Ihwal
Budaya Politik Kita
Masdar Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
|
KOMPAS,
27 Maret 2014
DALAM hitungan hari, bangsa ini akan
menyelenggarakan hajat politik ”besar” lima tahunan. Jika tidak ada aral
melintang, kita akan memilih anggota legislatif secara serentak pada 9 April.
Memperhatikan apa yang terpampang di baliho-baliho dan spanduk yang tersebar
di setiap sudut kota, tampaknya kita siap disuguhi repetisi lima tahunan:
tidak akan terjadi apa pun dalam hal perbaikan kualitas demokrasi kita.
Momen
pemilu tampaknya tidak akan menerbitkan harapan dan optimisme baru, terutama
bagi masyarakat kebanyakan.
Sebaliknya, ia hanya mengundang pesimisme yang sama dengan lima tahun
lalu: ketika kader-kader parpol dengan lantang mengatakan ”tidak” pada
korupsi, tetapi justru berada di garda depan dalam episentrum korupsi. Oleh
karena itu, agar tidak kecewa di kemudian hari, sebaiknya kita jangan terlalu
bersemangat menaruh harapan berlebihan kepada calon-calon anggota legislatif
untuk melakukan perubahan mendasar dalam struktur kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Metamorfosis
Bagi
para calon anggota legislatif yang hendak bertarung di gelanggang politik
kekuasaan, menyadari konstelasi politik mutakhir menjadi sesuatu yang
imperatif agar mereka bisa belajar dari para senior mereka. Tujuannya cuma
satu: tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan para pendahulunya.
Harus
ada perubahan mendasar di tingkat paradigmatik agar masyarakat mau ”membeli”
apa yang mereka tawarkan. Jika mereka mengabaikan pengetahuan semacam ini,
dapat dipastikan yang terjadi adalah repetisi dan replikasi belaka.
Melalui
karyanya yang sudah menjadi klasik, Benedict RO’G Anderson dalam Language and Power (2006: 47-50)
menegaskan bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonial atau
klientilisme (pola relasi patron-klien). Pola relasi antara patron dan klien
didasari oleh kebutuhan saling menggantungkan, tetapi juga saling
menguntungkan. Dengan memanfaatkan otoritas formal yang digenggamnya, sang
patron bertindak sebagai pengayom, pelindung, atau penjamin eksistensi si
klien. Sebaliknya, si klien berkewajiban menopang eksistensi sang patron.
Jika salah seorang di antara keduanya runtuh, maka yang lain juga ikut
runtuh.
Weber (Economy and Society, 1978: 227)
mendefinisikan patrimonialisme sebagai pola kekuasaan yang dicirikan oleh
ketaatan kepada pemimpin tradisional bukan karena otoritas legal-formal yang
melekat pada sebuah posisi struktural, melainkan karena pribadinya. Budaya
politik patrimonialistik dicirikan oleh empat hal: (1) kecenderungan untuk
mempertukarkan sumber daya (resources
exchange); (2) kebijakannya bersifat partikularistik, tidak
universalistik; (3) penegakan hukum bersifat sekunder; dan (4) penguasa
politik sering kali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum.
Pola
kekuasaan patrimonialistik di masa Orde Baru dapat dilihat dari masifnya
kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh banyak individu yang duduk dalam
sistem birokrasi dan lembaga politik dengan cara memanfaatkan otoritas formal
yang dipikulnya untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekat. Modus
kejahatan yang dilakukan dapat dilihat secara kasatmata dari rekam jejak
individu dengan cara memanipulasi kekuasaan yang digenggamnya tanpa
melibatkan struktur formal yang didudukinya. Seorang pemimpin daerah bisa
memiliki kekayaan yang teramat fantastis akibat jabatan formal yang
dimilikinya.
Harus
diakui, paradigma politik-kekuasaan di era reformasi ini belum mengalami
perubahan signifikan ke arah lebih baik. Reformasi birokrasi melalui
pengenalan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) ternyata
hanya menggeser paradigma politik-kekuasaan dari patrimonialisme ke
neopatrimonialisme. Persis seperti pepatah ”menuangkan anggur lama ke dalam
botol baru” (pouring the old wine into
a new bottle). Jika patrimonialisme berjalan secara individual, maka
neopatrimonialisme berjalan secara formal-struktural. Artinya, terdapat
pencampuran antara dominasi patrimonial dan birokrasi legal-rasional (Erdmann & Engel, 2006: 18).
Dalam
budaya politik neopatrimonialistik, modus kejahatan pun berjalan lebih
sistemik, struktural, dan bertali-temali dengan lembaga lain. Jika korupsi
pada masa Orde Baru bisa diurai melalui aktor-aktor individu, maka modus
korupsi di era Reformasi melibatkan struktur politik birokrasi yang jauh
lebih canggih, rumit, dan subtil. Korupsi dilakukan bukan secara individual
dan dapat diendus secara individual pula, melainkan secara
institusional-struktural.
Aspek
lain yang membedakan neopatrimonialisme dari patrimonialisme terletak pada
pola loyalitas politik antara si klien kepada sang patron. Pada kekuasaan
patrimonialistik, pola ketaatan klien kepada patron sering kali didasarkan
pada nilai-nilai tradisional dan primordial. Sementara itu, pada kekuasaan
neopatrimonial, pola ketaatan klien kepada patron murni didasari oleh
motif-motif ekonomi dan pragmatisme rasional. Dengan demikian, terdapat
pertimbangan pilihan rasional di balik pola relasi patron-klien.
Mengakhiri
budaya politik (neo)patrimonialistik bukan perkara mudah. Sejauh ini negara
(baca: pemerintah) bukan tidak melakukan upaya sama sekali untuk memperbaiki
budaya politik kita. Reformasi birokrasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik dan bersih sebenarnya telah gencar dilakukan di
berbagai lini.
Penambahan
insentif juga telah diobral besar-besaran di lembaga-lembaga formal melalui
program remunerasi. Akan tetapi, itu semua tidak mengubah budaya politik kita
secara signifikan.
Memecah konsentrasi
Salah
satu harapan perbaikan justru dimulai dari gedung KPK. Secara tidak disadari,
KPK telah memperkenalkan budaya politik baru yang berpijak pada prinsip tata
kelola yang baik dan bersih.
Dalam
konteks ini, cara yang dilakukan KPK adalah memecah konsentrasi
individu-individu yang terlibat dalam budaya politik neopatrimonialistik
untuk mempertanggungjawabkan korupsi politik yang telah dilakukannya. Tidak
berlebihan jika KPK telah membalikkan sebuah kemustahilan menjadi sebuah
kemungkinan dan harapan. Pengenalan budaya politik baru justru dimulai ketika
KPK memecah konsentrasi dan memutus pola relasi patron-klien melalui
paradigma impartial law enforcement.
Pergeseran
paradigma budaya politik semacam ini harus kita dukung bersama dan harus
disadari oleh siapa pun yang hendak memasuki domain politik-kekuasaan.
Mudah-mudahan langkah KPK memecah konsentrasi neopatrimonialistik ini
menandai datangnya era baru budaya politik adiluhung.
Jika
Anda ingin selamat dunia-akhirat, janganlah larut ke dalam sistem politik
yang ada, tetapi ciptakanlah sistem politik baru yang akuntabel, bersih,
bertanggung jawab, dan melayani. Konsekuensinya, jika nanti terpilih, Anda
bukan lagi milik parpol dan mengabdi kepada parpol, tetapi milik masyarakat
dan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar