Rabu, 12 Maret 2014

Liberalisasi Tata Niaga Gas Bumi

Liberalisasi Tata Niaga Gas Bumi

Fahmy Radhi  ;   Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
KORAN SINDO,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Di tengah meningkatnya konsumsi BBM dan semakin menurunnya produksi minyak Indonesia, kebijakan energi mix di Indonesia harus dioptimalkan. Salah satu sumber energi dalam energi mix adalah gas bumi. Pertimbangannya, dari sisi jumlah cadangan gas bumi, maupun dari aspek keekonomian, pemanfaatan gas bumi dalam energi mix sangatlah rasional.

Saat ini Indonesia memiliki cadangan gas alam keempat belas terbesar di dunia dengan cadangan terbukti (proven reserves) sebesar 108.1 Tcf (trillion cubic feet). Pada tahun 2012 harga gas untuk energi mencapai hampir sepersepuluh dari harga minyak bumi (Kajian Pusat Studi Energi/PSE, 2014). Fakta tersebut telah menjadikan gas semakin penting dalam kebijakan energi nasional. Mengingat arti penting tersebut maka pemenuhan permintaan dan penciptaan keamanan pasokan (security of supply) gas bumi menjadi fokus dari berbagai reformasi kebijakan tata niaga gas bumi.

Reformasi Tata Niaga Gas

Reformasi tata niaga gas bumi itu harus didasarkan pada konstitusi, lantaran gas bumi merupakan salah satu cabang produksi yang pengelolaannya harus tunduk pada UUD 1945. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menentukan: ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selanjutnya ayat 3 mengatur: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan kedua ayat tersebut, kata ”dikuasai oleh negara” dan ”sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi dasar utama terkait pengelolaan gas bumi di Indonesia. Dengan menggunakan gap analysis, hasil kajian PSE UGM menyimpulkan bawa liberalisasi tata niaga gas bumi, yang diinisiasi melalui UU 22/2001 dengan skema unbundling, dan dieksekusi melalui Permen ESDM 19/2009 dengan skema open access, nyata-nyata tidak sesuai dengan semangat ”hak menguasai negara” yang tercantum dalam UUD 1945.

Kata ”dikuasai oleh negara” haruslah dimaknai sebagai usaha penguasaan negara terhadap pengelolaan segala sumber kekayaan alam, yang merupakan implementasi konsep kedaulatan rakyat (Kajian PSE UGM, 2014). Dengan kebijakan open access, pelaku usaha gas tidak diwajibkan membangun infrastruktur yang berupa jaringan pipa dalam pengangkutan untuk distribusi gas dari hulu hingga ke hilir. Liberalisasi tata niaga dengan skema open access telah mendorong masuknya para trader noninfrastruktur hingga sekarang sudah mencapai 63 trader, yang memperebutkan ”jatah” alokasi gas bumi dari pemerintah.

Menjamurnya trader noninfrastruktur telah mengubah struktur perniagaan Gas Bumi di Indonesia, dari monopoli alamiah menjadi struktur pasar persaingan, yang tidak sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945 terkait dengan penguasaan negara atas kekayaan alam. Liberalisasi melalui open access ditengarai juga ikut menggerus ‘hak menguasai negara’, yang seharus dikelola oleh BUMN sebagai representasi negara. Seharusnya kebijakan open access tidak berlaku bagi BUMN, pasalnya BUMN sebagai representasi negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan gas bumi, seperti diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945. Faktanya, peraturan open access diberlakukan bagi semua pelaku usaha gas bumi, termasuk BUMN, yang seharusnya diberikan privilese dalam penerapan kebijakan open access di Indonesia.

Persyaratan Penerapan Open Access

Beberapa negara, di antaranya Inggris dan Prancis, melakukan liberalisasi gas melalui skema open access setelah berbagai persyaratan dipenuhi. Salah satunya adalah persyaratan kematangan infrastruktur fisik yang secara terintegrasi di seluruh negeri. Pematangan infrastruktur di Inggris dilakukan dengan skema bundled dan closed access secara vertical integration Company, yang dilakukan oleh satu Badan Usaha (Kajian PSE UGM, 2014). Sebelum tahun 1967, ada lebih dari 1.000 Badan Usaha Gas di Inggris dilebur menjadi satu perusahaan, yakni British Gas yang melakukan pematangan infrastruktur dengan skema bundled dan closed access.

Setelah berhasil melakukan pematangan infrastruktur hingga benar-benar terintegrasi di hampir semua daerah, pemerintah Inggris baru menerapkan kebijakan open access pada 1986, atau hampir 20 tahun lamanya untuk proses pematangan infrastruktur (Kajian PSE UGM, 2014). Demikian juga yang terjadi di Prancis, Gas de France, yang merupakan penggabungan dari beberapa badan usaha, melakukan pematangan infrastruktur hampir selama 25 tahun hingga diberlakukan open access, yang baru diterapkan pada 2008.

Namun, tidak semua negara menerapkan kebijakan liberalisasi gas, Malaysia, China, dan Jepang misalnya, justru berhasil membangun ketahanan energinya melalui skema penguasaan negara yang dilakukan oleh BUMN (Kajian PSE UGM, 2014). Di Indonesia, penerapan open access justru memicu mandeknya keberlanjutan dalam pengembangan jaringan pipa, karena trader tidak diharuskan membangun infrastruktur berupa jaringan pipa. Mengingat pengembangan infrastruktur termasuk high risk low return, sebagian besar trader enggan membangun infrastruktur sendiri.

Menurut data BPH Migas (2013), pada 2010 jaringan pipa transmisi dan distribusi gas nasional baru sepanjang 7.800 km naik menjadi 8.000 km pada 2012, hanya ada kenaikan 200 km selama 2 tahun. Bandingkan dengan Turki yang mampu melakukan penambahan pipa baru sepanjang 4.410 km pada 2012. Kalau open access, yang memicu kemandekan pengembangan infrastruktur, tetap diterapkan, potensi krisis gas di tanah air akan semakin menjadi kenyataan. Lantaran tidak terpenuhinya kecukupan infrastruktur untuk mengakomodasi peningkatan permintaan akan gas bumi, seperti krisis gas yang terjadi di Medan dan Jawa Timur.

Kalau mendasarkan pada persyaratan kematangan infrastruktur, penerapan open access di Indonesia pada saat ini dinilai belum tepat. Lantaran ketersediaan infrastruktur yang masih terbatas (Kajian PSE, 2014). Dalam kondisi tersebut, upaya Kementerian ESDM untuk mengkaji ulang penerapan liberalisasi melalui skema open access merupakan keputusan yang tepat. Kebijakan open access masih perlu dikaji ulang dari berbagai aspek sebelum benar-benar diterapkan. Agar tidak menjadi beban dan sasaran kritik, Permen ESDM 19/ 2009 sebaiknya perlu direvisi, bahkan kalau perlu dicabut karena nyata-nyata bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan berpotensi menggerus kedaulatan energi negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar