Diaspora
Ilmuwan Indonesia
Sudaryanto ; Dosen
FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
29 Maret 2014
Selasa
(18/3) pagi lalu, ada sesuatu yang luar biasa dalam diri saya. Setelah
menonton tayangan Kick Andy berjudul “Ilmuwan
Indonesia di Luar Negeri” dan “Berjaya
di Negeri Orang” melalui laman www.youtube.com, hati saya tiba-tiba
dipenuhi perasaan bangga menjadi orang Indonesia. Kedua mata saya pun
menitikkan air mata saat menyaksikan orang-orang Indonesia yang sukses di
negeri orang. Mereka umumnya bekerja sebagai ilmuwan di luar negeri.
Sebagai
contoh, Dr Ing Suhendra. Dia bekerja sebagai peneliti di BAM Berlin, Jerman.
BAM merupakan “LIPI”-nya Jerman di bidang material. Dia akui, dirinya
merupakan satu-satunya orang Indonesia sekaligus orang asing yang bekerja di
BAM Berlin, Jerman. Saat diwawancarai di acara talkshow Kick Andy, Suhendra
masih berusia 34 tahun dan kini ia telah berusia 39 tahun. Dia sendiri merupakan
doktor lulusan dari universitas di Jerman.
Contoh
lainnya, Prof Dr Ir Irwandi Jaswir. Dia merupakan dosen berpangkat associate
professor di International Islamic University Malaysia (IIUM), Malaysia.
Selain mengajar, dia juga menjadi peneliti di universitas terkemuka di
Malaysia itu. Berkat ketekunannya sebagai peneliti, berbagai penghargaan
berhasil diraihnya. Salah satu penemuannya yang bermanfaat ialah penggunaan
infra merah untuk mendeteksi ada-tidaknya lemak babi dalam makanan.
Perlu Sinergitas
Selain
dua nama di atas, masih ada Prof Dr Ken Sutanto (Jepang), Prof Dr Yow Pi Lin
(AS), Dr Muhamad Reza (Swedia), Dr Johny Setiawan (Jerman), Dr Juliana
Sutanto (Swiss), Dr Mulyoto Pangestu (Australia), Dr Merlyana Lim (AS), dan
Dr Khoirul Anwar (Jepang). Bahkan, menurut Ahmad Raditya, penggagas Ikatan
Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), ada 400 ilmuwan Indonesia yang berkiprah
di luar negeri. Sungguh mengagumkan bukan? Ya.
Dari
segi jumlah, saya kira 400 ilmuwan Indonesia bukanlah angka yang sedikit.
Justru sebaliknya, pemerintah pusat wajib mendorong seluruh kementerian dan
instansi, serta pemerintah daerah untuk melakukan sinergitas dengan 400
ilmuwan Indonesia itu. Saya bermimpi, andaikan seluruh ilmuwan Indonesia di
luar negeri mau membantu kerja-kerja pemerintah, kelak kemajuan bangsa akan
segera diraih dalam waktu yang tak lama lagi.
Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, misalnya, dapat bersinergi dengan BAM Berlin,
Jerman, tempat di mana Dr Ing Suhendra berkiprah selama ini. Melalui riset
yang akurat, Dr Ing Suhendra dkk diharapkan dapat menemukan energi yang
terbarukan dan ramah terhadap lingkungan. Bukan tidak mungkin, melalui kerja
sama itu, putra-putri Indonesia dapat meraih beasiswa untuk studi lanjut ke
Jerman seperti halnya Dr Ing Suhendra sendiri.
Lalu,
pihak BPOM-MUI dapat bersinergi dengan IIUM, Malaysia, tempat di mana Prof Dr
Ir Irwandi Jaswir berkarya selama ini. Penemuan Prof Irwandi yang juga putra
Minangkabau ini, layak digunakan oleh BPOM-MUI guna mendeteksi makanan dari ada-tidaknya
kandungan lemak babi. Sebagai seorang muslim, saya akan lebih bangga apabila
BPOM-MUI dapat bekerja sama dengan Prof Irwandi, mengingat belum semuanya
makanan di Indonesia telah bersertifikasi halal.
Selanjutnya,
Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang memiliki banyak sentra
kerajinan dapat bersinergi dengan ETH Zurich, Swiss, tempat di mana Dr
Juliana Sutanto berkecimpung selama ini. Melalui risetnya di bidang sistem
informasi manajemen, Dr Juliana dapat membantu para pengelola sentra kerajinan
untuk memasarkan produknya melalui dunia maya, seperti Facebook, Twitter, dan
blog.
Pendek
kata, orang-orang seperti Dr Ing Suhendra, Prof Irwandi Jaswir, dan
sebagainya perlu mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Bukan karena
mereka orang Indonesia semata, melainkan karena keilmuan dan keahlian mereka
sangat berguna bagi bangsa-negara ini. Saya punya keyakinan, bahwa Dr Ing
Suhendra dkk tetap bangga menjadi orang Indonesia kendatipun mereka bekerja
dan tinggal sementara di negeri orang.
Catatan Penutup
Adalah
wajar, apabila orang-orang seperti Dr Ing Suhendra, Dr Juliana Sutanto, dan
lain-lain diberikan stigma orang yang tidak nasionalis alias mencintai
negaranya sendiri. Saya sendiri kurang sependapat dengan stigma tersebut.
Justru sebaliknya, kiprah Dr Ing Suhendra dkk merupakan ikhtiar lain dan
terbaik dari perwujudan nasionalisme. Buktinya, mereka tetap mau bergabung ke
dalam wadah I-4, serta sebagian mengarahkan riset-risetnya ke Indonesia.
Di sisi
lain, pilihan mereka berkiprah di luar negeri, seperti Jerman, Jepang, dan
Malaysia, karena di negara-negara tersebut tersedia dana besar dan sarana
prasarana yang lengkap serta memadai. Juga tingkat kesejahteraan mereka
sebagai peneliti bisa dibilang sangat terjamin. Berbeda halnya dengan
peneliti di Indonesia yang dana penelitiannya serba kurang sehingga hasilnya
kurang optimal, serta harus mencari tambahan gaji dengan mengajar di kampus-kampus.
Sebagai
catatan penutup, saya ingin mengusulkan beberapa hal. Pertama, pemerintah
perlu bersinergi dengan 400 ilmuwan Indonesia di luar negeri. Para ilmuwan
tersebut, saya kira merupakan aset bangsa Indonesia yang tiada duanya apabila
dimanfaatkan demi peningkatan semua bidang kehidupan di Tanah Air. Kini,
persoalannya tinggal apakah pemerintah Indonesia mau melakukan sinergitas
dengan 400 ilmuwan Indonesia di luar negeri itu?
Kedua,
pemerintah perlu mendorong kinerja peneliti kita agar rutin melakukan
publikasi ilmiah dan paten. Mengutip Kompas (5/1/2013), publikasi ilmiah dan
paten peneliti Indonesia masih tergolong minim. Jumlah publikasi peneliti kita
lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand,
dan Malaysia. Tiga negara jiran itu menghasilkan total publikasi di atas
30.000, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan 7.843.
Akhir
kata, fenomena diaspora ilmuwan Indonesia ke luar negeri perlu dimaknai
sebagai energi positif bagi pemerintah dan peneliti Indonesia. Tak ada
salahnya jika pemerintah dan peneliti Indonesia melakukan sinergitas dengan
para ilmuwan tersebut. Kita harap, dari sinergitas itu muncul progresivitas
mutu penelitian di Tanah Air, yang pada akhirnya berdampak positif bagi semua
lini kehidupan bangsa-negara ini. Selamat
bekerja untuk Indonesia, Bung! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar