Indonesia
sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia
Evi Rahmawati, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH;
AKTIF DI LEMBAGA STUDI AGAMA DAN
FILSAFAT (LSAF)
Sumber
: JIL, 12 Desember
2011
“Ulil
menegaskan optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat
pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap
hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai
sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria,
seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme,
transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia
berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas
menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai
perkembangan yang kita miliki hingga saat ini. Bahkan, Ulil mempertegas
keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan
bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.”
Islam adalah agama yang membawa kemajuan.
Sebagaimana manusia, melalui akalnya yang secara pasti diberkahi kemampuan
untuk terus bergerak dan berkembang secara dinamis. Pun Islam bukanlah agama
statis yang senantiasa memberi tempat pada kejumudan.
Demikian Neng Dara Affiah menjelaskan spirit
yang ingin disampaikan buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Neng Dara
menyampaikan hal itu dalam acara peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam
Indonesia tersebut pada 28 November 2011 lalu di Aula Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang. Buku ini memuat 19 tulisan
dari beberapa intelektual muslim Indonesia, di antaranya tulisan Neng Dara
Affiah dan Ulil Abshar Abdalla yang menjadi narasumber dalam acara tersebut,
juga Syamsul Arifin yang pada kesempatan yang sama bertindak sebagai moderator.
Peluncuran buku di UIN Malang ini merupakan
bagian dari roadshow yang diselenggarakan Komunitas Epistemik Muslim Indonesia
(KEMI) –sebuah kelompok intelektual Muslim yang berikhtiar memproduksi para
pemikir sekaligus pemikiran-pemikiran keislamannya. Roadshow yang dilakukan di
empat kota di Indonesia (Padang, Malang, Makassar, dan Jakarta) tersebut
diharapkan bisa memperkenalkan pemikiran keislaman yang tertuang dalam buku
ini. Dengan begitu, acara ini dapat membuka ruang diskusi yang lebih hidup dan
produktif.
Masih menurut Neng Dara, dengan cara pandang
optimis ia memberikan keyakinan bahwa Islam sangat mungkin membawa kemajuan
seiring dengan dinamika manusia. Dalam kesempatan ini Neng Dara mencoba melacak
beberapa prasyarat bagi kemajuan Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan
mutakhir. Pertama, Islam sangat mengutamakan potensi kemajuan yang dimiliki
manusia. Jika diibaratkan, manusia seperti pohon yang akarnya kuat, batangnya
kokoh dan daunnya rimbun. Manusia akan selalu mengalami perkembangan pemikiran
sepanjang perjalanannya. Kedua, Islam percaya akan penegakan hak-hak perempuan.
Sebab, isu perempuan bukan isu marjinal, melainkan isu sentral yang sama
pentingnya dengan isu kemanusiaan lainnya. Ketiga, Islam kompatibel dengan
demokrasi sebagai sistem negara yang baik. Meski demokrasi di negara kita
terkesan compang-camping, namun itu tidak harus menjadi alasan untuk putus asa
terhadapnya, karena nila-nilai yang dikandung demokrasi sangat dibutuhkan untuk
menciptakan sebuah sistem masyarakat yang adil. Keempat, Islam sangat
ramah terhadap hak-hak minoritas. Kaum minoritas di sini bisa siapa saja,
apakah itu kaum agama atau kepercayaan minoritas, atau kaum minoritas lain yang
berpotensi mengalami diskriminasi. Kelima, Islam percaya akan kebebasan
berpikir. Ketika imajinasi intelektual tidak diintervensi, maka akan melahirkan
produk pemikiran yang tak terbatas pula.
Dalam diskusi yang disambut sangat baik oleh
sebagian besar elemen kampus tersebut, Neng Dara, sebagaimana kiprahnya selama
ini banyak berkecimpung dalam isu-isu perempuan, meyakini bahwa Islam
sesungguhnya adalah agama yang percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Adalah
salah kaprah jika agama justru dijadikan sebagai legitimasi untuk meminggirkan
hak-hak perempuan. Dalam kesempatan tersebut, Neng Dara juga menyatakan
keresahannya akan Perda-Perda yang kian menjamur, bahkan angkanya mencapai 207
Perda bernuansa syari’ah—menurut catatan pemantauan Komnas Perempuan—yang
kesemuanya memiliki kecenderungan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan.
“Kecenderungan tersebut bisa dikatakan
semacam syndrome, yang menganggap aurat perempuan sebagai “momok” menakutkan.
Sehingga, kaum perempuan mesti diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam
stabilitas masyarakat. Padahal, dalam catatan sejarah, tidak ada preseden atau
contoh di masa lalu negara mengatur cara-cara perempuan berpakaian. Tentu saja,
kita mesti sepakat, karena tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, yang tidak
harus menjadi bagian dari urusan Negara,” demikian Neng Dara memberikan
penekanan.
Neng Dara Affiah yang selama dua periode
didapuk sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan juga aktif di Fatayat NU
tersebut mengajak peserta diskusi untuk kembali mengingat sejarah, bilamana
pergerakan perempuan bersemi di awal tahun 1920-an yang dipelopori oleh gerakan
Poetri Mardika di tahun 1912. Pada masa itu, menurutnya, pergerakan perempuan
sama halnya dengan gerakan-gerakan lainnya: lantang melakukan kontrol terhadap
kolonialisme. Bahkan Sukarno telah lebih dulu memperlihatkan penghargaannya
terhadap hak-hak perempuan melalui bukunya Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam
Perdjoangan Repoeblik Indonesia, racikan dari bahan-bahan diskusi pada “Kursus
Wanita” yang digerakkannya setiap dua pekan sekali di Yogyakarta. “Dengan
demikian,” tegas Neng Dara—hendak memerikan sebuah ironi—, “jika Sukarno saja
di masa itu sudah sadar bahwa persoalan hak-hak perempuan adalah persoalan
bersama (masyarakat), alangkah lucunya bila di masa kini masih ada yang
menganggap isu-isu perempuan sebagai isu pinggiran, yang tidak terlalu seksi
bahkan untuk sekedar diperbincangkan.”
Sementara, Ulil Abshar Abdalla yang juga
menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, membuka perbincangannya dengan memuji
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai cerminan kampus pembaharu yang sejak
semula sudah dicita-citakan oleh para pembaharu muslim, semisal Kiai Haji Ahmad
Dahlan. Menurut salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut,
core atau inti dari pembaruan yang ingin dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam
semisal Muhammad Abduh adalah bagaimana agar masyarakat muslim tetap
mempertahankan otentisitasnya sebagai muslim, tanpa menutup diri terhadap
modernitas. “We are moslem, and yet in the same time, we are modern,” jelas
Ulil. Dalam tradisi NU sendiri kita bisa menjumpai istilah al-muhâfadhah
‘ala al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (mempertahankan
tradisi yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik).
Atas dasar tersebut, Ulil juga bermaksud
menularkan kepada para peserta diskusi perihal optimismenya bahwa Indonesia
memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional.
Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua
sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu
dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas,
toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset
tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia
jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau
melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini, termasuk
keberadaan kampus Islam modern semisal UIN Malang, yang merupakan perkawinan
sempurna antara tradisionalisme dan modernisme. Bahkan, Ulil mempertegas
keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan
bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.
Lebih jauh, Ulil—yang merupakan salah satu
peneliti pada Freedom Institute tersebut—menyatakan optimismenya terhadap
potensi kemajuan dunia Islam di tangan Indonesia. Karena sampai sejauh ini
Indonesia berhasil menaklukkan tantangan-tantangan berat yang mungkin saja
tidak bisa dihadapi negara lain manakala mengalami masa transisi politik.
Menurut pengamatannya, ketika sebuah negara mengalami transisi politik, ia akan
berhadapan dengan fase-fase berbahaya yang bisa mengancam stabilitas
pemerintahan. Akibatnya, negara yang dalam masa transisi rentan mengalami
balkanisasi, sebuah gejala disintegrasi yang diakibatkan oleh menjamurnya
separatisme. Contoh paling representatif adalah pengalaman Uni Soviet dan
negara-negara di Timur Tengah.
“Sementara Indonesia,” sambung Ulil,
“berhasil melalui masa transisi tanpa harus kehilangan banyak. Mungkin seketika
kita teringat akan Timor Leste. Tetapi itu hanya sebuah pengecualian. Pada
kenyataannya, Indonesia tetap menjadi negara kesatuan yang utuh hingga
sekarang.” Ulil meyakini bahwa gerakan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peranan
penting dalam hal ini. Di mana masyarakat NU telah lebih dulu mengamini ijtihad
politik pendahulunya, KH Ahmad Shiddiq, yang mendeklarasikan Indonesia sebagai
negara final. Sehingga, umat Islam Indonesia tidak perlu lagi mencontoh bentuk
pemerintahan di negara Islam lainnya. “Deklarasi yang diprakarsai Ahmad
Shiddiq, Rais Am NU pada masa itu (1984), merupakan sebuah strategi efektif
dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme masyarakat melalui legitimasi agama,”
demikian Ulil menyatakan kebanggaannya atas tradisi luhur yang telah dibangun
oleh NU sejak Muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 itu.
Di samping itu, Indonesia berhasil melalui
masa transisi tanpa kudeta militer. Kita bisa melihat kondisi memprihatinkan
yang dialami Mesir manakala negara ini mengalami masa transisi dari
pemerintahan yang otoriter menuju demokrasi. Ketika pemerintahan Husni Mubarak
berhasil ditumbangkan, Mesir masih terus mengalami pergolakan hebat yang
diakibatkan oleh perlawanan masyarakat terhadap kepemimpinan baru yang diusung
oleh kalangan militer. Indonesia sedikit lebih beruntung karena transisi di
masa reformasi dipimpin oleh kalangan sipil, yaitu B.J. Habibie. Kepemimpinan
Habibie sebagai tokoh sipil, tidak bisa kita lupakan begitu saja jasanya.
Adalah kontribusi Habibie yang berhasil meloloskan undang-undang penting
semisal UU tentang Otonomi Daerah, pemisahan antara TNI dan POLRI, dsb.
Kemajuan lain yang diperlihatkan Indonesia
adalah dukungan serta partisipasi masyarakat yang begitu besar terhadap
demokrasi. Beberapa inisiatif terus dilakukan masyarakat demi mendukung wacana
demokrasi melalui berbagai elemen, apakah itu melalui tokoh masyarakat, partai
politik, NGO (LSM), Perguruan Tinggi Islam semisal IAIN yang sumbangannya cukup
besar dalam mewacanakan demokrasi. Sebagaimana pernah dilakukan UIN Syarif
Hidayatullah yang pernah membuat semacam buku panduan tentang HAM. Atau
misalnya NU yang pernah membuat halaqah yang khusus menyoroti fikih korupsi.
Sebagai penutup, Ulil menambahkan bahwa perlu
ada upaya untuk terus meningkatkan capaian-capaian yang telah Indonesia miliki.
Salah satunya adalah dengan terus mengembangkan tradisi keilmuan di kalangan
sarjana, sehingga nubuat Fazlur Rahman di atas bukan sekadar pujian atau
harapan kosong. Dalam kesempatan itu, Ulil mengungkapkan kerinduannya terhadap
iklim intelektualisme yang pernah begitu subur di tahun 1970-an, masa di mana
gerbong pemikiran Islam tengah mengalami kejayaan saat Cak Nur dan Gus Dur
menjadi masinisnya. Sementara sekarang, Ulil melihat bahwa tradisi seperti di
masa itu (dekade 70-an) sudah mulai luntur. Karena itulah, Ulil yang juga salah
satu pengarah KEMI, ingin mengoptimalkan peran komunitas epistemik ini sebagai
mediator yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kejayaan pemikiran Islam
yang pernah berkibar beberapa dekade lalu.
Ulil pun menambahkan, bahwa upaya lain yang
harus dilakukan oleh para sarjana adalah memperbanyak karya dalam bahasa
Inggris. Karena bahasa ini adalah satu-satunya mediator yang paling efektif
untuk melebarkan sayap pemikiran kita di dunia Internasional. Selain itu,
lanjut Ulil, kita juga harus berupaya mengembangkan dan memperbanyak
jurna-jurnal ilmiah yang bisa dijadikan rujukan orang lain manakala ingin
belajar tentang Islam Indonesia. Upaya terakhir yang perlu dilakukan adalah
dengan membuka diri terhadap segala pendekatan keilmuan, apakah itu pendekatan
yang tradisional atau yang liberal. Dengan terbuka terhadap beragam pendekatan
itu, maka diharapkan bisa merangsang dialog-dialog yang sehat demi perkembangan
keilmuan kita di masa mendatang. Maka dengan memenuhi upaya-upaya tersebut,
Ulil menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia bisa memenuhi nubuat Prof Fazlur
Rahman sebagai negara model keislaman internasional, laiknya mercusuar yang
bisa menerangi dunia Islam lainnya.
Sementara itu, Dr. Lutfi Mustofa, dosen
Filsafat di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang juga menjadi narasumber pada
diskusi tersebut menguraikan sejarah pembaruan serta fase yang dilewatinya.
Menurutnya, pembaruan dalam Islam melewati fase pertamanya di abad 17-18, yang
dipicu oleh kesadaran akan kondisi internal Islam yang mengalami penurunan,
bahkan jauh tertinggal dari masyarakat Barat. Sementara fase selanjutnya,
pembaruan kemudian dimotivasi oleh kolonialisme. Menjalarnya penjajahan di
berbagai dunia Islam itulah yang kembali membangunkan gairah masyarakat di
dunia Islam untuk melakukan pembaruan.
Pada titik inilah Lutfi Mustofa hendak
menggiring peserta pada harapan yang sama: pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia tidak lain mimpi bersama bangsa ini dalam membangun masyarakat yang
lebih dewasa dalam mengantarkan pola hubungan yang lebih harmonis antara negara
dan agama. Yakni, menampilkan wajah agama yang mendorong nilai-nilai universal
untuk mendorong sekularisme di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar