Unnes
dan Kesadaran Bermedia
Amir Machmus NS ; Pemimpin
Redaksi Suara Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 29 Maret 2014
KETIKA
Universitas Negeri Semarang (Unnes) meluncurkan program "Professor Goes to Schools" pada pengujung tahun lalu,
sebagai praktisi pers saya tergelitik mengisiki rektornya, Fathur Rokhman, "Anda berada di jalur yang benar
untuk ’memaksa’ media menulis tentang Unnes..."
Koran
ini bahkan menggarisbawahi eksepsionalitas kegiatan itu dalam ’’Tajuk Rencana’’. Saya melihatnya
sebagai ide orisinal membumikan para guru besar ke habitat yang pernah
dirumuskan oleh Guru Besar Sosiologi Hukum Undip Satjipto Rahardjo sebagai "ilmu amaliah, amal ilmiah".
Penuangan
dan pengembangan ilmu diaktualisasikan lewat pengabdian masyarakat. Amat
mengena untuk memaujudkan universitas sebagai "rumah ilmu",
sekaligus mengimplementasikan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Semangatnya
adalah gagasan tentang "sesuatu yang berbeda". Sebelumnya, Unnes
telah menggalang public relations lewat kekuatan konsep kampus konservasi
dalam wujud pengembangan kurikulum berbasis konservasi sosial, nilai-nilai,
keadaban, dan tampilan fisik seperti terasakan dari atmosfer alam kampus
Sekaran sekarang.
Kondisi
itu tentu bertali-temali dengan kesungguhan para petinggi dan warga kampus
dari generasi ke generasi untuk mencari, menggali, lalu mengembangkan
keunggulan kompetitif dalam kekhasan matra akademik dan performa fisik.
Rektor
yang sekarang --sebagai bagian dari pengembangan kekhasan dan mewarisi
keberlanjutan ide =-- melangkah dengan passion yang lebih tepat digambarkan
sebagai pencerahan: bagaimana ia bekerja keras membangun kolaborasi dengan
magi ekspose media untuk memperkuat capaian-capaian Unnes. Ia membuat etalase
substantif dengan menggerakkan seluruh sendi potensi kekuatan kampus tanpa
kecuali.
Center of Exellent
Sebagai
bagian dari stakeholders Unnes,
saya sering mengidealkan universitas yang identik dengan dunia pendidikan ini
menjadi center of exellent tiap
kali orang membutuhkan akses informasi terkait dengan pendidikan.
Hakikat
impian perguruan tinggi sebagai "rumah
ilmu" adalah menjadikannya sumber informasi dan akses akademis, "tempat bertanya" dan sumber
inspirasi bagi lingkungan akademik dan jejaring eksternalnya. Konsekuensi
inilah yang seharusnya menjadi determinan eksplorasi dan pengembangan untuk
"membedakan" Unnes dari perguruan tinggi lain.
Kekuatan
eksepsional itu digali dan diinventarisasi dari keahlian-keahlian yang
sejatinya tidak cukup berlabel kegurubesaran tetapi diperkuat oleh berbagai
keunggulan para ahli yang mendalami bidang-bidang tertentu, lalu
menuangkannya sebagai "laku
sosial" lewat beragam forum.
Dengan
modal elemen-elemen pembeda di banyak bidang, fungsi public relations pun seharusnya melekat sebagai performa Unnes
lewat para pakarnya. Kemonceran eksternal mereka sejatinya adalah berkah.
Bukankah dalam konsep dasar kehumasan, kiprah seseorang dari sebuah institusi
adalah representasi dari institusi tersebut? Dia diuntungkan oleh pengakuan
atas eksistensi kepakarannya, sekaligus secara kelembagaan, dari jurusan, fakultas, pusat-pusat studi,
hingga universitasnya mendapat pancaran keberkahan.
Dalam
lanskap keberkahan itu, boleh jadi Unnes telah terwakili oleh sejumlah dosen
dan para guru besarnya. Misal peran sebagai sumber ilmu dalam seminar,
lokakarya, diskusi, pelatihan, dan pewarnaan opini di media massa. Namun
apakah berbagai kiprah itu telah ter-setting sebagai kesadaran membangun
pencitraan lembaga, atau hanya karena talenta-talenta yang mencari dan
menemukan ruang-ruang ekspresinya sendiri?
Kekayaan
expert di berbagai bidang menjadi
penting untuk dipertautkan dengan peluang merespons isu-isu aktual di tingkat
nasional, regional, maupun lokal. Kepedulian para pakar akan menunjukkan
sejauh mana kepekaan insan akademis terhadap kondisi nyata bangsanya.
Perdebatan-perdebatan
tentang suatu kebijakan, atau keterusikan rasa keadilan rakyat membutuhkan "siraman" pandangan para
akademisi yang berkekuatan nilai-nilai. Misal, ketika simbol utama dalam
perang melawan korupsi digembosi oleh kekuatan-kekuatan di parlemen dan
eksekutif, bagaimana seharusnya para begawan di perguruan tinggi bersikap?
Sementara
itu, panggung penelitian hanya akan memperbanyak dokumen usang apabila tidak
disentuhkan dengan kebutuhan aktual masyarakat. Perlu dicari modifikasi
pembumian hasil-hasil penelitian untuk diadaptasikan dengan "bahasa kebutuhan publik".
Daya Ledak
Sebagai
semacam chief executive officer
(CEO), rektor menjadi representasi tampilan universitas. Pemunculan ke publik
lewat kegiatan, pernyataan, dan sikap identik dengan "wajah"
kelembagaan. Kesadaran untuk membangun lingkar public relations dengan
kesiapan mengikuti tren mediatika cukup menjanjikan untuk mengembangkan Unnes
agar memiliki daya jual dan daya ledak di pasar akademik. Bukankah ide-ide
yang out of the box dan eksepsional
tentu akan "memaksa" media untuk tidak bisa tidak menjadikannya
sebagai sumber pemberitaan?
Bagaimanapun,
dalam perjalanan edumorfosis dari perguruan tinggi yang berafiliasi dengan
Universitas Diponegoro, sebagai IKIP, lalu menjadi universitas, Unnes telah
merangkum modal kepercayaan publik lewat eksistensi-eksistensi yang "khas Unnes".
Matra
konservasi melekat sebagai identitas yang tentu membutuhkan keberlanjutan
pengawalan sebagai kekuatan citra sekaligus pembeda dalam output akademik.
Tantangannya adalah pemaujudan nilai-nilai konservasi itu sebagai karakter,
lalu menjadi kekuatan integritas, sekaligus menjawab bahwa konservasi
hakikatnya memuat pesan konsistensi menjaga sterilisitas dari usikan
politik-kekuasaan.
Ikhtiar
bersinergi dengan media, yang telah berada di jalur tepat, tinggal
mengembangkannya sebagai kekuatan kontrol bagi keistikamahan civitas
akademika Kampus Sekaran dalam
menjaga harmoni konservasi.
Kepercayaan
publik bisa dijaga lewat pengelolaan akses informasi, yang diniscayakan
dengan kesiapan berada di ruang kontrol sosial yang transparan. "Ilmu amaliah, amal ilmiah"
tak cukup hanya diungkapkan dengan gagasan besar, sarat nilai, tetapi
mengawang-awang tanpa menjejak bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar