Kekerasan
di Sekitar Kita
Tb Ronny R Nitibaskara, KRIMINOLOG
SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012
Akhir-akhir ini kekerasan berupa pembunuhan
semakin meningkat. Kenyataan menunjukkan, perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain itu dilakukan tanpa pandang usia, tempat, dan waktu.
Pembunuhan yang dilakukan anak SMP dan
percobaan pembunuhan yang dilakukan anak SD terhadap temannya, pembunuhan
terhadap Ayung di sebuah hotel, pembantaian satu keluarga di Bali, serta
pembunuhan terhadap orang yang sedang melayat kerabatnya di RSPAD Gatot
Soebroto menggambarkan betapa masyarakat Indonesia—yang dikenal ramah, berjiwa
sosial, dan bersemangat gotong royong—kini tega berperilaku sadistis.
Penyebab tindak pidana di atas beragam, mulai
dari masalah sangat sepele hingga teramat kompleks.
Beberapa fakta di atas menunjukkan betapa
mahal keamanan di negeri ini. Nyawa manusia sudah tak ada nilainya. Seakan moto
”bunuh dulu, urusan belakangan” menjadi suatu perilaku yang tumbuh subur di
sini. Mengapa seseorang sedemikian mudah melakukan kejahatan kekerasan,
khususnya pembunuhan? Suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawab memuaskan oleh
kriminologi. Berikut beberapa kemungkinannya.
Pembunuhan dan Perilaku
Perspektif klasikal telah mencoba menjelaskan
bahwa dalam masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak merasa takut terhadap
sanksi, baik sanksi sosial maupun hukum. Dalam keadaan frustrasi, mereka tak
segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang
bermacam-macam.
Perilaku yang mengedepankan ”membunuh dulu,
sedangkan akibatnya dipikirkan belakangan” banyak ditemui dalam perspektif
sosial. Ketegangan dan frustrasi yang dialami seseorang yang tinggal atau hidup
di daerah kumuh kelas bawah menyebabkan mereka mudah berperilaku menyimpang.
Sebagaimana diketahui, nilai-nilai kelas bawah menekankan pada kekerasan dan
kekuatan, yang mengakibatkan mereka sering berurusan dengan penegak hukum.
Perspektif lainnya mengacu pada proses
sosial. Pada dasarnya, di masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak punya
kesempatan menikmati institusi konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, dan
keluarga. Mereka umumnya bereaksi keras terhadap tekanan hidup sehari-hari.
Dalam mengekspresikan diri secara verbal,
mereka berusaha menonjolkan diri agar dihormati orang lain. Cara yang ditempuh
untuk mengejar penghargaan tersebut dapat menjurus pada ancaman fisik dan
kekerasan. Ini termasuk perspektif psychological
behaviourist, yang melihat tindakan kekerasan mungkin meningkatkan
derajat/tingkat penggerak agresi. Perspektif lain dalam pendekatan kognitif
yang melihat perkembangan sampai batas (titik) di mana mereka dapat memahami
akibat dari tindakannya. Pembunuh jenis ini tidak pernah berpikir dua kali
sebelum membunuh korbannya.
Tentu saja keseluruhan uraian di atas tak
berpengaruh terhadap mereka yang berasal dari kalangan atas atau terdidik.
Kebanyakan dari mereka, apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembunuhan,
menjadi dalang yang tak terjun langsung ke lapangan.
Pembunuhan dan Budaya
Dalam negara Indonesia dengan beragam suku
bangsa dan budaya, tidak dipungkiri terdapat suatu kelompok yang menganggap
pembunuhan bukan perilaku yang menyimpang selama ditempatkan pada tujuan
menegakkan harga diri dan kehormatan. Budaya siri dari Makassar dan carok dari
Madura, misalnya, merupakan perilaku yang bertujuan untuk membela harga diri
dan kehormatan keluarga. Tindakan itu dianggap lebih penting daripada ancaman
sanksi tindak pidana pembunuhan. Mereka menganggap tindakan tersebut bentuk
kelakuan yang dihargai.
Hal ini tecermin dalam teori subkultur
kekerasan yang melihat bahwa semakin kuat seseorang berintegrasi dengan
subkultur itu, semakin ia menerima aturan-aturan bertingkah laku yang dianut.
Ia akan menyesuaikan kelakuannya dengan aturan bertingkah laku demikian.
Dalam banyak kejadian, orang segera mengambil
senjata guna melindungi dirinya dari orang lain. Memiliki semacam senjata lebih
dipandang sebagai pertanda keterarahan kepada sifat agresif itu. Orang
senantiasa waspada terhadap kemungkinan terjadi tindakan kekerasan dari orang
lain. Jika itu terjadi, dia sendiri pun bersedia ambil bagian dalam tindakan
kekerasan tersebut.
Perspektif lain yang perlu dicermati dalam
teori psikoanalisis. Tak terpecahkan dalam konflik yang dihasilkan dalam trauma
sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian dan tingkah
laku agresif kepada seseorang.
Sehubungan dengan itu, teori Freud
berpendapat, pada dasarnya manusia punya dua insting dasar: insting seksual
(libido) dan insting agresif atau disebut pula sebagai insting kematian. Insting
seksual atau libido adalah insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan
hidup, mempertahankan jenis, atau melanjutkan keturunan. Di lain pihak, insting
agresif adalah insting yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain.
Tingkatan laku agresif tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu tingkatan laku agresif yang mengandung kebencian dan laku
agresif yang memberikan kepuasan tertentu. Tingkah laku yang mengandung
kebencian ditandai oleh kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka,
atau sakit. Tingkah laku yang memberikan kepuasan ditandai oleh kepuasan yang
diperoleh karena lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Pembunuhan dan Media
Banyak pihak berpendapat, terjadinya
pembunuhan memiliki keterkaitan dengan kekerasan yang ditayangkan media,
khususnya media layar kaca. Dalam literatur kriminologi menunjukkan,
studi-studi dan fakta di negara lain tidak sepenuhnya menunjang hipotesis
tersebut. Seperti kasus-kasus yang terjadi di Jepang dan Amerika Serikat.
Kalau dicermati secara saksama, terlihat
bahwa budaya populer di kedua negara itu sama-sama mengandung tingkat kekerasan
yang tinggi. Kebudayaan kontemporer Jepang penuh diwarnai adegan kekerasan,
baik di teater, film, maupun televisi. AS sendiri dikenal sebagai salah satu produsen
terbesar film yang sarat dengan adegan kekerasan.
Tingkat kekerasan di Jepang lebih rendah
daripada AS. Menurut Bayley (1991), rendahnya tingkat kriminalitas di Jepang
atau tingginya angka kriminalitas di AS tampaknya tidak dipengaruhi media layar
kaca, tetapi karena penerapan UU senjata api.
Hasil penelitian Himmelweit (1958), De Four
(1968), dan Belson (1978) turut mengindikasikan bahwa acara televisi yang
menampilkan karakter manusia yang menunjukkan kekerasan tidak dipahami dan
dihayati penonton sebagai isi yang penting dan signifikan. Tidak ditemukan
hubungan kuat antara pemahaman kekerasan dan timbulnya emosi secara
keseluruhan. Pengaruh tayangan media lebih kelihatan dan berbahaya lewat adegan
seks dan pornografi.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat berbagai
faktor terkait maraknya tindak pidana pembunuhan di sekitar kita. Adalah tugas
dan kewajiban pemerintah mengambil langkah-langkah positif untuk mengatasi
fenomena di atas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar