Rabu, 12 Maret 2014

Utopia Pemerataan

Utopia Pemerataan

Elfindri  ;   Profesor Ekonomi Sumber Daya Manusia
dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas
KORAN SINDO,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Dari 500 miliarder peringkat dunia tahun 2014 versi Forbes, memperlihatkan bahwa di antara mereka ada yang pendatang baru. Sementara yang sudah meninggal tidak muncul lagi. Bill Gates masih menduduki peringkat pertama dengan kekayaan USD76 miliar.

Beliau menguasai bisnis komputer dan perangkat lunak. Sementara peringkat kedua adalah Carlos Slim dari Meksiko, yang bergerak pada bidang telekomunikasi. Amancio Ortega peringkat tiga, yang bergerak di bidang fesyen. Tak lupa pula, Indonesia setidaknya tercatat 19 orang yang kaya raya. Beberapa di antaranya adalah Michael Hartono, Budi Hartono dan Chairul Tanjung. Jika pada peringkat dunia, bisnis berkembang karena kemajuan teknologi dan perubahan selera, di Indonesia peringkat dua terbesar adalah pebisnis yang bergerak di bidang kenikmatan rokok.

Tampak benarnya bait lagu Rhoma Irama ketika tahun 1980-an melantunkan nyanyian ”Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Yang kaya semakin kaya dengan memasuki bisnis telekomunikasi, komputer dan fesyen, sementara pada kelompok di Indonesia, konsumsi rokok oleh masyarakat miskin membuat pemilik usaha kaya raya. Distribusi pengeluaran untuk rokok bagi rumah tangga miskin, sekitar 3,5%, sementara distribusi pengeluaran yang sama untuk kelompok kaya sekitar 1,5%. Forbes memang melirik pangsa pasar mereka yang menyukai dan belajar pada orang-orang yang super kaya.

Majalah ini tidak akan pernah menghitung berapa pada tahun ini jumlah orang miskin yang ke luar dari garis kemiskinan. Karena memang tidak itu yang menjadi concern pemberitaan mereka. Tetapi jika kita lihat dimensi lain, persoalan mendasar pembangunan Indonesia adalah bagaimana mengatasi ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Oleh Simon Kuznet, ekonom pembangunan, memang menyatakan bahwa pada awal proses pembangunan ketimpangan pembangunan akan semakin meningkat.

Pada titik tertentu, ketimpangan pembangunan akan kembali menurun. Sayang sekali hipotesa Kuznet itu tidak menyatakan berapa lama sebuah negara melalui masa kenaikan ketimpangan pembangunan. Sama halnya dengan isu, berapa lama sebuah negara bisa melalui jebakan negara berpendapatan menengah ‘midle income trap”. China dapat melalui masa di mana posisi sebagai negara berpendapatan menengah dalam kurun waktu yang singkat, Indonesia sekalipun sekarang sudah memasuki negara berpendapatan menengah, namun akan mengalami jebakan yang cukup lama untuk bertahan pada kelompok negara berpendapatan menengah.

Ketimpangan Meningkat

Persoalan ketimpangan pembangunandiIndonesia tidak sekedar peningkatan penghasilan pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan 20% tertinggi saja. Namun selain dari itu, ketimpangan hasil pembangunan yang utama adalah antara pembangunan Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan antara Indonesia bagian Barat dengan bagian Timur. Ketimpangan juga terjadi di dalam provinsi sendiri, antara pembangunan daerah kota dan desa. Karena kita negara kepulauan.

Katakan selama lima tahun terakhir saja. Indeks gini ratio (mendekati 1 semakin timpang) Indonesia meningkat dari 0,35 tahun 2008 menjadi 0,41 tahun 2012. Jika dilihat pada berbagai propinsi yang ketimpangannya meningkat di atas 10% point saja ditemukan pada propinsi-propinsi Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua. Peningkatan indeks gini level menengah, katakan Indeks Gini meningkat 7-9% point, ditemukan pada propinsi seperti Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.

Hanya propinsi seperti Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, NTT, dan Maluku Utara di mana ketimpangannya hanya menaik sekitar 1-2% point(BPS, 2013). Daerah-daerah di mana sumber kekayaan alam tinggi, menunjukkan tendensi pemusatan penghasilan kepada berbagai kelompok masyarakat saja. Bahkan dapat diduga peningkatan penghasilan terutama pada kelompok berpenghasilan tinggi yang dapat memanfaatkan sumber daya alam saat bersamaan dengan proses desentralisasi pembangunan.

Daerah - daerah miskin, seperti NTT, Lampung, Bengkulu, sekalipun tidak menunjukkan kenaikan ketimpangan pembangunan, tampaknya pada propinsi-propinsi ini terjadi kemiskinan yang semakin merata. Kuznet memang tidak menyatakan bahwa berapa lama ketimpangan itu akan dilalui, namun beliau menjelaskan kenapa ketimpangan terjadi. Alasan utama adalah perpindahan modal capital flight cukup masuk akal, di mana modal akan mengalir dari daerah di mana tingkat pengembalian rendah menuju pengembalian tinggi, diikuti juga oleh migrasi tenaga kerja menuju ke daerah di mana arus modal masuknya juga tinggi. Hanya apakah ketimpangan ini akan dibiarkan melalui mekanisme invisible handssepeti yang diajukan oleh Adam Smith?

Mulai dari Infrastruktur

Indonesia hanya bisa mempercepat masa kenaikan ketimpangan pembangunan melalui pemerataan infrastruktur. Infrastruktur jalan terutama sangat timpang terjadi. Daerah Jawa, khususnya di Jabodetabek, atau jalur pantura menghiasi cerita-cerita pembangunan infrastruktur. Namun cerita-cerita bagaimana memeratakan infrastruktur ke wilayah luar Jawa masih seperti angan-angan alias utopia. Pemerintah sejak dulu berdalih, investasi infrastruktur ditentukan oleh tingkat pengembalian yang tinggi. Asumsi ekonomis itu benar.

Namun ketika inputdata penduduk dan besaran tingkat pengembalian investasi dimasukkan sebagai indikator utama, maka jelas hampir-hampir pembangunan infrastruktur jalan tidak akan feasibledi daerah luar Jawa. Kita tidak bisa menyesali kenapa Daendels dulu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan di Pulau Jawa, atau kenapa Laksamaan Cheng Ho menyinggahi berbagai Bandar laut Batavia, Palembang dan Aceh yang sering dikunjungi. Karena daerah- daerah itu terkesan pesat perkembangannya. Tetapi kita perlu menunggu pimpinan yang benar-benar melihat bahwa Indonesia ini adalah negara kesatuan.

Ketika ketimpangan pembangunan Indonesia dibiarkan seperti ini maka Indonesia akan membayar harga yang besar dalam jangka panjang. Itu pula yang ditulis oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya terbaru price inequality. Sebuah kajian yang mendalam beliau paparkan di mana di Amerika Serikat negara besar seperti itu, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menguasai penghasilan tertinggi. Sisanya banyak yang hidupnya sangat tergantung kepada kebijakan Bank Sentral Amerika ”The FED”. Pembangunan infrastruktur sudah relatif merata di Amerika Serikat, namun di Indonesia sepertinya jauh panggang dari api. Sebuah utopia yang mesti dihapus pada pembangunan di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar