Politik
Minus Gagasan
Ali Rif’an ; Peneliti
Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI
|
REPUBLIKA,
25 Maret 2014
Narasi politik kita hari-hari
ini semakin menjauh dari apa yang telah dicitakan pendiri bangsa. Keadilan
dan kesejahteraan sebagai janji kemerdekaan telah dikhianati. Reformasi hanya
memunculkan kebebasan, sementara politik --semakin ke sini kian minus
gagasan. Padahal, politik tidak saja memerlukan gagasan, tapi politik sendiri
adalah gagasan. Politik tanpa gagasan hanyalah tindakan tanpa pernah
direncanakan. Politik tanpa gagasan hanya menghadirkan selebrasi yang miskin
substansi.
Sebagai dampaknya, orang menganggap
politik hanya identik dengan pesta demokrasi lima tahunan. Tak heran, seorang
politikus lebih sibuk memikirkan bagaimana memperoleh dana kampanye dan
memasang spanduk ketimbang menyusun gagasan genuine untuk kepentingan bangsa.
Skizofrenia politik Kini, banyak
politikus kita justru mengidap apa yang disebut "skizofrenia". RD
Laing dalam The Divided Self
menggunakan konsep skizofrenia untuk menjelaskan kondisi psikis individu yang
hubungannya dengan orang lain atau dunia luar dibangun berdasarkan
"sistem diri yang salah". Dalam dunia politik, pribadi skizofrenik
adalah mereka yang tak pernah menetap pada satu konsep diri, subjek, atau
ideologi politik, tetapi selalu berpindah-pindah secara tak terhingga (Piliang, 2005: 162-163).
Politikus yang mengidap skizofrenia
ini lebih tepat disebut "politikus berwajah ganda". Mereka memang
berpolitik, seolah-olah merepresentasikan kepentingan rakyat, padahal sedang
menyembunyikan kepentingan pribadi dan kelompok. Jualan politikus model ini
tentu bukanlah gagasan, akan tetapi penampakan yang memesona, menggairahkan,
dan menghanyutkan publik.
Mereka bahkan membuat nalar
politik publik menjadi tumpul. Sebab, mereka menjadikan politik sebagai lahan
bisnis, lahan mendapatkan keuntungan berlimpah. Nalar agung politik mereka
telikung menjadi nalar yang remeh serta busuk. Dengan uang Rp 50 ribu yang
mereka berikan kepada rakyat sebagai imbalan mencoblos, mereka telah
"menodai" citra agung politik.
Pada titik inilah, politik yang
oleh Aristoteles diartikan sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama
akan sulit terealisasi. Sebab, jika politik lebih banyak diisi orang yang berwajah
ganda, maka dunia politik akan kerap memunculkan bau tidak sedap.
Ruang politik akan dipenuhi
dengan kepalsuan. Eksekutif terus menjadi sapi perah, sementara legislatif
seperti pasar gelap politik. Meminjam pendapat Yas- raf Amir Piliang (2011),
pasar gelap politik adalah tempatnya para broker, perantara, pedagang, dan
para mafioso politik yang memainkan taktik dan strategi guna mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya meski menabrak kepentingan publik.
Dalam pasar gelap politik, aneka
keputusan --seperti hak angket ataupun menyusunan anggaran dan legislasi--
dilakukan melalui tawar-menawar, negosiasi, dan bahkan transaksi di bawah
tangan. Pasar gelap politik juga sarat dengan kekerasan politik: seperti
saling sandera antara anggota dewan, antara anggota koalisi, hingga antara
anggota dewan dan eksekutif.
Politik gagasan
Karena itu, mendekati hajatan
besar lima tahunan, politik gagasan harus menjadi jualan partai politik dan
politikus. Masyarakat merindukan ruang-ruang publik kita disesaki dengan
obrolan-obrolan cerdas para politikus. Kita merindukan sosok Sukarno muda,
Hatta muda, Sjahrir muda, yang sepanjang hidupnya terus merefleksikan gagasan-gagasan
genuine untuk mencari solusi atas
persoalan bangsa.
Sebab, peran gagasan di dalam sebuah
masyarakat bangsa, khusnya dalam dunia politik, sangatlah sentral. Melalui
gagasan, sebuah kelompok politik atau masyarakat pada umumnya dapat
melukiskan gambaran tentang dirinya. Ini penting karena politik selalu
dikaitkan dengan masa depan, dan masa depan adalah imajinasi tentang apa yang
akan terjadi. Sehingga, gagasan menjadi dasar penting dari ideologi politik
sebuah kelompok politik dan masyarakat bangsa pada umumnya.
Gagasan menjadi kompas tentang
arah bangsa ini mau dibawa ke mana. Gagasan menjadi referensi arah perjuangan
politik. Politik gagasan tentu politik yang lebih mementingkan isi ketimbang
bungkus, politik yang menghadirkan rasa, bukan sekadar citra. Politik gagasan
akan menghalau apa yang disebut "banalitas politik", yakni kondisi
pendangkalan politik, yang di dalamnya bersemi hal-hal remeh-temeh (seperti
citra dan kosmetik politik), tapi justru menjadi bagian esensial dari wacana
politik. Intinya, politik gagasan adalah aktivitas politik yang lebih
mementingkan substansi politik, bukan sekadar selebrasi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar