Rabu, 21 Desember 2011

Mempertahankan Peringkat Hutang


Mempertahankan Peringkat Hutang
Mirza Adityaswara, EKONOM ISEI
Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011


Berita 15 Desember bahwa lembaga pemeringkat kredit Fitch Ratings telah menaikkan peringkat kredit Surat Utang Republik Indonesia dari BB+ ke BBB- disambut positif pemerintah dan dunia swasta.

Fitch adalah satu dari tiga lembaga pemeringkat yang biasa dijadikan referensi investor. Dua lainnya adalah Standard & Poor’s (S&P) dan Moody’s. Dalam dunia investasi, peringkat BBB- sudah dikategorikan peringkat investment grade (layak investasi). Diperkirakan S&P dan Moody’s juga akan meningkatkan peringkat Indonesia menjadi investment grade dalam 12 bulan ke depan.

Debitor dengan peringkat BBB didefinisikan sebagai ”good credit quality”. Peringkat layak investasi tertinggi adalah AAA (triple A) atau didefinisikan sebagai ”highest credit quality”. Masih ada sembilan peringkat lagi di atas BBB- sebelum mencapai AAA.

Perjuangan panjang, yaitu 14 tahun, bagi Indonesia untuk kembali meraih investment grade. Indonesia meraih peringkat layak investasi BBB- sebelum 1998. Bahkan S&P pada tahun 1995 memberikan peringkat kredit satu jenjang lebih tinggi, yaitu BBB (tanpa tanda minus). Krisis ekonomi parah 1998-1999 membuat peringkat ini jatuh terpuruk. S&P mengategorikan Indonesia menjadi ”selective default” pada Maret 1999, kemudian dinaikkan ke CCC+ pada April 1999. Perjalanan sulit bagi Indonesia karena ada tujuh peringkat di atas CCC+ sebelum mencapai BBB-.

Kemampuan membayar utang tergantung situasi politik, kondisi ekonomi, dan anggaran pemerintah. Anggaran pemerintah yang sehat akan punya cukup dana untuk membayar utang. Peringkat kredit Indonesia mulai membaik secara bertahap dua jenjang menjadi B pada periode 2002-2003, yaitu setelah situasi keamanan dan politik mulai membaik dan proses rekapitalisasi perbankan selesai dilaksanakan. Setelah kurs rupiah menjadi lebih stabil dan suku bunga mulai turun serta bank mulai memberikan kredit, pada akhir 2003-2004 peringkat membaik lagi menjadi B+.

Kemudian Januari 2005-Desember 2011, dalam enam tahun peringkat membaik empat titik hingga kini menjadi BBB-. Pengelolaan ekonomi makro yang berhati hati, terutama menjaga rasio defisit APBN di bawah 2 persen PDB, menekan rasio utang pemerintah di bawah 30 persen PDB, menjaga surplus neraca ekspor impor barang dan jasa, serta memelihara perbankan yang sehat menjadi kunci utama perbaikan terus-menerus di peringkat kredit Indonesia.

Rasio utang pemerintah terus membaik bertahap dari 100 persen PDB saat harus merekapitalisasi perbankan pada 1999-2000 menjadi 25 persen PDB pada 2011. Rasio makro ini harus bisa kita pertahankan jika kita ingin peringkat terus membaik ke arah A. 

Bandingkan dengan Italia, negara ketiga terbesar di Eropa yang peringkat kreditnya A tetapi rasio utang pemerintah 120 persen PDB sehingga peringkat kredit turun dan imbal hasil surat utang pemerintah memburuk signifikan dari 3 persen ke 7 persen dalam setahun terakhir. Negara Eropa yang lebih kecil, seperti Yunani, Irlandia, dan Portugal, juga dilanda krisis ekonomi karena rasio utang pemerintah di atas 100 persen PDB.

Kredibilitas Peringkat

Apa pentingnya peringkat kredit yang dibuat oleh lembaga pemeringkat internasional? Kredibilitas lembaga pemeringkat kredit dipertanyakan setelah mereka gagal memprediksi krisis kredit sektor perumahan (sub-prime mortgage) di pasar keuangan AS 2007-2008, yang kemudian menjadi krisis keuangan global 2008- 2009. Lembaga pemeringkat kredit juga gagal memprediksi kebangkrutan perusahaan energi Enron di AS, 2001. 

Obyektivitas lembaga ini juga dikritik karena mereka dibayar emiten bersangkutan. Maka, peringkat dihasilkan lembaga ini disebut ”lagging indicator” bukan ”leading indicator”, yaitu indikator yang terlambat, bukan indikator yang antisipatif. Pergerakan harga saham dan harga obligasi lebih dipercaya sebagai ”leading indicator”.

Bagi investor jangka pendek, peringkat Indonesia sebenarnya sudah dianggap masuk kategori investment grade, mungkin sejak setahun lalu karena sejak 2010 imbal hasil surat utang negara (SUN) sudah di bawah 7 persen (saat ini SUN 10 tahun hanya 6,1 persen). Bahkan, investor pasar saham sudah melihat potensi perbaikan ekonomi dan kenaikan laba perusahaan Indonesia sejak 2005.

Meski peringkat investment grade terlambat diberikan, peringkat ini sangat bermanfaat bagi Indonesia. Masih banyak investor portofolio, terutama investor jangka panjang seperti dana pensiun dan asuransi di AS serta Eropa yang aturan internalnya tak membolehkan investasi di negara yang belum masuk investment grade. Bahkan, banyak yang mensyaratkan paling tidak dua lembaga memberikan kategori investment grade.

Artinya, belum cukup dengan hanya peringkat dari Fitch, investor menunggu S&P atau Moody’s memberikan investment grade sebelum mereka masuk membeli instrumen keuangan di Indonesia. Artinya, pendanaan jangka panjang dari luar negeri bagi pemerintah, perbankan, dan swasta Indonesia akan menjadi lebih tersedia pada 2012-2013.

Bagaimana kita memanfaatkan ketersediaan pendanaan ini? Yang pertama, proyeknya harus ada. Kedua, proyek tersebut dapat dilaksanakan tanpa hambatan birokrasi, tenaga kerja, ketersediaan lahan, dan infrastruktur pendukung. Peraturan yang mengada-ada cenderung hanya mengundang korupsi. Pada masa desentralisasi, pengusaha yang beroperasi di luar Jakarta harus mengurus perizinan ke berbagai pemda. Investor jalan kereta api mungkin perlu izin dari 12 pemerintah kabupaten. Yang terpenting, pengadaan infrastruktur di wilayah timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara sebab di sanalah kantong-kantong kemiskinan belum tersentuh pembangunan. Semoga disahkannya UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum minggu lalu dapat mempercepat eksekusi proyek infrastruktur kita.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar