Ringkihnya
Pengawasan Pemilu
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Maret 2014
PENGAWASAN atas penyelenggaraan pemi
lihan umum (pemilu) sepertinya tidak didesain untuk mengawasi peserta pemilu
yang juga aktif sebagai pejabat atau penyelenggara negara. Jika melihat DCT
anggota DPR, DPD, dan DPRD, mayoritas masih diisi wajah lama, termasuk juga
yang menduduki jabatan sebagai menteri.
Di jajaran Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) Kedua, setidaknya ada 10 menteri aktif yang mencalonkan diri
sebagai anggota DPR. Bahkan 5 dari 10 menteri tersebut berasal dari Partai
Demokrat, sisanya dari Partai Keadilan Sejahtera (2 menteri), Partai
Kebangkitan Bangsa (2), dan Partai Amanat Nasional (1).
Sekilas tak ada yang salah jika
seorang menteri atau incumbent
mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun, jika diselisik lebih
jauh ada kelemahan sistemis dalam sistem pengawasan pemilu jika dikaitkan
dengan keikutsertaan menteri atau incumbent dalam kontestasi pemilu
legislatif.
Problem hukum
Dari sisi hukum, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
cenderung memberikan keleluasaan kepada anggota DPR, DPD, DPRD, dan menteri
untuk tetap aktif memegang jabatan mereka walaupun dicalonkan sebagai calon
anggota legislatif. Namun, di sisi yang lain, undang-undang justru mewajibkan
kepada kepala daerah untuk mundur dari jabatan mereka jika dicalonkan sebagai
anggota legislatif.
Dampak dari pengaturan itu ialah
ketiadaan instrumen pengawasan yang mumpuni untuk mengawasi menteri dan incumbent. Hampir tidak ada batasan
atau ukuran untuk menilai apakah yang bersangkutan sedang menjalankan tugasnya
sebagai pejabat negara atau sedang melakukan kegiatan kampanye.
Sebagai contoh, Sebagai contoh
misalnya, ketika anggota DPR turun ke basis pemilihnya menggunakan fasilitas
negara karena jabatan jabatannya sebagai anggota DPR. Dalam praktiknya
kegiatan tersebut seringkali `dibumbui' konten yang sebetulnya dikategorikan
sebagai bentuk kampanye.
Dalam banyak kasus kegiatan
semacam itu bahkan dilakukan secara vulgar, misalnya ada anggota DPR
menggunakan program di kementerian tertentu untuk digunakan sebagai alat
kampanye. Biasanya caleg melakukan `klaim' bahwa program tersebut ialah
`jerih payahnya' sebagai anggota legislatif. Pada sisi yang lain, tak
tertutup kemungkinan menteri aktif pun menggunakan fasilitas yang melekat
pada jabatannya untuk melakukan kegiatan kampanye. Faktanya memang sangat
sulit dibedakan dan dibuktikan apakah yang bersangkutan sedang menjalankan
tugasnya atau sedang berkampanye.
Dalam konteks pengawasan,
sebagai bahan perbandingan dalam penyelenggaraan pemilu kada, penggunaan dana
bansos untuk kepentingan incumbent
tidak pernah tersen tuh oleh pengawasan pemilu. Lalu apa yang akan dilakukan
jika ada indikasi dana bansos di kementerian tertentu disalahgunakan,
termasuk terhadap incumbent yang menggunakan fasilitas jabatannya untuk kepentingan
kampanye?
Fenomena penyalahgunaan dana
bansos sebetulnya telah menjadi perhatian dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Hasil kajian KPK di daerah, misalnya, mengungkap bahwa ada peningkatan
signifikan terhadap pengalokasian dana bansos dan hibah dalam APBD
(2011¬2013).
Hal yang sama juga terjadi di ke
menterian, alokasi dana bansos dalam APBN 2014 mencapai Rp73,2 triliun,
padahal di tahun sebelumnya (2013) berkisar pada angka Rp59 triliun (Media Indonesia, 20/3). Namun, pada
sisi yang lain, diskresi pengguna anggaran yang terlalu besar tidak diimbangi
dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat.
Karena itu, tidak mengherankan
jika pada sisi audit, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu
menemukan penyimpangan atas pengelolaan dana bansos dan hibah. Bahkan dalam
beberapa kasus, itu dikategorikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.
Semua hal itu tentu tidak terlepas dari politik alokasi anggaran yang memang
berpotensi sangat besar untuk disalahgunakan baik oleh kepala daerah maupun
kementerian.
Terobosan pengawasan
Kondisi tersebut tentu saja
melahirkan situasi yang tidak fair dalam penyelenggaraan pemilu. Harus diakui
bahwa pejabat aktif tentu lebih memiliki peluang paling besar untuk
menggunakan anggaran, fasilitas, dan kekuasaan yang melekat pada jabatannya
untuk kepentingan politik. Karena itu, pengawasan pemilu harusnya masuk ranah
kekuasaan yang dijalankan para caleg.
Namun, fakta yang lain justru
memperlihatkan ringkihnya pengawasan pemilu. Institusi penyelenggara pemilu
terlihat gagap dalam melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu yang
nyata-nyata melakukan pelanggaran. Contoh yang paling sederhana ialah soal
pemasangan atribut kampanye yang melanggar aturan.
Saat ini atribut peserta pemilu
dengan mudahnya dapat dijumpai dalam ruang-ruang publik. Padahal, secara
hukum pemasangan atribut tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
pemilu karena dipasang pada tempat yang dilarang.
Lalu, bagaimana penyelenggara
pemilu bisa mengidentifikasi dan menindak pelanggaran yang dilakukan secara
terselubung melalui program di kementerian tertentu, sementara pelanggaran
yang terlihat nyata sekalipun tidak dilakukan tindakan hukum yang tegas?
Itulah potret nyata bahwa sistem pengawasan pemilu jauh tertinggal di
belakang, sementara pelanggaran pemilu telah dikreasikan sedemikian rupa
untuk menyiasati celah hukum.
Ke depan mungkin perlu ada
terobosan penegakan hukum dalam hal pengawasan pemilu. Pengawasan pemilu
hendaknya tidak dibatasi kerangka hukum pemilu saja, ada regulasi lain yang
bisa diterapkan untuk menjerat peserta pemilu yang melakukan pelanggaran.
Dalam konteks penyalahgunaan
anggaran, jabatan atau fasilitas negara bagi menteri aktif dan incumbent harusnya menggunakan
terobosan hukum tidak hanya dalam konteks hukum kepemiluan. Ada instrumen
hukum lain, misalnya dengan menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Karena rumusan tentang penyalahgunaan jabatan untuk
kepentingan pribadi ialah bagian dari tindak pidana korupsi. Terobosan
semacam itu penting dilakukan agar kelemahan pengawasan pemilu benar-benar
menjamin pelaksanaan pemilu yang fair
bagi semua peserta pemilu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar