Rabu, 14 Desember 2011

Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia

Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia
Evi Rahmawati, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH;
AKTIF DI LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (LSAF)
Sumber : JIL, 12 Desember 2011


“Ulil menegaskan optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.”

Islam adalah agama yang membawa kemajuan. Sebagaimana manusia, melalui akalnya yang secara pasti diberkahi kemampuan untuk terus bergerak dan berkembang secara dinamis. Pun Islam bukanlah agama statis yang senantiasa memberi tempat pada kejumudan.

Demikian Neng Dara Affiah menjelaskan spirit yang ingin disampaikan buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Neng Dara menyampaikan hal itu dalam acara peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia tersebut pada 28 November 2011 lalu di Aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang. Buku ini memuat 19 tulisan dari beberapa intelektual muslim Indonesia, di antaranya tulisan Neng Dara Affiah dan Ulil Abshar Abdalla yang menjadi narasumber dalam acara tersebut, juga Syamsul Arifin yang pada kesempatan yang sama bertindak sebagai moderator.

Peluncuran buku di UIN Malang ini merupakan bagian dari roadshow yang diselenggarakan Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) –sebuah kelompok intelektual Muslim yang berikhtiar memproduksi para pemikir sekaligus pemikiran-pemikiran keislamannya. Roadshow yang dilakukan di empat kota di Indonesia (Padang, Malang, Makassar, dan Jakarta) tersebut diharapkan bisa memperkenalkan pemikiran keislaman yang tertuang dalam buku ini. Dengan begitu, acara ini dapat membuka ruang diskusi yang lebih hidup dan produktif.

Masih menurut Neng Dara, dengan cara pandang optimis ia memberikan keyakinan bahwa Islam sangat mungkin membawa kemajuan seiring dengan dinamika manusia. Dalam kesempatan ini Neng Dara mencoba melacak beberapa prasyarat bagi kemajuan Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan mutakhir. Pertama, Islam sangat mengutamakan potensi kemajuan yang dimiliki manusia. Jika diibaratkan, manusia seperti pohon yang akarnya kuat, batangnya kokoh dan daunnya rimbun. Manusia akan selalu mengalami perkembangan pemikiran sepanjang perjalanannya. Kedua, Islam percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Sebab, isu perempuan bukan isu marjinal, melainkan isu sentral yang sama pentingnya dengan isu kemanusiaan lainnya. Ketiga, Islam kompatibel dengan demokrasi sebagai sistem negara yang baik. Meski demokrasi di negara kita terkesan compang-camping, namun itu tidak harus menjadi alasan untuk putus asa terhadapnya, karena nila-nilai yang dikandung demokrasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan sebuah sistem masyarakat yang adil. Keempat,  Islam sangat ramah terhadap hak-hak minoritas. Kaum minoritas di sini bisa siapa saja, apakah itu kaum agama atau kepercayaan minoritas, atau kaum minoritas lain yang berpotensi mengalami diskriminasi. Kelima, Islam percaya akan kebebasan berpikir. Ketika imajinasi intelektual tidak diintervensi, maka akan melahirkan produk pemikiran yang tak terbatas pula.

Dalam diskusi yang disambut sangat baik oleh sebagian besar elemen kampus tersebut, Neng Dara, sebagaimana kiprahnya selama ini banyak berkecimpung dalam isu-isu perempuan, meyakini bahwa Islam sesungguhnya adalah agama yang percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Adalah salah kaprah jika agama justru dijadikan sebagai legitimasi untuk meminggirkan hak-hak perempuan. Dalam kesempatan tersebut, Neng Dara juga menyatakan keresahannya akan Perda-Perda yang kian menjamur, bahkan angkanya mencapai 207 Perda bernuansa syari’ah—menurut catatan pemantauan Komnas Perempuan—yang kesemuanya memiliki kecenderungan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan.

“Kecenderungan tersebut bisa dikatakan semacam syndrome, yang menganggap aurat perempuan sebagai “momok” menakutkan. Sehingga, kaum perempuan mesti diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam stabilitas masyarakat. Padahal, dalam catatan sejarah, tidak ada preseden atau contoh di masa lalu negara mengatur cara-cara perempuan berpakaian. Tentu saja, kita mesti sepakat, karena tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, yang tidak harus menjadi bagian dari urusan Negara,” demikian Neng Dara memberikan penekanan.

Neng Dara Affiah yang selama dua periode didapuk sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan juga aktif di Fatayat NU tersebut mengajak peserta diskusi untuk kembali mengingat sejarah, bilamana pergerakan perempuan bersemi di awal tahun 1920-an yang dipelopori oleh gerakan Poetri Mardika di tahun 1912. Pada masa itu, menurutnya, pergerakan perempuan sama halnya dengan gerakan-gerakan lainnya: lantang melakukan kontrol terhadap kolonialisme. Bahkan Sukarno telah lebih dulu memperlihatkan penghargaannya terhadap hak-hak perempuan melalui bukunya Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Repoeblik Indonesia, racikan dari bahan-bahan diskusi pada “Kursus Wanita” yang digerakkannya setiap dua pekan sekali di Yogyakarta. “Dengan demikian,” tegas Neng Dara—hendak memerikan sebuah ironi—, “jika Sukarno saja di masa itu sudah sadar bahwa persoalan hak-hak perempuan adalah persoalan bersama (masyarakat), alangkah lucunya bila di masa kini masih ada yang menganggap isu-isu perempuan sebagai isu pinggiran, yang tidak terlalu seksi bahkan untuk sekedar diperbincangkan.”

Sementara, Ulil Abshar Abdalla yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, membuka perbincangannya dengan memuji UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai cerminan kampus pembaharu yang sejak semula sudah dicita-citakan oleh para pembaharu muslim, semisal Kiai Haji Ahmad Dahlan. Menurut salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut, core atau inti dari pembaruan yang ingin dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam semisal Muhammad Abduh adalah bagaimana agar masyarakat muslim tetap mempertahankan otentisitasnya sebagai muslim, tanpa menutup diri terhadap modernitas. “We are moslem, and yet in the same time, we are modern,” jelas Ulil.  Dalam tradisi NU sendiri kita bisa menjumpai istilah al-muhâfadhah ‘ala al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik).

Atas dasar tersebut, Ulil juga bermaksud menularkan kepada para peserta diskusi perihal optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini, termasuk keberadaan kampus Islam modern semisal UIN Malang, yang merupakan perkawinan sempurna antara tradisionalisme dan modernisme. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.

Lebih jauh, Ulil—yang merupakan salah satu peneliti pada Freedom Institute tersebut—menyatakan optimismenya terhadap potensi kemajuan dunia Islam di tangan Indonesia. Karena sampai sejauh ini Indonesia berhasil menaklukkan tantangan-tantangan berat yang mungkin saja tidak bisa dihadapi negara lain manakala mengalami masa transisi politik. Menurut pengamatannya, ketika sebuah negara mengalami transisi politik, ia akan berhadapan dengan fase-fase berbahaya yang bisa mengancam stabilitas pemerintahan. Akibatnya, negara yang dalam masa transisi rentan mengalami balkanisasi, sebuah gejala disintegrasi yang diakibatkan oleh menjamurnya separatisme. Contoh paling representatif adalah pengalaman Uni Soviet dan negara-negara di Timur Tengah.

“Sementara Indonesia,” sambung Ulil, “berhasil melalui masa transisi tanpa harus kehilangan banyak. Mungkin seketika kita teringat akan Timor Leste. Tetapi itu hanya sebuah pengecualian. Pada kenyataannya, Indonesia tetap menjadi negara kesatuan yang utuh hingga sekarang.” Ulil meyakini bahwa gerakan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peranan penting dalam hal ini. Di mana masyarakat NU telah lebih dulu mengamini ijtihad politik pendahulunya, KH Ahmad Shiddiq, yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara final. Sehingga, umat Islam Indonesia tidak perlu lagi mencontoh bentuk pemerintahan di negara Islam lainnya. “Deklarasi yang diprakarsai Ahmad Shiddiq, Rais Am NU pada masa itu (1984), merupakan sebuah strategi efektif dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme masyarakat melalui legitimasi agama,” demikian Ulil menyatakan kebanggaannya atas tradisi luhur yang telah dibangun oleh NU sejak Muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 itu.

Di samping itu, Indonesia berhasil melalui masa transisi tanpa kudeta militer. Kita bisa melihat kondisi memprihatinkan yang dialami Mesir manakala negara ini mengalami masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju demokrasi. Ketika pemerintahan Husni Mubarak berhasil ditumbangkan, Mesir masih terus mengalami pergolakan hebat yang diakibatkan oleh perlawanan masyarakat terhadap kepemimpinan baru yang diusung oleh kalangan militer. Indonesia sedikit lebih beruntung karena transisi di masa reformasi dipimpin oleh kalangan sipil, yaitu B.J. Habibie. Kepemimpinan Habibie sebagai tokoh sipil, tidak bisa kita lupakan begitu saja jasanya. Adalah kontribusi Habibie yang berhasil meloloskan undang-undang penting semisal UU tentang Otonomi Daerah, pemisahan antara TNI dan POLRI, dsb.

Kemajuan lain yang diperlihatkan Indonesia adalah dukungan serta partisipasi masyarakat yang begitu besar terhadap demokrasi. Beberapa inisiatif terus dilakukan masyarakat demi mendukung wacana demokrasi melalui berbagai elemen, apakah itu melalui tokoh masyarakat, partai politik, NGO (LSM), Perguruan Tinggi Islam semisal IAIN yang sumbangannya cukup besar dalam mewacanakan demokrasi. Sebagaimana pernah dilakukan UIN Syarif Hidayatullah yang pernah membuat semacam buku panduan tentang HAM. Atau misalnya NU yang pernah membuat halaqah yang khusus menyoroti fikih korupsi.

Sebagai penutup, Ulil menambahkan bahwa perlu ada upaya untuk terus meningkatkan capaian-capaian yang telah Indonesia miliki. Salah satunya adalah dengan terus mengembangkan tradisi keilmuan di kalangan sarjana, sehingga nubuat Fazlur Rahman di atas bukan sekadar pujian atau harapan kosong. Dalam kesempatan itu, Ulil mengungkapkan kerinduannya terhadap iklim intelektualisme yang pernah begitu subur di tahun 1970-an, masa di mana gerbong pemikiran Islam tengah mengalami kejayaan saat Cak Nur dan Gus Dur menjadi masinisnya. Sementara sekarang, Ulil melihat bahwa tradisi seperti di masa itu (dekade 70-an) sudah mulai luntur. Karena itulah, Ulil yang juga salah satu pengarah KEMI, ingin mengoptimalkan peran komunitas epistemik ini sebagai mediator yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kejayaan pemikiran Islam yang pernah berkibar beberapa dekade lalu.

Ulil pun menambahkan, bahwa upaya lain yang harus dilakukan oleh para sarjana adalah memperbanyak karya dalam bahasa Inggris. Karena bahasa ini adalah satu-satunya mediator yang paling efektif untuk melebarkan sayap pemikiran kita di dunia Internasional. Selain itu, lanjut Ulil, kita juga harus berupaya mengembangkan dan memperbanyak jurna-jurnal ilmiah yang bisa dijadikan rujukan orang lain manakala ingin belajar tentang Islam Indonesia. Upaya terakhir yang perlu dilakukan adalah dengan membuka diri terhadap segala pendekatan keilmuan, apakah itu pendekatan yang tradisional atau yang liberal. Dengan terbuka terhadap beragam pendekatan itu, maka diharapkan bisa merangsang dialog-dialog yang sehat demi perkembangan keilmuan kita di masa mendatang. Maka dengan memenuhi upaya-upaya tersebut, Ulil menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia bisa memenuhi nubuat Prof Fazlur Rahman sebagai negara model keislaman internasional, laiknya mercusuar yang bisa menerangi dunia Islam lainnya.

Sementara itu, Dr. Lutfi Mustofa, dosen Filsafat di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang juga menjadi narasumber pada diskusi tersebut menguraikan sejarah pembaruan serta fase yang dilewatinya. Menurutnya, pembaruan dalam Islam melewati fase pertamanya di abad 17-18, yang dipicu oleh kesadaran akan kondisi internal Islam yang mengalami penurunan, bahkan jauh tertinggal dari masyarakat Barat. Sementara fase selanjutnya, pembaruan kemudian dimotivasi oleh kolonialisme. Menjalarnya penjajahan di berbagai dunia Islam itulah yang kembali membangunkan gairah masyarakat di dunia Islam untuk melakukan pembaruan.

Pada titik inilah Lutfi Mustofa hendak menggiring peserta pada harapan yang sama: pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lain mimpi bersama bangsa ini dalam membangun masyarakat yang lebih dewasa dalam mengantarkan pola hubungan yang lebih harmonis antara negara dan agama. Yakni, menampilkan wajah agama yang mendorong nilai-nilai universal untuk mendorong sekularisme di Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar