Jumat, 28 Maret 2014

Perkembangan Zona Waktu

Perkembangan Zona Waktu

Admiral Musa Julius Sipahutar  ;   Bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Geofisika Jakarta
KORAN JAKARTA,  27 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Pada hakikatnya, waktu merupakan satu kali rotasi bumi selama 24 jam penuh. Tanda waktu adalah standar internasional dalam satuan hari, jam, menit, dan detik. Hari adalah panjang waktu yang diperlukan bumi untuk menyelesaikan satu kali rotasi.

Bulan (month), waktu yang diperlukan bulan (moon) untuk menyelesaikan satu putaran terhadap bumi, sedangkan tahun adalah waktu yang diperlukan bumi untuk menempuh satu putaran terhadap matahari.

Sebagai acuan waktu di muka bumi dibuat kesepakatan bersama pada abad ke-19, bahwa Greenwich, kota di tenggara London, Inggris, dipakai sebagai acuan bujur tolok 0° yang disebut waktu Greenwich atau Greenwich Mean Time (GMT).

Pengamatan tanda waktu telah dilakukan sejak peradaban kuno, 4000 tahun lalu hingga kini dengan berbagai perkembangan metode, seperti pengamatan matahari, bintang, air, dan pasir sampai pada era tanda waktu modern menggunakan instrumentasi mekanik, quartz, dan atom.

BMKG melalui Stasiun Geofisika Jakarta sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pelayanan jasa tanda waktu Indonesia, mengamati tanda waktu dengan jam atom.
       
Riwayat perkembangan tanda waktu Indonesia telah berevolusi secara dinamis dari era kolonialisme Belanda hingga kini. Perkembangannya dimulai dari Gouvernements besluit tahun 1908 yang menjadikan Jawa Tengah sebagai acuan.

Lalu, ketentuan Staatsblad No 412 Tahun 1932 membagi Indonesia 6 waktu (beda 30 menit): Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat.

Ketentuan tersebut diperbarui hingga lahir Staatsblad No 212 Tahun 1947 yang membagi Indonesia menjadi 3 (60 menit): WIB, WITA, dan WIT.

Setelah merdeka, Indonesia mengeluarkan Keppres RI No 152 Tahun 1950 yang membagi Indonesia menjadi 6 waktu (30 menit): Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat.

Ketentuan tersebut kembali berevolusi menjadi Keppres RI No 243 Tahun 1963 yang membagi Indonesia 3 bagian waktu (60 menit): WIB, WITA (Seluruh Kalimantan), dan WIT. Akhirnya, ketentuan tersebut ditetapkan Keppres RI No 41 Tahun 1987 hingga kini.

Stasiun Geofisika Jakarta dipercaya melaksanakan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan, pengamatan, dan pelayanan informasi publik tanda waktu di Indonesia dengan dasar hukum UU No 31 Tahun 2009.

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa tanda waktu sebagai salah satu unsur keilmuan geofisika wajib disampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk pelayanan MKG informasi tanda waktu secara rutin.

Stasiun Geofisika Jakarta kini menggunakan jam atom sebagai alat pengamatan. Perangkat jam atom mengukur frekuensi radiasi elektromagnetik yang dipancarkan sebuah atom atau molekul.

Jumlah energi yang diserap atau yang dipancarkan bergantung pada perbedaan tingkat energi. Karena atom atau molekul hanya dapat memancarkan atau menyerap sejumlah energi tertentu, radiasi yang dipancarkan memiliki frekuensi teratur. Sebuah counter pada jam atom dapat mencatat setiap siklus.

Kebanyakan jam atom cesium yang kini dipakai. Biro Standar Nasional Amerika Serikat (NBS, sekarang Institut Nasional Standar dan Teknologi atau NIST) menentukan satu detik sebagai waktu radiasi yang memerlukan 9.192.631.770 siklus pada frekuensi yang dipancarkan atom cesium untuk transisi dari satu level ke level lain. Jam atom cesium sangat akurat karena hanya bergeser satu detik setelah berjalan selama 1.400.000 tahun.

Penyatuan

Pada Maret 2012 lalu, ada wacana penyatuan waktu Indonesia dari 3 menjadi 1 zona (GMT+8) atau menjadi wilayah waktu Indonesia tengah (WITA) seluruhnya. Wacana ini diusulkan Kementerian Perekonomian guna menunjang produktivitas ekonomi nasional.

Penyatuan waktu juga didukung pebisnis demi efektivitas koordinasi sektor finansial, perdagangan, dan perbankan dengan negara-negara tetangga, seperti China, Jepang, Filipina, dan Korea Selatan. Namun, realisasinya ditunda karena belum ada sosialisasi, persiapan, dan konsolidasi.

Februari 2013, isu tersebut bergulir lagi. Hanya, pelaksanaannya tidak dipatok. Jika dipikir secara logika, penyatuan tanda waktu sulit direalisasikan karena bentuk geografis Indonesia cenderung melintang dengan panjang wilayah mencapai 5.000 kilometer.

Ini sangat berbeda dengan negara lain. Perbedaan tanda waktu antarwilayah dalam suatu negara itu biasa. Negara-negara maju juga masih menjaga keutuhan nilai astronomis, meskipun penyatuan waktu berpotensi membawa pengaruh baik terhadap perekonomian.

Revolusi kebijakan tidak boleh hanya mempertimbangkan satu unsur. Keinginan mendalam untuk meraup keuntungan maksimal dapat menyamarkan nilai estetika proses alam dan kebaikan manusia. Perlu mempertimbangkan dampak negatif penyatuan zona waktu dari berbagai aspek, misalnya faktor kesehatan. Penyatuan zona waktu ini sangat memungkinkan mengganggu kesehatan karena perubahan aktivitas harian.

Tidak dipungkiri, hampir seluruh aktivitas warga bahkan dunia mengacu pada terbit dan terbenamnya matahari. Contoh sebagian besar masyarakat Indonesia terbiasa dan nyaman dengan pola bangun tidur menjelang matahari terbit, pukul 05.00 dan selesai bekerja pukul 16.00. Mereka istirahat pukul 22.00.

Siklus ini sudah alami dan ideal untuk kesehatan. Maka, penyatuan waktu tentu saja akan membuat warga Indonesia barat dirugikan karena harus bangun lebih awal, sedangkan wilayah Indonesia timur masih memiliki waktu satu jam untuk beristirahat.

Akibatnya, berbagai jadwal perlu disesuaikan. Begitu juga untuk alasan sosial, padatnya alur kegiatan harian akibat keseragaman waktu kerja dapat memberikan kemacetan interaksi antarlokasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar