Selasa, 20 Desember 2011

Pro-Kontra Interpelasi Moratorium Remisi

Pro-Kontra Interpelasi Moratorium Remisi
Rusmin Effendi, TENAGA AHLI DPR RI
Sumber : SUARA KARYA, 20 Desember 2011


Pro kontra pengajuan hak interpelasi yang digulirkan tujuh fraksi di DPR (Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, Gerindra, dan Hanura) tentang kebijakan moratorium remisi, pembebasan bersyarat dan asimilasi terhadap narapidana korupsi dan terorisme mendapat perlawanan serius, khususnya Partai Demokrat dan ICW, LSM pegiat anti korupsi. Bahkan, penentang hak interpelasi pun berhasil menggiring opini publik dengan cara mempersepsikan lembaga wakil rakyat sebagai "pembela" para koruptor. Dalam konteks ini, semua pihak harus bersikap dewasa dan memahami hakikat pengajuan hak interpelasi yang merupakan hak konstitusional setiap anggota DPR dengan tujuan meminta keterangan pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apalagi, argumentasi fraksi-fraksi yang menjadi inisiator interpelasi hanya mempertanyakan bagaimana perintah lisan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bisa menjadi dasar hukum dari sebuah kebijakan negara untuk melakukan moratorium remisi.

Sekalipun kata moratorium kemudian dianulir dengan istilah "pengetatan," tentu saja apa yang dilontarkan Denny Indrayana bukan sekedar slip of the tongue, tapi membuktikan kepada publik seorang pakar hukum tidak memahami persoalan secara komprehensif.

Tidaklah mengherankan dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkum HAM, beberapa waktu lalu telah memancing emosional para wakil rakyat yang mempersoalkan kebijakan tersebut, apalagi sikap dan perilaku kurang santun dan nyeleneh Deny Indrayana berbuntut pada "pengusiran." Bahkan, tanpa perasaan bersalah, Menkum HAM tetap keukeh mempertahankan kebijakan pengetatan remisi yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Karena itu, dapat dipahami kebijakan moratorium remisi atas dasar perintah lisan pejabat negera merupakan bukti betapa bobroknya birokrasi dan administrasi pemerintahan, apalagi kebijakan itu dapat dikatagorikan pelanggaran HAM berat.

Selain itu, kebijakan moratorium remisi dapat ditafsirkan sudah menjadi by design yang sengaja dilakukan pemerintah, seperti perintah penangkapan 26 para mantan anggota DPR yang terlibat suap pemilihan Deputi Gubernur BI.

Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dipahami fakta-fakta kebobrokan yang dilakukan Menkum HAM terhadap moratorium remisi antara lain. Pertama, pengakuan Menkum HAM bahwa surat edaran Dirjen Pemasyarakatan No. PAS-HM.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011 tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme dibuat tanpa melalui Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai dasar hukum. 

Kebijakan tersebut justru membatalkan SK Menkum HAM Patrialis Akbar tertanggal 23 Oktober yang berisi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap 102 narapidana. Baru kemudian kebijakan moratorium diberlakukan melalui SK Menkum HAM pada 16 November 2011.

Kedua, poin ketiga surat edaran memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak melanjutkan usulan atau memberikan remisi khusus Natal tahun 2011 bagi narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme.

Kebijakan ini bukan saja terkesan diskriminatif terhadap salah satu agama, tapi juga melanggar Konvesi Anti Korupsi PBB Pasal 30 butir 5 UN CAC 2003 (dirativikasi Indonesia melalui UU No.7/2006) yang mewajibkan Indonesia melaksanakan remisi dan pembebasan bersyarat.

Ketiga, terjadi politisasi hukum yang dilakukan Presiden SBY untuk memberlakukan kebijakan itu tanpa melalui prosedur sebagaimana lazimnya hierarki perundang-undangan. Bahkan, pemerintahan SBY seringkali menabrak peraturan perundang-undangan seperti dalam kasus "kursi haram" pengangkatan Denny Indrayana yang tidak memenuhi persyaratan administrasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang diterbitkan pada 13 Oktober 2011 lalu.

Untuk mengakhiri debat kusir kebijakan moratorium remisi, ada baiknya Kementerian Hukum dan HAM melakukan kajian dan usulan revisi UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan serta PP 28/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Paling tidak, ada payung hukum yang jelas untuk melaksanakan kebijakan, bukan sekedar perintah lisan dan beretorika tanpa dasar hukum yang jelas. Kasus moratorium ini semakin membuktikan kepada publik betapa lebay-nya peraturan yang dibuat pemerintah serta melakukan kriminalisasi hukum dan pelanggaran HAM terhadap hak-hak warga negara.

UU No.12/1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 14 menyebutkan; salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Bagi terpidana korupsi berlaku ketentuan khusus. Kemudian secara teknis dalam Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus teroris, narkotik, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisir lainnya.

Berdasarkan ketentuan diatas, PP 28/2006 telah merinci secara ketat persyaratan yang diperlukan, sehingga tidak perlu lagi ada pengetatan. Secara otomatis pemerintah tetap memiliki kewenangan apakah akan memberikan remisi atau tidak. Apalagi mereka yang terkena kasus korupsi tidaklah dapat disamakan dengan terpidana kriminal. Perbuatan korupsi dianggap sebagai kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar