Sabtu, 29 Maret 2014

Pemilu Paling Menentukan

Pemilu Paling Menentukan

Ahan Syahrul Arifin ;   Ketua PB HMI 2013-2015, Mahasiswa Pascasarjana UI
KORAN JAKARTA,  29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Sepanjang sejarah, Indonesia telah 10 kali melaksanakan pemilu. Momentum pemilu selalu penting sebagai pijakan perubahan.

Namun, denyut Pemilu 2014 ini terasa akan sangat penting dan krusial. Hal itu mengingat pemilu legislatif yang tinggal di ujung waktu tersebut akan menentukan dua kali calon presiden Indonesia.

Maksudnya, hasil Pileg 2014 akan menentukan bangunan koalisi untuk pencapresan 2014 dan Pilpres 2019. Alasannya, MK memutuskan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara bersamaan pada 2019.

Tentunya hasil Pileg 2014 menjadi dasar rujukan partai-partai dalam menentukan koalisi dalam pilpres. Itulah alasan pemilu kali ini amat menentukan bagi bangsa.

Partai-partai harus benar-benar efektif merayu rakyat. Salah menyusun pola bisa berdampak besar perolehan suara. Dalam konteks ini, harapan masa depan yang cerah melalui janji-janji angin surga tak akan banyak bermanfaat.

Rakyat sudah terlalu muak dengan janji-janji penuh harap, tetapi kosong dalam aksi dan implementasi. Menjual harapan dengan iming-iming negara makmur sejahtera gemah ripah loh jinawi jelas butuh jejak rekam dan prestasi.

Jika tidak punya pengalaman, cita-cita yang digantungkan melalui slogan-slogan kampanye terasa mengambang, tak mencengkeram, tak menggigit.

Menjual masa lalu, dengan berkampanye negara sejahtera dan makmur tanpa memahami substansi kekinian dan masa depan, juga laksana penyimpangan terhadap akar masalah rakyat.

Masyarakat memang butuh hidup stabil, tenteram, nyaman, dan teratur. Tetapi terasa janggal bila masa lalu yang dijual digembar-gemborkan sebagai ujung tombak kampanye.

Era sudah berubah. Zaman telah berganti. Kesejahteraan dan kemakmuran memang tetap tujuan yang selalu dikejar semua orang. Mendidik rakyat untuk sejahtera adalah memberi wawasan dengan perubahan zaman, tantangan kehidupan, peluang-peluang yang bisa dihasilkan. Bukan bernostalgia dengan kenangan, bercengkerama dengan masa lampau.

Tentu tak bisa menafikan sejarah yang telah lalu. Sebab, dalam putaran waktu, ada kebaikan dan wajib diteruskan, tapi juga banyak keburukan yang tak boleh diulang. Memahami substansi ini penting agar tidak terkecoh dengan sekadar menjual masa lalu. Sebab, yang ada hanyalah penyesatan-penyesatan terhadap keberhasilan dan kesuksesan.

Zaman bergulir begitu cepat. Kemajuan masa depan tak cukup dengan berkampanye mengenang kemakmuran semu yang telah lewat. Kampanye cerdas menggunakan internet, mau tak mau, harus bisa dimaksimalkan, apalagi penggunaan internet makin meningkat dari tahun ke tahun.

Tahun 2013 lalu, pengguna internet mencapai 71 juta jiwa. Tahun lalu, volume traffic internet di Indonesia juga meningkat hinggga dua juta persen sejak 12 tahun terakhir.

Kehadiran internet yang membawa fitur-fitur turunan seperti FB, Twitter, dan Instagram menyibak peta komunikasi baru. Akses informasi sangat cepat mendarat meski orang berada di pelosok. Kejadian hari ini di Sabang bisa juga ketahui detik itu juga di Merauke.

Pengguna FB di Indonesia mencapai 64 juta, Twitter 29 juta, dan Instagram mencapai 30 juta. Angka ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan penetrasi internet serta kehadiran gadget. Dari gadget-gadget tersebut, masyarakat bisa mengakses informasi, terhubung satu sama lain, dan selalu update.

Generasi yang lebih banyak beredar di dunia media sosial adalah generasi-generasi baru. Mereka itu pemilih pemula atau anak muda yang sangat gandrung perubahan teknologi. Kebanyakan warga berusia 17–30 tahun memiliki FB, Twitter, ataupun Instagram.

Di sisi lain, jumlah pemilih muda dengan kisaran umur 17–30 tahun mencapai 30 persen dari total pemilih. Ini kurang lebih 20 juta pemilih sebagai pemula, generasi era maya yang terhubung satu sama lain. Mereka hidup dengan aneka informasi berseliweran di jagat maya.

Berhadapan dengan generasi selfie semacam ini, partai politik, caleg, ataupun capres harus menangkap gejala zaman. Kampanye, sosialisasi, atau apa pun namanya, melalui media sosial sangat penting.

Mikro

Kampanye mikro bisa menjadi solusi tepat menggaet pemilih di daerah-daerah. Maka, penting bagi partai dan para caleg memahami peta persoalan di daerah pemilihannya. Berkoar-koar tentang visi besar dan pedoman partai atau hanya bertumpu pada sisi-sisi yang bersifat umum dipastikan tidak laku.

Yang utama dari kampanye mikro adalah pemahaman terhadap masalah konstituen seperti petani. Maka, caleg harus berbicara tentang dunia petani, tanam-menanam, pupuk, benih yang terjangkau. Harus ada langkah konkret untuk petani.

Tema-tema kesejahteraan harus dikonkretkan dalam serpihan-serpihan isu yang lebih kecil dan menjadi kebutuhan utama masyarakat. Pemahaman terhadap konteks masalah akan menentukan kemenangan caleg atau partai. Kampanye dengan isu-isu lokal akan sangat mengena, daripada umum tetapi sekadar janji.

Dengan pemberlakuan sistem dapil, kampanye door to door juga akan sangat penting. Blusukan, menyapa langsung, menjaring aspirasi di tingkat akar rumput, mau tak mau harus dilakukan.

Pidato saja tidak cukup untuk mendapat simpati rakyat, apalagi jika omongannya hanya dilakukan pada saat kampanye terbuka karena yang hadir hanya anggota partai.

Simpati akan didapat jika caleg rajin turun ke rumah konstituen. Konsekuensinya memang jelas membawa biaya tinggi. Tapi inilah cara menang yang sangat efektif. Tak cukup dengan ketokohan, wacana, intelektualitas, program, atau pidato memukau.

Rakyat butuh kehadiran langsung calon wakil atau pemimpin. Elite yang mau turun untuk menyapa, menepuk bahu, memeluk dengan kehangatan beserta isu mikronya akan lebih diterima.

Ketokohan dan harapan tak cukup untuk mendapat simpati di tengah ideologi yang sudah pudar. Isu-isu mikro yang langsung mengena serta pendekatan media sosial sangat menentukan kemenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar