Sistem
Bunga dan Riba
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi ’45 Yogyakarta
|
KOMPAS,
27 Maret 2014
ARTIKEL ini dimaksudkan untuk menanggapi
tulisan Samsudin Berlian, ”Bunga Ya, Riba Jangan” (Kompas,
25/1/2014), dan K Bertens, ”Sekali Lagi
tentang Bunga dan Riba” (Kompas, 15/2/2014). Keduanya secara implisit
mempertanyakan lagi masalah pengharaman bunga sebagai riba dalam sistem
perbankan syariah.
Dalam
sistem kapitalis, masalah itu sudah dianggap selesai dengan menetapkan
pandangan yang membedakan antara interest (bunga) dan usury (riba). Bunga adalah tambahan
atas pengembalian pinjaman berdasarkan persentase antara tambahan dan
pinjaman pokok yang tingkatnya ditentukan melalui mekanisme pasar bebas yang
dikelola suatu badan hukum yang khusus bergerak dalam kegiatan perkreditan.
Sementara usury adalah tambahan
atas pinjaman yang dihitung juga berdasarkan persentase, tetapi tingginya
ditetapkan sepihak oleh pemilik modal, yang dalam praktik, tingkatnya
mencekik leher peminjam karena sifatnya berlipat ganda.
Sistem bagi hasil
Dalam
hukum yang berlaku di Indonesia, bunga diperbolehkan, sedangkan riba dilarang.
Tokoh ahli ekonomi Islam Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara dan Kasman
Singodimedjo, menyetujui pandangan bahwa sistem bunga dan lembaga perbankan
halal. Bahkan, mereka menganjurkan agar umat Islam mendirikan lembaga bank
guna mencapai kemajuan di bidang ekonomi.
Sementara
itu, para ahli ekonomi Islam di dunia pada umumnya juga sudah menganggap
hukum bunga sebagai riba sudah final. Bunga dianggap riba dan karena itu
diharamkan. Pandangan ini juga diikuti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Riba
diharamkan, tetapi lembaga perbankan tak dilarang, bahkan dianjurkan, tetapi
dengan mengubah sistem bunga dengan sistem bagi hasil dan tanggung-risiko
bersama atas kerugian.
Dalam
praktik yang tampak hanya sistem bagi hasil, sedangkan tanggung rugi bersama
tak tampak karena dilakukan dengan mengurangi tingkat laba dengan tingkat
kerugian yang dihitung oleh pihak bank secara internal menjadi laba bersih
yang dibagikan. Sistem itu di Indonesia disebut sebagai sistem perbankan
syariah. Sistem perbankan syariah itu sudah pula disahkan oleh otoritas
moneter Indonesia, bahkan sudah dilegislasikan menjadi UU oleh DPR.
Masalah
bunga dan riba dipersoalkan lagi ketika publik melihat praktik perbankan
syariah di mana tingkat bagi hasil ternyata sering lebih tinggi daripada
tingkat bunga pasar. Demikian pula ketika dalam praktik bahwa penetapan bagi
hasil itu tetap berpedoman pada tingkat suku bunga pasar. Karena itu, timbul
pertanyaan berdasarkan pandangan bahwa riba itu adalah suku bunga yang
berlipat ganda, yang dalam istilah Al Quran disebut ad’afan mudho’afan.
Pertanyaannya kemudian, ”Lantas apa
bedanya antara sistem syariah dan sistem perbankan kapitalis?”
Ade
Perdana dan Zaim Uchrowi bahkan berpendapat, yang disetujui Gunawan Mohamad, sistem
syariah sebagaimana tecermin dalam perbankan syariah pada hakikatnya
adalah varian atau sub-sistem dari
sistem kapitalisme finansial. Seorang ulama tarekat asal Spanyol, Syeikh Umar
Fadhilon, menyebutnya dengan sindiran contradictio in terminis, ”Islamic sampanye” atau ”minuman keras Islami”. Profesional perbankan Inggris keturunan
Yahudi, Aaron Maclean, yang pernah bekerja dalam Bank Islam di Mesir selama 6
tahun, menulis artikel dalam majalah The
American berjudul ”Is Islamic Bank
Really Kosher?”, yang mempertanyakan ke-kosher-an atau kehalalan bank
Islam dalam istilah hukum Taurat.
Sebenarnya
pandangan Yudeo-Kristiani merasa sudah bisa menyelesaikan masalah ”riba”
dengan beberapa jawaban. Pertama, dengan membedakan antara interest dan usury yang merupakan modus yang umumnya dianut. Kedua, dengan
koperasi simpan-pinjam yang membatasi jasa bunga untuk menutup biaya
administrasi saja dan dengan mengembalikan jasa bunga sebagai sisa hasil
usaha yang dikembalikan kepada anggota.
Ketiga,
beberapa abad lampau Gereja Dominican Italia membentuk lembaga pinjaman tanpa
bunga untuk memberantas riba, sekaligus kemiskinan, yang dianggap sebagai
cikal bakal ”bank sosial” modern itu. Tetapi, bank sosial yang tergabung ke
dalam The Global Alliance of Banks
based on Value (GABV) yang berpusat di London itu tetap memakai sistem
bunga pasar sehingga nilai asetnya berkembang ratarata 30 persen per tahun.
Menurut hukum syariah, bank sosial global itu hukumnya haram.
Perbankan
syariah yang sudah merupakan paradigma atau kesepakatan dalam komunitas ulama
dan cendekiawan Muslim itu sudah menetapkan bunga pasar sebagai riba. Tapi,
Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia yang pertama itu,
berpandangan bahwa suku bunga bank yang wajar halal. Sementara riba itu
sendiri ia pahami sebagai ”semua bentuk
sistem eksploitasi” bukan saja di bidang keuangan, melainkan juga di
bidang produksi dan perdagangan.
Pandangan
Sjafruddin itulah sebenarnya yang jadi dasar teori ekonomi Islam sebagai ”sistem ekonomi kerja sama bagi hasil di
antara para pemilik sumber daya ekonomi yang berkeadilan, berdasarkan
kesepakatan sukarela yang bebas dari keterpaksaan”. Bagi hasil berbeda dengan bunga karena
bunga ditentukan oleh mekanisme pasar bebas, sedangkan bagi hasil ditetapkan
berdasarkan kesepakatan sukarela antara pihak-pihak yang bertransaksi tanpa
keterpaksaan bilateral ataupun struktural.
Inti
sistem bagi hasil terletak pada akad mudharabah sebagai kerja sama antara
pemilik dana yang diwakili bank sebagai sahib al mal atau penyandang dana
dengan produsen sebagai mudharib atau yang menjalankan usaha. Tapi, akad atau
transaksi itu ternyata masih sulit dilaksanakan karena moral hazard yang bersumber dari pembiayaan operasional yang
cenderung di-mark up untuk
menurunkan tingkat laba sehingga cenderung merugikan pemilik dana. Cara
mengatasi sementara: laba yang jadi dasar bagi hasil adalah laba kotor
sebelum dikurangi biaya operasional sehingga tak bisa disebut profit-sharing, melainkan revenue-sharing. Transaksi ini lebih
mendekati akad murabahah, yang
sebenarnya adalah akad kerja sama antara bank dan peminjam untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi dan perdagangan.
Bank
syariah (seharusnya) tidak menarik bunga pasar, melainkan ”biaya administrasi” seperti berlaku
di koperasi simpan pinjam. Akan tetapi, dengan penerapan sistem online real time, yang diterapkan dan
jadi ciri bank sosial itu dalam pelaporan keuangan, pemecahan masalah
mudharabah sebagai profit and
loss-sharing bisa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
Teori
ekonomi Islam mengenai perbankan, sebagai lembaga kerja sama dan
tolong-menolong, dapat dijelaskan dengan teori ruang publik Hannah Arendt
(1906-1975), filsuf politik Jerman yang mengidealkan polis (negara kota)
Yunani di zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles hidup. Polis diidealkan sebagai
pusat peradaban berdasarkan prinsip solidaritas dalam mengatur rumah tangga (oikos) yang terlindung dari tekanan
survival yang menimbulkan persaingan bebas.
Secara
fisik arsitektural, polis dilindungi tembok kota, tetapi secara moral
dilindungi oleh hukum. Tapi, ketika tembok itu runtuh dalam perubahan sosial,
dengan integrasi dan timbulnya perdagangan dengan masyarakat di luar tembok,
terjadi proses naturalisasi dalam bentuk pasar terbuka yang merupakan arena
persaingan mempertahankan hidup. Dalam teori Darwin ini disebut pertarungan
yang menimbulkan proses seleksi alam berdasarkan hukum rimba yang disebut the survival of the fittest. Karena
itu, penetrasi pasar ke ruang publik dalam masyarakat kapitalis disebut
Hannah Arendt sebagai barbarisasi ruang publik, yang mengubah hubungan
solidaritas menjadi persaingan. Bunga uang yang ditolak Aristoteles itu
dilarang karena dianggap mengandung sistem eksploitasi oleh pemilik dana atas
orang miskin.
Kesejahteraan sosial
Sistem
ekonomi Islam mengidealkan model maninah al munawarah, ”negara kota yang tercerahkan” oleh iman dan akhlak mulia. Negara
Madinah tak dilindungi oleh tembok, tapi dilindungi hukum atau syariah yang
merupakan ”pakaian takwa”, yaitu
melindungi perilaku manusia agar menaati hukum demi keselamatan diri dan
orang lain dari kecurangan, penipuan, dan pencurian. Hukum juga harus
bersifat adil guna menciptakan keamanan dan perdamaian serta menciptakan
dasar kerja sama guna mencapai kesejahteraan bersama. Dengan demikian,
prinsip syariah mengacu trilogi nilai: keselamatan di dunia-akhirat,
perdamaian, dan kesejahteraan.
Penerapan
sistem syariah, dengan demikian, dimaksudkan sebagai usaha pengembalian polis
sebagai pusat peradaban yang didasarkan pada prinsip solidaritas dalam bentuk
kerja sama dalam kebajikan dan takwa (taat hukum) yang diperintahkan Al Quran
sebagai ta’awanu alal birri wa al taqwa. Dengan demikian, maka kegiatan
ekonomi rumah tangga (oikos)
dilaksanakan berdasarkan nilai solidaritas dalam kekeluargaan (ukhuwah) dan gotong royong (ta’awun)
yang melindungi masyarakat dari barbarisme pasar bebas. Ini tidak berarti
bahwa pasar itu dilarang, walaupun tetap dianggap sebagai berpotensi tidak
selamat dan menyelamatkan, mengandung eksploitasi dan ancaman terhadap
kesejahteraan, misalnya dengan timbulnya inflasi. Tetapi, pengertian pasar
diubah dari arena persaingan bebas yang saling merugikan menjadi arena kerja
sama di antara rumah tangga (oikos)
pemilik sumber daya ekonomi.
Dalam sistem syariah ini, dana tetap dihargai sebagai faktor produksi,
tetapi tidak boleh dipakai sebagai komoditas yang menghasilkan bunga uang,
tetapi sebagai fasilitas kebaikan untuk memfasilitasi kegiatan yang
menghasilkan dampak sosial dan lingkungan hidup. Fasilitas kebaikan ini
adalah dana yang mengandung amanah dan karena itu tetap harus dikelola secara
transparan dan akuntabel agar menghasilkan kesejahteraan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar