Senin, 31 Maret 2014

Politik Minus Gagasan

Politik Minus Gagasan

Ali Rif’an  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI
REPUBLIKA, 25 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
Narasi politik kita hari-hari ini semakin menjauh dari apa yang telah dicitakan pendiri bangsa. Keadilan dan kesejahteraan sebagai janji kemerdekaan telah dikhianati. Reformasi hanya memunculkan kebebasan, sementara politik --semakin ke sini kian minus gagasan. Padahal, politik tidak saja memerlukan gagasan, tapi politik sendiri adalah gagasan. Politik tanpa gagasan hanyalah tindakan tanpa pernah direncanakan. Politik tanpa gagasan hanya menghadirkan selebrasi yang miskin substansi.

Sebagai dampaknya, orang menganggap politik hanya identik dengan pesta demokrasi lima tahunan. Tak heran, seorang politikus lebih sibuk memikirkan bagaimana memperoleh dana kampanye dan memasang spanduk ketimbang menyusun gagasan genuine untuk kepentingan bangsa.

Skizofrenia politik Kini, banyak politikus kita justru mengidap apa yang disebut "skizofrenia". RD Laing dalam The Divided Self menggunakan konsep skizofrenia untuk menjelaskan kondisi psikis individu yang hubungannya dengan orang lain atau dunia luar dibangun berdasarkan "sistem diri yang salah". Dalam dunia politik, pribadi skizofrenik adalah mereka yang tak pernah menetap pada satu konsep diri, subjek, atau ideologi politik, tetapi selalu berpindah-pindah secara tak terhingga (Piliang, 2005: 162-163).

Politikus yang mengidap skizofrenia ini lebih tepat disebut "politikus berwajah ganda". Mereka memang berpolitik, seolah-olah merepresentasikan kepentingan rakyat, padahal sedang menyembunyikan kepentingan pribadi dan kelompok. Jualan politikus model ini tentu bukanlah gagasan, akan tetapi penampakan yang memesona, menggairahkan, dan menghanyutkan publik.

Mereka bahkan membuat nalar politik publik menjadi tumpul. Sebab, mereka menjadikan politik sebagai lahan bisnis, lahan mendapatkan keuntungan berlimpah. Nalar agung politik mereka telikung menjadi nalar yang remeh serta busuk. Dengan uang Rp 50 ribu yang mereka berikan kepada rakyat sebagai imbalan mencoblos, mereka telah "menodai" citra agung politik.

Pada titik inilah, politik yang oleh Aristoteles diartikan sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan sulit terealisasi. Sebab, jika politik lebih banyak diisi orang yang berwajah ganda, maka dunia politik akan kerap memunculkan bau tidak sedap.
Ruang politik akan dipenuhi dengan kepalsuan. Eksekutif terus menjadi sapi perah, sementara legislatif seperti pasar gelap politik. Meminjam pendapat Yas- raf Amir Piliang (2011), pasar gelap politik adalah tempatnya para broker, perantara, pedagang, dan para mafioso politik yang memainkan taktik dan strategi guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya meski menabrak kepentingan publik.

Dalam pasar gelap politik, aneka keputusan --seperti hak angket ataupun menyusunan anggaran dan legislasi-- dilakukan melalui tawar-menawar, negosiasi, dan bahkan transaksi di bawah tangan. Pasar gelap politik juga sarat dengan kekerasan politik: seperti saling sandera antara anggota dewan, antara anggota koalisi, hingga antara anggota dewan dan eksekutif.

Politik gagasan

Karena itu, mendekati hajatan besar lima tahunan, politik gagasan harus menjadi jualan partai politik dan politikus. Masyarakat merindukan ruang-ruang publik kita disesaki dengan obrolan-obrolan cerdas para politikus. Kita merindukan sosok Sukarno muda, Hatta muda, Sjahrir muda, yang sepanjang hidupnya terus merefleksikan gagasan-gagasan genuine untuk mencari solusi atas persoalan bangsa.

Sebab, peran gagasan di dalam sebuah masyarakat bangsa, khusnya dalam dunia politik, sangatlah sentral. Melalui gagasan, sebuah kelompok politik atau masyarakat pada umumnya dapat melukiskan gambaran tentang dirinya. Ini penting karena politik selalu dikaitkan dengan masa depan, dan masa depan adalah imajinasi tentang apa yang akan terjadi. Sehingga, gagasan menjadi dasar penting dari ideologi politik sebuah kelompok politik dan masyarakat bangsa pada umumnya.

Gagasan menjadi kompas tentang arah bangsa ini mau dibawa ke mana. Gagasan menjadi referensi arah perjuangan politik. Politik gagasan tentu politik yang lebih mementingkan isi ketimbang bungkus, politik yang menghadirkan rasa, bukan sekadar citra. Politik gagasan akan menghalau apa yang disebut "banalitas politik", yakni kondisi pendangkalan politik, yang di dalamnya bersemi hal-hal remeh-temeh (seperti citra dan kosmetik politik), tapi justru menjadi bagian esensial dari wacana politik. Intinya, politik gagasan adalah aktivitas politik yang lebih mementingkan substansi politik, bukan sekadar selebrasi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar