Menghalau
Radikalisme Agama di Sekolah
Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 12 Desember
2011
“Kelompok
Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah
pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok
Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah
pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka
memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak
cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah
pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam
mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan
kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang.
Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat
Islam sendiri yang non-Wahabi.”
Sekolah adalah tempat anak-anak bertumbuh
secara intelektual dan matang secara sosial. Di sekolah-sekolah publik, sekolah
tak hanya dihuni satu kelompok; kelompok agama, kelompok etnik, dan kelompok
sosial-ekonomi. Para siswa datang dari berbagai strata dan lapisan
sosial-keagamaan. Di antara mereka, ada yang beragama Protestan, Katolik,
Hindu, Budha, di samping Islam bahkan Konghucu dan berbagai jenis aliran
kepercayaan lainnya. Dengan demikian, sekolah memiliki peranan penting dalam
proses pengolahan pluralitas menjadi pluralisme. Sekiranya pluralitas adalah
fakta, maka prluralisme adalah kesadaran untuk menghargai perbedaan-perbedaaan
itu. Bahwa seseorang tak boleh di-ekskomunikasi dan diisolasi karena yang
bersangkutan menganut agama tertentu. Setiap orang punya hak dan bebas memilih
suatu agama. Hak itu dijamin dan dilindungi konstitusi: UUD 1945.
Namun, belakangan muncul anomali dan deviasi.
Sejumlah penelitian menunjukkan adanya kecenderungan radikalisasi agama di
sekolah. Kerap diberitakan sejumlah media, sejumlah siswa sekolah menghilang
tanpa sepengetahuan guru dan orang tuanya. Setelah dilacak ternyata mereka
menjadi bagian dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Kita tahu NII adalah
salah satu gerakan yang terus memupuk dan mengkampanyekan berdirinya negara
Islam seperti yang dikehendaki pendirinya, yaitu S.M Kartosoewirjo. Dalam
ideologi NII lantang dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kafir,
karena tak berdiri di atas fondasi al-Qur’an dan Hadits. Tak sedikit di antara mereka
yang membolehkan pencurian karena harta warga negara Indonesia adalah harta
fa’i atau ghanimah yang boleh diambil, dengan cara paksa seperti perampokan
atau dengan cara penipuan. Bahkan, orang lain yang tak berbai’at dan tak
mengakui NII dianggap kafir. Umat agama lain adalah ancaman.
Itu di sekolah publik yang didirikan dan
dibiayai oleh negara. Belum lagi kalau kita bicara pembelajaran di lembaga
pendidikan yang dikelola swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kelompok
Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah
pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok
Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah
pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka
memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak
cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah
pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam
mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan
kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang.
Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat
Islam sendiri yang non-Wahabi.
Bukan hanya kelompok Wahabi. Kita juga
menyaksikan gelombang radikalisme itu dihentakkan kelompok-kelompok radikal
Islam Indonesia asuhan Osama bin Laden, Abdullah Azzam, Ayman al-Zawahiri, dan
lain-lain. Sebagaimana kaum Wahabi, mereka pun mendirikan sejumlah pesantren,
para tokohnya banyak yang berperan sebagai muballigh/da’i di tengah masyarakat.
Bukan hanya orang tua yang datang ke pengajian tokoh-tokoh radikal Islam itu,
melainkan justru sebagian besarnya adalah anak-anak muda tanggung yang biasanya
masih dalam proses pencarian jati diri. Otak mereka dicuci untuk menghancurkan
negeri sendiri. Anak-anak muda itu diberi pemahaman bahwa Indonesia adalah
negara thagut yang wajib dibasmi. Pencucian otak berlangsung secara sistematis
dan terstruktur dalam kurikulum pendidikan mereka. Bahkan, pesantren mereka tak
hanya berperan sebagai ruang ajar radikalisme melainkan tempat latihan merakit
dan meledakkan bom. Masih segar dalam ingatan, meledaknya bom di Ma’had Umar
ibn Khattab, Bima Nusa Tenggara Barat, pada Senin 11 Juli 2011.
Sekolah telah berubah fungsi; dari lumbung
pertumbuhan intelektualisme menjadi tempat persemaian mudigah radikalisme.
Menghadapi itu, saya mengusulkan dua langkah. Pertama, pemerintah jangan ragu
untuk mengintervensi sekolah-sekolah anti Pancasila, UUD 1945, dan negara
bangsa. Pemerintah perlu memasukkan mata pelajaran pendidikan kewarga-negaraan
ke semua jenjang sekolah di Indonesia, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Sejak dini, anak-anak didik kita perlu mendapatkan asupan pengetahuan tentang,
misalnya, (a) kenapa kita menempuh jalan demokrasi dan bukan teokrasi; (b)
kenapa Indonesia tak menjadi negara agama melainkan negara yang bertumpu pada
Pancasila; (c) kenapa seluruh warga negara berkedudukan sama; yang satu tak
lebih unggul dari yang lain karena faktor agama yang dianutnya.
Kedua, kontrol wali murid terhadap sekolah
sangat diperlukan. Orang tua tak boleh “pasrah-bongkokan” pada sekolah. Mereka
perlu tahu tentang jenis-jenis mata pelajaran sang anak dan siapa pengajarnya.
Bagaimana pandangan sekolah tersebut tentang negara Indonesia, umat berbeda
agama-keyakinan, dan perempuan. Bahkan, secara lebih khusus, wali murid perlu
mengetahui tentang siapa pengajar-dosen agamanya [menyangkut latar belakang
pendidikan dan keluarga dari yang bersangkutan]. Dengan menjadi orang tua yang
proaktif dan kritis, maka anak-anak kita tak akan salah asuhan. Sebab, tak
sedikit anak-anak yang unggul di bidang fisika dan kimia, tapi di tangan guru
agama fundamentalis bisa menjadi anak fundamentalis bahkan teroris. Na’udzu
billah.
Dua langkah ini diajukan sebagai upaya untuk
menghalau radikalisme agama yang tumbuh subur di sekolah-sekolah Indonesia
belakangan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar