Kamis, 27 Maret 2014

Ringkihnya Pengawasan Pemilu

Ringkihnya Pengawasan Pemilu

Reza Syawawi ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
MEDIA INDONESIA,  25 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PENGAWASAN atas penyelenggaraan pemi lihan umum (pemilu) sepertinya tidak didesain untuk mengawasi peserta pemilu yang juga aktif sebagai pejabat atau penyelenggara negara. Jika melihat DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD, mayoritas masih diisi wajah lama, termasuk juga yang menduduki jabatan sebagai menteri.

Di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Kedua, setidaknya ada 10 menteri aktif yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Bahkan 5 dari 10 menteri tersebut berasal dari Partai Demokrat, sisanya dari Partai Keadilan Sejahtera (2 menteri), Partai Kebangkitan Bangsa (2), dan Partai Amanat Nasional (1).

Sekilas tak ada yang salah jika seorang menteri atau incumbent mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun, jika diselisik lebih jauh ada kelemahan sistemis dalam sistem pengawasan pemilu jika dikaitkan dengan keikutsertaan menteri atau incumbent dalam kontestasi pemilu legislatif.

Problem hukum

Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD cenderung memberikan keleluasaan kepada anggota DPR, DPD, DPRD, dan menteri untuk tetap aktif memegang jabatan mereka walaupun dicalonkan sebagai calon anggota legislatif. Namun, di sisi yang lain, undang-undang justru mewajibkan kepada kepala daerah untuk mundur dari jabatan mereka jika dicalonkan sebagai anggota legislatif.

Dampak dari pengaturan itu ialah ketiadaan instrumen pengawasan yang mumpuni untuk mengawasi menteri dan incumbent. Hampir tidak ada batasan atau ukuran untuk menilai apakah yang bersangkutan sedang menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara atau sedang melakukan kegiatan kampanye.

Sebagai contoh, Sebagai contoh misalnya, ketika anggota DPR turun ke basis pemilihnya menggunakan fasilitas negara karena jabatan jabatannya sebagai anggota DPR. Dalam praktiknya kegiatan tersebut seringkali `dibumbui' konten yang sebetulnya dikategorikan sebagai bentuk kampanye.

Dalam banyak kasus kegiatan semacam itu bahkan dilakukan secara vulgar, misalnya ada anggota DPR menggunakan program di kementerian tertentu untuk digunakan sebagai alat kampanye. Biasanya caleg melakukan `klaim' bahwa program tersebut ialah `jerih payahnya' sebagai anggota legislatif. Pada sisi yang lain, tak tertutup kemungkinan menteri aktif pun menggunakan fasilitas yang melekat pada jabatannya untuk melakukan kegiatan kampanye. Faktanya memang sangat sulit dibedakan dan dibuktikan apakah yang bersangkutan sedang menjalankan tugasnya atau sedang berkampanye.

Dalam konteks pengawasan, sebagai bahan perbandingan dalam penyelenggaraan pemilu kada, penggunaan dana bansos untuk kepentingan incumbent tidak pernah tersen tuh oleh pengawasan pemilu. Lalu apa yang akan dilakukan jika ada indikasi dana bansos di kementerian tertentu disalahgunakan, termasuk terhadap incumbent yang menggunakan fasilitas jabatannya untuk kepentingan kampanye?

Fenomena penyalahgunaan dana bansos sebetulnya telah menjadi perhatian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil kajian KPK di daerah, misalnya, mengungkap bahwa ada peningkatan signifikan terhadap pengalokasian dana bansos dan hibah dalam APBD (2011¬2013).

Hal yang sama juga terjadi di ke menterian, alokasi dana bansos dalam APBN 2014 mencapai Rp73,2 triliun, padahal di tahun sebelumnya (2013) berkisar pada angka Rp59 triliun (Media Indonesia, 20/3). Namun, pada sisi yang lain, diskresi pengguna anggaran yang terlalu besar tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat.

Karena itu, tidak mengherankan jika pada sisi audit, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu menemukan penyimpangan atas pengelolaan dana bansos dan hibah. Bahkan dalam beberapa kasus, itu dikategorikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Semua hal itu tentu tidak terlepas dari politik alokasi anggaran yang memang berpotensi sangat besar untuk disalahgunakan baik oleh kepala daerah maupun kementerian.

Terobosan pengawasan

Kondisi tersebut tentu saja melahirkan situasi yang tidak fair dalam penyelenggaraan pemilu. Harus diakui bahwa pejabat aktif tentu lebih memiliki peluang paling besar untuk menggunakan anggaran, fasilitas, dan kekuasaan yang melekat pada jabatannya untuk kepentingan politik. Karena itu, pengawasan pemilu harusnya masuk ranah kekuasaan yang dijalankan para caleg.

Namun, fakta yang lain justru memperlihatkan ringkihnya pengawasan pemilu. Institusi penyelenggara pemilu terlihat gagap dalam melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu yang nyata-nyata melakukan pelanggaran. Contoh yang paling sederhana ialah soal pemasangan atribut kampanye yang melanggar aturan.

Saat ini atribut peserta pemilu dengan mudahnya dapat dijumpai dalam ruang-ruang publik. Padahal, secara hukum pemasangan atribut tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu karena dipasang pada tempat yang dilarang.

Lalu, bagaimana penyelenggara pemilu bisa mengidentifikasi dan menindak pelanggaran yang dilakukan secara terselubung melalui program di kementerian tertentu, sementara pelanggaran yang terlihat nyata sekalipun tidak dilakukan tindakan hukum yang tegas? Itulah potret nyata bahwa sistem pengawasan pemilu jauh tertinggal di belakang, sementara pelanggaran pemilu telah dikreasikan sedemikian rupa untuk menyiasati celah hukum.

Ke depan mungkin perlu ada terobosan penegakan hukum dalam hal pengawasan pemilu. Pengawasan pemilu hendaknya tidak dibatasi kerangka hukum pemilu saja, ada regulasi lain yang bisa diterapkan untuk menjerat peserta pemilu yang melakukan pelanggaran.

Dalam konteks penyalahgunaan anggaran, jabatan atau fasilitas negara bagi menteri aktif dan incumbent harusnya menggunakan terobosan hukum tidak hanya dalam konteks hukum kepemiluan. Ada instrumen hukum lain, misalnya dengan menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Karena rumusan tentang penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi ialah bagian dari tindak pidana korupsi. Terobosan semacam itu penting dilakukan agar kelemahan pengawasan pemilu benar-benar menjamin pelaksanaan pemilu yang fair bagi semua peserta pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar