Kapitalisme
dan Kita
Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy
Education); Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
|
SINAR
HARAPAN, 26 Maret 2014
Sekitar
dua abad sejak terbitnya Kekayaan
Negara Bangsa karya Adam Smith, dan ditandai runtuhnya “Tembok Berlin”
pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil menggusur semua pesaingnya.
Karena nyaris tanpa pilihan, yang tersisa hanya beberapa negara komunis dan
populis yang tidak sepenuhnya antikapitalisme, kita boleh bertanya, apakah
kapitalisme cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah nasional dan global?
Banyak
yang ragu karena mensinyalir setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme
bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri, menurut Rudolf Hickel
(2000), berdampak pada tiadanya “tangan
pengatur keadilan dalam kapitalisme”.
Memilih Kapitalisme
Namun,
bagi Robert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, peran oposisi sosialistis di
masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas
kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem ini berwajah lebih manusiawi.
Bahkan,
menurut Michael Albert, satu-satunya “kesempatan
perbaikan” yang masih terbuka adalah terus mencoba dengan sistem
kapitalisme dan berbagai cabangnya, seperti individual capitalism
negara-negara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang juga dikenal dengan julukan
“neoliberal” dan social capitalism
negara-negara Eropa daratan. Dua cabang kapitalisme ini telah memengaruhi
perjalanan abad ke-20.
Setelah
itu, muncul corporative capitalism,
sebagai cabang kapitalisme ketiga dari Jepang yang pernah dinobatkan sebagai
sistem ekonomi abad ke-21, meski tampaknya belakangan mengalami kemunduran.
Selain itu, yang tak terduga adalah kemunculan “kapitalisme” China yang berada di bawah payung sistem komunisme.
Pada
masanya, Reagan dan Thatcher (sebagai personifikasi kapitalisme Anglosaxon),
pernah mengungkapkan rumusan pemikiran yang sempat membius warga dua negara
tersebut: “Turunkan pajak bagi orang
kaya maka kehidupan orang miskin akan membaik.”
Pemikiran
kontroversial yang dirumuskan para intelektual kanan dari Hoover Foundation di California ini
mungkin bisa berfungsi seandainya orang kaya yang banyak menghemat pajak itu
mengiventasikan keuntungannya pada sektor produktif. Tetapi, karena tak
seorang pun bisa memaksa mereka, juga tidak negara, kebanyakan uang mereka
diinvestasikan pada bisnis spekulasi properti dan beberapa bidang
kontraproduktif.
Pada
satu sisi, AS misalnya merupakan juara dunia dalam hal pendidikan elite dan
banyak memberi ruang bagi peningkatan kreativitas sosial. Tetapi, pada sisi
lainnya, kapitalisme ini sangat tidak efisien dalam hal kebijakan sosial,
kacau balau dalam kebijakan lingkungannya, dan ignorant dalam kebijakan kependidikan.
Aspek
pionir yang menjiwainya terlalu nonchalance
bagi “negara berkembang”, bahkan bagi para pakar ekonomi AS yang menjadi
penasihat Presiden Clinton dan Obama. Mereka ''melirik'' kapitalisme model
Eropa untuk diterapkan di AS.
Kapitalisme
Eropa (daratan) cenderung mengikuti ''Model Jerman“, yang juga disebut soziale Markwirtschaft, yang kurang
lebih berarti ekonomi pasar yang sosial. Tampaknya, dua perang dunia yang
terjadi di Eropa telah mempertanyakan model kapitalisme nonchalance seperti yang dianut AS.
Eropa
telah mengembangkan bingkai persyaratan yang disepakati umum tanpa terlalu
melemahkan mekanisme pasar, berupa sistem sosial terpadu mulai perlindungan
kesehatan, pengangguran hingga pengamanan hari tua dan tempat tinggal. Pajak
yang tinggi telah memungkinkan pendanaan pendidikan dan pengajaran serta
berbagai infrastruktur dasar. Serikat buruh yang relatif kuat juga telah
mewarnai “kapitalisme solider”
model Eropa.
Konsep
Eropa berhasil melahirkan kelompok menengah yang kuat dan membawa kemakmuran
bagi mayoritas. Meskipun demikian, ketika harus bersaing dengan model
kapitalisme dari Timur Jauh (Jepang dan China), mulai terjadi berbagai
penyunatan tunjangan sosial.
Beberapa
dekade lalu, ekspansi agresif kapitalisme Jepang berhasil merambah pasar internasional.
Namun, rakyatnya relatif lebih sedikit diberi kesempatan mencicipi kue hasil
keuntungan yang berlimpah.
Harga
barang di Kepulauan Matahari Terbit ini, misalnya, akibat kebijakan subsidi
pertanian, rata-rata 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika
Serikat. Mempunyai rumah sendiri di Jepang nyaris tak mungkin akibat
spekulasi tanah yang mendapat sokongan negara.
Produktivitas
sistem perekonomian Jepang tidak hanya bertumpu pada ''teknik produksinya yang jenius” (Der Spiegel), tetapi terutama berkat pemasok murah dari strata
masyarakat terbawah dalam “masyarakat
tiga kelas” Jepang. Saat ini, posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi
nomor dua dunia mulai digantikan China.
Bobot
ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini berpengaruh signifikan pada
konstelasi kekuatan politik global. Dalam bukunya, Kaplinsky melihat China
bukan sekadar “Emerging Economies”,
melainkan “Asian Drivers of Global
Change” (2006).
Arahan Konstitusi Kita
Dalam
menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 ini diperlukan perdebatan
terkait ideologi ekonomi partai politik dan para pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Sepanjang
masa pemerintahan SBY yang berpasangan dengan Boediono, Indonesia telah
menjadi pengusung utama ekonomi neoliberal. Dalam beberapa aspek, Indonesia
bahkan membuka pasar sebebas-bebasnya, nyaris tanpa intervensi negara.
Fundamentalisme
Pasar sebagai perwujudan neoliberalisme dalam bidang ekonomi memang
meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang ini, gagal memenuhi janjinya.
Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu
bertumpu pada premis ekonomi pasar.
Pertama,
asumsi bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara
optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, tidak
terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang
digelembungkan. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi
kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan atau bahkan dunia,
seperti yang diperlihatkan oleh “Krisis
Asia”.
Kedua,
kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus
pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama terkait
maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996)
membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas.
Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang
mengeruk kekayaan alam negara berkembang.
Dalam
memilih, kita berharap negara berperan sebagai “penjaga” konstitusi dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 45 yang
dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara
perlu didorong untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang
condong kepada perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas
penderitaan mayoritas rakyat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar