Utopia
Pemerataan
Elfindri ;
Profesor Ekonomi Sumber Daya Manusia
dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi
Universitas Andalas
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2014
Dari 500
miliarder peringkat dunia tahun 2014 versi Forbes, memperlihatkan bahwa di
antara mereka ada yang pendatang baru. Sementara yang sudah meninggal tidak
muncul lagi. Bill Gates masih menduduki peringkat pertama dengan kekayaan
USD76 miliar.
Beliau
menguasai bisnis komputer dan perangkat lunak. Sementara peringkat kedua
adalah Carlos Slim dari Meksiko, yang bergerak pada bidang telekomunikasi.
Amancio Ortega peringkat tiga, yang bergerak di bidang fesyen. Tak lupa pula,
Indonesia setidaknya tercatat 19 orang yang kaya raya. Beberapa di antaranya
adalah Michael Hartono, Budi Hartono dan Chairul Tanjung. Jika pada peringkat dunia, bisnis berkembang karena
kemajuan teknologi dan perubahan selera, di Indonesia peringkat dua terbesar
adalah pebisnis yang bergerak di bidang kenikmatan rokok.
Tampak
benarnya bait lagu Rhoma Irama ketika tahun 1980-an melantunkan nyanyian ”Yang kaya makin kaya, yang miskin makin
miskin”. Yang kaya semakin kaya dengan memasuki bisnis telekomunikasi,
komputer dan fesyen, sementara pada kelompok di Indonesia, konsumsi rokok
oleh masyarakat miskin membuat pemilik usaha kaya raya. Distribusi
pengeluaran untuk rokok bagi rumah tangga miskin, sekitar 3,5%, sementara
distribusi pengeluaran yang sama untuk kelompok kaya sekitar 1,5%. Forbes
memang melirik pangsa pasar mereka yang menyukai dan belajar pada orang-orang
yang super kaya.
Majalah
ini tidak akan pernah menghitung berapa pada tahun ini jumlah orang miskin
yang ke luar dari garis kemiskinan. Karena memang tidak itu yang menjadi concern pemberitaan mereka. Tetapi
jika kita lihat dimensi lain, persoalan mendasar pembangunan Indonesia adalah
bagaimana mengatasi ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Oleh Simon Kuznet,
ekonom pembangunan, memang menyatakan bahwa pada awal proses pembangunan
ketimpangan pembangunan akan semakin meningkat.
Pada
titik tertentu, ketimpangan pembangunan akan kembali menurun. Sayang sekali
hipotesa Kuznet itu tidak menyatakan berapa lama sebuah negara melalui masa
kenaikan ketimpangan pembangunan. Sama halnya dengan isu, berapa lama sebuah
negara bisa melalui jebakan negara berpendapatan menengah ‘midle income trap”. China dapat
melalui masa di mana posisi sebagai negara berpendapatan menengah dalam kurun
waktu yang singkat, Indonesia sekalipun sekarang sudah memasuki negara
berpendapatan menengah, namun akan mengalami jebakan yang cukup lama untuk
bertahan pada kelompok negara berpendapatan menengah.
Ketimpangan Meningkat
Persoalan
ketimpangan pembangunandiIndonesia tidak sekedar peningkatan penghasilan pada
kelompok masyarakat yang berpenghasilan 20% tertinggi saja. Namun selain dari
itu, ketimpangan hasil pembangunan yang utama adalah antara pembangunan Jawa
dan luar Jawa. Ketimpangan antara Indonesia bagian Barat dengan bagian Timur.
Ketimpangan juga terjadi di dalam provinsi sendiri, antara pembangunan daerah
kota dan desa. Karena kita negara kepulauan.
Katakan
selama lima tahun terakhir saja. Indeks gini ratio (mendekati 1 semakin
timpang) Indonesia meningkat dari 0,35 tahun 2008 menjadi 0,41 tahun 2012.
Jika dilihat pada berbagai propinsi yang ketimpangannya meningkat di atas 10%
point saja ditemukan pada propinsi-propinsi Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Papua. Peningkatan indeks gini level menengah, katakan
Indeks Gini meningkat 7-9% point, ditemukan pada propinsi seperti Riau, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku.
Hanya
propinsi seperti Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, NTT, dan Maluku Utara di
mana ketimpangannya hanya menaik sekitar 1-2% point(BPS, 2013). Daerah-daerah
di mana sumber kekayaan alam tinggi, menunjukkan tendensi pemusatan
penghasilan kepada berbagai kelompok masyarakat saja. Bahkan dapat diduga
peningkatan penghasilan terutama pada kelompok berpenghasilan tinggi yang
dapat memanfaatkan sumber daya alam saat bersamaan dengan proses desentralisasi
pembangunan.
Daerah -
daerah miskin, seperti NTT, Lampung, Bengkulu, sekalipun tidak menunjukkan
kenaikan ketimpangan pembangunan, tampaknya pada propinsi-propinsi ini
terjadi kemiskinan yang semakin merata. Kuznet memang tidak menyatakan bahwa berapa
lama ketimpangan itu akan dilalui, namun beliau menjelaskan kenapa
ketimpangan terjadi. Alasan utama adalah perpindahan modal capital flight cukup masuk akal, di
mana modal akan mengalir dari daerah di mana tingkat pengembalian rendah
menuju pengembalian tinggi, diikuti juga oleh migrasi tenaga kerja menuju ke
daerah di mana arus modal masuknya juga tinggi. Hanya apakah ketimpangan ini
akan dibiarkan melalui mekanisme invisible handssepeti yang diajukan oleh
Adam Smith?
Mulai dari Infrastruktur
Indonesia
hanya bisa mempercepat masa kenaikan ketimpangan pembangunan melalui
pemerataan infrastruktur. Infrastruktur jalan terutama sangat timpang
terjadi. Daerah Jawa, khususnya di Jabodetabek, atau jalur pantura menghiasi
cerita-cerita pembangunan infrastruktur. Namun cerita-cerita bagaimana
memeratakan infrastruktur ke wilayah luar Jawa masih seperti angan-angan
alias utopia. Pemerintah sejak dulu berdalih, investasi infrastruktur
ditentukan oleh tingkat pengembalian yang tinggi. Asumsi ekonomis itu benar.
Namun
ketika inputdata penduduk dan besaran tingkat pengembalian investasi
dimasukkan sebagai indikator utama, maka jelas hampir-hampir pembangunan
infrastruktur jalan tidak akan feasibledi daerah luar Jawa. Kita tidak bisa
menyesali kenapa Daendels dulu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan di
Pulau Jawa, atau kenapa Laksamaan Cheng Ho menyinggahi berbagai Bandar laut
Batavia, Palembang dan Aceh yang sering dikunjungi. Karena daerah- daerah itu
terkesan pesat perkembangannya. Tetapi kita perlu menunggu pimpinan yang benar-benar
melihat bahwa Indonesia ini adalah negara kesatuan.
Ketika
ketimpangan pembangunan Indonesia dibiarkan seperti ini maka Indonesia akan
membayar harga yang besar dalam jangka panjang. Itu pula yang ditulis oleh
Joseph Stiglitz dalam bukunya terbaru price
inequality. Sebuah kajian yang mendalam beliau paparkan di mana di
Amerika Serikat negara besar seperti itu, hanya sebagian kecil dari
masyarakat yang menguasai penghasilan tertinggi. Sisanya banyak yang hidupnya
sangat tergantung kepada kebijakan Bank Sentral Amerika ”The FED”.
Pembangunan infrastruktur sudah relatif merata di Amerika Serikat, namun di
Indonesia sepertinya jauh panggang dari api. Sebuah utopia yang mesti dihapus
pada pembangunan di masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar