasar UU No 7 Tahun 2006 telah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dan berdasar UU No 5 Tahun 2009 telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi. Karena itu, nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut selayaknya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah menghadapi darurat korupsi.

Angie "Justice Collaborator"?

Pokok perdebatan hukum tentang justice collaborator belakangan ini tak lagi steril dari pengaruh politik. Terutama saat Angelina Sondakh ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dengan kasus suap pembahasan anggaran di Kemenpora dan Kemendikbud. Sebagian pihak mendorong KPK menetapkan Angie, sapaan Angelina Sondakh, sebagai justice collaborator supaya topeng bos besar dan ketua besar yang suka makan "apel malang" atau "apel washington" tersingkap terang. Namun, dorongan itu rawan campur tangan otoritas politik terhadap hukum. Menawarkan peran sebagai justice collaborator kepada tersangka yang tidak punya iktikad baik membuka tabir kejahatan korupsi sama saja dengan membuka ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi, serta peluang bagi politisi yang telah masuk bidikan KPK untuk lari dari jerat penegak hukum.

Publik pernah dibuat gemas tatkala Angie memberikan kesaksian dalam sidang koleganya, M. Nazaruddin, di mana keterangannya akrab dengan kata tidak tahu, tidak ada, ataupun lupa. Percakapan BlackBerry Messenger (BBM) antara Angie dan Mindo Rosalina Manulang disangkal. Hal itu dianggap sebagai fakta bahwa Angie tak punya komitmen di dalam dirinya untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap skandal tikus berdasi di pusaran kekuasaan. Karena itu, Angie dianggap telah cacat prasyarat untuk dijadikan justice collaborator.

Karena itu, KPK sebaiknya memaksimalkan bukti-bukti yang ada dan melakukan penelusuran rekening atau transaksi lain yang mencurigakan milik Angie terkait dengan proyek di dua kementerian tersebut. Penelusuran bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan adalah langkah benar. Apalagi, ada 16 aliran dana yang mencurigakan ke Angie sepanjang 2010. Tak selalu jerat pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 atau pasal 12 huruf A Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dipakai. Sebagaimana kejaksaan menjerat Bahasyim Assiffie (mantan pegawai Ditjen Pajak) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK juga bisa melakukan langkah yang sama. Dengan begitu, semua jaringan korupsi yang menggurita dengan melibatkan elite kekuasaan dapat terdeteksi dan wacana pemiskinan koruptor memperoleh momentum.

Masyarakat berharap kadar ketegasan KPK dalam perang melawan korupsi tidak terdegradasi oleh bergulirnya "gerilya politik" justice collaborator. Sebagai extraordinary crime, korupsi tak bisa diselesaikan secara adat melalui kesepakatan politik. Karena itu, masyarakat harus turut serta memantau secara jelas jalannya kasus tersebut sehingga segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) bisa dikontrol dengan saksama.

Korupsi musuh kita bersama. Sepakat hukum berat dan miskinkan pelakunya. Jangan beri remisi supaya jera. Sebab, pemaknaan restorative justice, yang antara lain adalah victim has to agree, tidak bisa diterjemahkan sebagai doktrin legalitas pemberian remisi dalam perkara korupsi. Sebab, korban atau victim dalam perkara korupsi adalah rakyat banyak, yang tidak mungkin direpresentasikan oleh pihak tertentu. Titik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar