Liberalisasi
Tata Niaga Gas Bumi
Fahmy Radhi ;
Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2014
Di
tengah meningkatnya konsumsi BBM dan semakin menurunnya produksi minyak
Indonesia, kebijakan energi mix di Indonesia harus dioptimalkan. Salah satu
sumber energi dalam energi mix adalah gas bumi. Pertimbangannya, dari sisi
jumlah cadangan gas bumi, maupun dari aspek keekonomian, pemanfaatan gas bumi
dalam energi mix sangatlah rasional.
Saat ini
Indonesia memiliki cadangan gas alam keempat belas terbesar di dunia dengan
cadangan terbukti (proven reserves)
sebesar 108.1 Tcf (trillion cubic feet).
Pada tahun 2012 harga gas untuk energi mencapai hampir sepersepuluh dari
harga minyak bumi (Kajian Pusat Studi
Energi/PSE, 2014). Fakta tersebut telah menjadikan gas semakin penting
dalam kebijakan energi nasional. Mengingat arti penting tersebut maka
pemenuhan permintaan dan penciptaan keamanan pasokan (security of supply) gas bumi menjadi fokus dari berbagai
reformasi kebijakan tata niaga gas bumi.
Reformasi Tata Niaga Gas
Reformasi
tata niaga gas bumi itu harus didasarkan pada konstitusi, lantaran gas bumi
merupakan salah satu cabang produksi yang pengelolaannya harus tunduk pada
UUD 1945. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menentukan: ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selanjutnya ayat 3 mengatur: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan
kedua ayat tersebut, kata ”dikuasai
oleh negara” dan ”sebesar-besar
kemakmuran rakyat” menjadi dasar utama terkait pengelolaan gas bumi di
Indonesia. Dengan menggunakan gap analysis, hasil kajian PSE UGM menyimpulkan
bawa liberalisasi tata niaga gas bumi, yang diinisiasi melalui UU 22/2001
dengan skema unbundling, dan
dieksekusi melalui Permen ESDM 19/2009 dengan skema open access, nyata-nyata tidak sesuai dengan semangat ”hak
menguasai negara” yang tercantum dalam UUD 1945.
Kata
”dikuasai oleh negara” haruslah dimaknai sebagai usaha penguasaan negara
terhadap pengelolaan segala sumber kekayaan alam, yang merupakan implementasi
konsep kedaulatan rakyat (Kajian PSE
UGM, 2014). Dengan kebijakan open access, pelaku usaha gas tidak
diwajibkan membangun infrastruktur yang berupa jaringan pipa dalam
pengangkutan untuk distribusi gas dari hulu hingga ke hilir. Liberalisasi
tata niaga dengan skema open access telah mendorong masuknya para trader
noninfrastruktur hingga sekarang sudah mencapai 63 trader, yang memperebutkan
”jatah” alokasi gas bumi dari pemerintah.
Menjamurnya
trader noninfrastruktur telah mengubah struktur perniagaan Gas Bumi di
Indonesia, dari monopoli alamiah menjadi struktur pasar persaingan, yang
tidak sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945 terkait dengan penguasaan
negara atas kekayaan alam. Liberalisasi melalui open access ditengarai juga ikut menggerus ‘hak menguasai
negara’, yang seharus dikelola oleh BUMN sebagai representasi negara.
Seharusnya kebijakan open access tidak berlaku bagi BUMN, pasalnya BUMN
sebagai representasi negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan gas bumi, seperti
diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945. Faktanya, peraturan open access
diberlakukan bagi semua pelaku usaha gas bumi, termasuk BUMN, yang seharusnya
diberikan privilese dalam penerapan kebijakan open access di Indonesia.
Persyaratan Penerapan Open Access
Beberapa
negara, di antaranya Inggris dan Prancis, melakukan liberalisasi gas melalui
skema open access setelah berbagai
persyaratan dipenuhi. Salah satunya adalah persyaratan kematangan
infrastruktur fisik yang secara terintegrasi di seluruh negeri. Pematangan
infrastruktur di Inggris dilakukan dengan skema bundled dan closed access
secara vertical integration Company,
yang dilakukan oleh satu Badan Usaha (Kajian
PSE UGM, 2014). Sebelum tahun 1967, ada lebih dari 1.000 Badan Usaha Gas
di Inggris dilebur menjadi satu perusahaan, yakni British Gas yang melakukan
pematangan infrastruktur dengan skema bundled
dan closed access.
Setelah
berhasil melakukan pematangan infrastruktur hingga benar-benar terintegrasi
di hampir semua daerah, pemerintah Inggris baru menerapkan kebijakan open access pada 1986, atau hampir 20
tahun lamanya untuk proses pematangan infrastruktur (Kajian PSE UGM, 2014). Demikian juga yang terjadi di Prancis, Gas
de France, yang merupakan penggabungan dari beberapa badan usaha, melakukan
pematangan infrastruktur hampir selama 25 tahun hingga diberlakukan open access, yang baru diterapkan pada
2008.
Namun,
tidak semua negara menerapkan kebijakan liberalisasi gas, Malaysia, China,
dan Jepang misalnya, justru berhasil membangun ketahanan energinya melalui
skema penguasaan negara yang dilakukan oleh BUMN (Kajian PSE UGM, 2014). Di Indonesia, penerapan open access justru memicu mandeknya
keberlanjutan dalam pengembangan jaringan pipa, karena trader tidak diharuskan membangun infrastruktur berupa jaringan
pipa. Mengingat pengembangan infrastruktur termasuk high risk low return, sebagian besar trader enggan membangun
infrastruktur sendiri.
Menurut
data BPH Migas (2013), pada 2010 jaringan pipa transmisi dan distribusi gas
nasional baru sepanjang 7.800 km naik menjadi 8.000 km pada 2012, hanya ada
kenaikan 200 km selama 2 tahun. Bandingkan dengan Turki yang mampu melakukan
penambahan pipa baru sepanjang 4.410 km pada 2012. Kalau open access, yang memicu kemandekan pengembangan infrastruktur,
tetap diterapkan, potensi krisis gas di tanah air akan semakin menjadi
kenyataan. Lantaran tidak terpenuhinya kecukupan infrastruktur untuk
mengakomodasi peningkatan permintaan akan gas bumi, seperti krisis gas yang
terjadi di Medan dan Jawa Timur.
Kalau
mendasarkan pada persyaratan kematangan infrastruktur, penerapan open access di Indonesia pada saat ini
dinilai belum tepat. Lantaran ketersediaan infrastruktur yang masih terbatas
(Kajian PSE, 2014). Dalam kondisi tersebut, upaya Kementerian ESDM untuk
mengkaji ulang penerapan liberalisasi melalui skema open access merupakan keputusan yang tepat. Kebijakan open access masih perlu dikaji ulang dari berbagai aspek sebelum
benar-benar diterapkan. Agar tidak menjadi beban dan sasaran kritik, Permen
ESDM 19/ 2009 sebaiknya perlu direvisi, bahkan kalau perlu dicabut karena
nyata-nyata bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan berpotensi menggerus
kedaulatan energi negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar