Rabu, 21 Desember 2011

Mahasiswa: Gerakan dan Harapan


Mahasiswa: Gerakan dan Harapan
Herlianto, MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM MALANG;
KETUA KOORDINATOR KAJIAN BUDAYA ”NGANTIWANI” KOTA MALANG
Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011


Potret mahasiswa saat ini seperti menarik ulur emosi masyarakat. Masyarakat sempat dibuat geram oleh konflik antarmahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo serta bentrokan mahasiswa dengan pihak kampus di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang berujung perusakan fasilitas kampus. Pekan lalu, masyarakat dibuat pilu oleh aksi bakar diri Sondang Hutagalung, mahasiswa hukum Universitas Bung Karno.
Sondang membakar diri di depan Istana Negara. Aksi ekstrem yang berakhir dengan kematian itu adalah bagian dari usahanya membela hak rakyat yang dirampas oleh negara.

Beberapa polisi berkukuh bahwa itu adalah aksi akibat ketidakwarasan Sondang. Namun, hal ini dibantah keluarga dan teman-temannya dalam Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Sondang, anak sopir taksi, adalah orang yang sehat lahir dan batin. Ia idealis dan gencar membela hak rakyat dengan aksi kreatif.

Cipta Lesmana, pakar komunikasi politik, menyebut ini sebagai komunikasi politik karena berlangsung di depan Istana Negara. Artinya, apa yang dilakukan Sondang adalah salah satu upaya membuka mata, telinga, dan hati penguasa negeri ini agar serius menangani serta menuntaskan persoalan hak asasi manusia yang belum ada realisasinya.

Dari segi gerakan muncul pertanyaan, mengapa kali ini Sondang memilih aksi seorang diri yang sangat ekstrem. David Émile Durkheim, salah satu pencetus sosiologi modern, menjelaskan bahwa bunuh diri dan gerakan kebrutalan terjadi akibat perubahan masyarakat yang cepat.

Semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma. Apalagi, peningkatan sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial telah meruntuhkan norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Itulah yang memunculkan segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

Artinya, aksi nekat itu terjadi karena ada kekosongan gerakan mahasiswa, sementara aksi yang ada belum menggerakkan penguasa. Maka, dia pun tampil dengan cara yang berbeda agar ditanggapi. Ironisnya, pengorbanan nyawa ini hanya ditanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya.

Teladan Gerakan

Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial berakibat pada memudarnya solidaritas organik serta kolektivitas. Nilai-nilai itu tereduksi oleh individualitas dalam cara yang berbeda dengan kesadaran kolektif, bahkan sering berbenturan. Inilah pemicu parsialisasi gerakan mahasiswa.

Bukan hal baru bahwa bentrokan antarmahasiswa pada ajang demonstrasi terjadi karena perbedaan identitas latar belakang organisasi. Yang satu mengklaim basis gerakannya yang paling benar, yang lain pun demikian. Muncullah sikap saling mencurigai yang berujung pada anarkisme. Wacana pluralisme dan multikulturalisme belum cukup untuk menjalin toleransi antarorganisasi mahasiswa. Masih dibutuhkan waktu untuk melahirkan gerakan kolektif antargerakan yang tidak memedulikan latar belakang organisasi dan nilai-nilai nasionalisme.

Maka, teladan yang bisa kita ambil dari Sondang adalah mengakhiri aksi seorang diri dan merapatkan barisan untuk menyongsong masa depan bangsa. Sejatinya, aksi itu bukan hanya tamparan terhadap pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan HAM, melainkan juga tamparan moral bagi mahasiswa untuk segera bangkit dan bergegas menegakkan perannya sebagai agen perubahan dan kontrol (agent of change dan agent of control) yang selama ini dirobohkan sendiri oleh mahasiswa.

Mahasiswa yang terjebak pada politik praktis di kampus harus segera mengevaluasi diri dan keluar dari situ. Mereka yang terlelap dalam menara gading ilmu harus bangun dan membantu mereka yang termarjinalkan.

Poin penting lain dari Sondang adalah makna pengorbanan bagi kepentingan publik dan tidak pernah lelah berjuang demi suatu keadilan. Mahasiswa yang haus kebenaran seharusnya tidak tertarik dan tidak memiliki kepentingan terhadap popularitas, uang, serta kekuasaan.

Seperti kata sosiolog Pierre Bourdieu, mahasiswa perlu menciptakan habitus baru, yaitu intelektual kolektif. Habitus ini untuk menjaga dan membela otonominya dari keterlibatan pada praktik politik praktis yang mencederai keadilan serta dapat mengarahkan gerakan mahasiswa pada gerakan kritis terhadap kebijakan yang meminggirkan kaum minoritas.

Harapan Masa Depan

Apa pun alasannya, tumpuan masa depan tetap pada generasi muda, termasuk mahasiswa. Memang mahasiswa menjadi komunitas yang berbeda karena mereka berada di jenjang pendidikan lebih tinggi dari rata-rata masyarakat. Akan tetapi, mahasiswa tetap harus berani berkorban karena makin sulit mencari kaum tua yang peduli negeri ini.

Adalah melelahkan memilah kaum tua yang benar-benar berdedikasi untuk bangsa di tengah kebiasaan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, mahasiswa menjadi harapan akan masa depan baru yang lebih bersih dan berani berkata tidak pada praktik kotor bangsa ini.

Maka, jika negeri ini diskenariokan menuju negara penguasa ekonomi dan negara adikuasa 2025 dan 2045 (Kompas, 25/11 dan 11/11) tumpuan utamanya adalah mahasiswa. Artinya, mahasiswa harus segera mengakhiri kevakuman gerakan, parsialisasi gerakan, apatisme, apalagi hedonisme. Kalau perlu, bersama mendefinisikan ulang makna gerakan yang sebenarnya.

Gaya Hidup

Gaya hidup juga menjadi penyebab tumpulnya gerakan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa yang dikelilingi budaya konsumtif dan perkembangan teknologi bisa mengurangi perhatian mereka pada rakyat yang dilanggar hak-haknya. Waktu luang mahasiswa tersedot untuk bersolek (dandyism) dan konsumsi.

Mahasiswa terjebak pada dramaturgi pameran seperti dikatakan David Chaney dalam bukunya, Lifestyle (1996). Mereka seakan-akan bertindak di atas panggung teatrikal yang kemudian diritualkan. Apa pun kondisinya, lingkungan seakan menuntut mereka untuk selalu tampil modis dan menarik. Mahasiswa menjadi salah satu penikmat produk-produk kapitalis meskipun sebenarnya mereka tak jarang mengkritik kapitalisme.

Maka, sudah saatnya mahasiswa menjadikan momen Sondang Hutagalung ini sebagai ajang refleksi dan, kalau perlu, merekonstruksi visi dan misi gerakan secara nasional dengan mendasarkan pada nilai-nilai kolektivitas serta dedikasi. Mahasiswa perlu membuang jauh gaya hidup yang cenderung individual dan bermuara pada kesenangan sementara: hedonisme, dandyism, apatisme, dramaturgisme, dan sejenisnya.

Mahasiswa perlu segera beranjak untuk mengendalikan kapal bangsa yang tengah oleng terombang-ambing badai moral.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar