Seputar
Polemik Film Noah
Sumiati Anastasia ; Kolumnis
dan Muslimah, Tinggal di Balikpapan
|
JAWA
POS, 31 Maret 2014
Film
yang diangkat dari kisah Nabi Nuh dalam Alquran dan Alkitab yang berjudul
Noah dilarang beredar di Indonesia. Film epik religius yang disutradarai
Darren Aronofsky serta dibintangi Russell Crowe itu rencananya ditayangkan
secara serempak di seluruh dunia pada 28 Maret 2014.
"Sesuai dengan undang-undang, kita tidak
ingin ada film yang menimbulkan reaksi dan kontroversi di masyarakat," ujar
salah seorang anggota Lembaga Sensor Film Zainut Tauhid Sa'adi dalam rilis
kepada wartawan (24/3).
Sejumlah
negara Islam di Jazirah Arab seperti Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab juga
melarang. Alasannya, Islam memang melarang visualisasi Tuhan atau pemimpin
agama yang suci seperti nabi.
Fatwa
yang mendasari pelarangan peredaran film Noah itu dikeluarkan institusi Al
Azhar di Kairo, Mesir. "Al Azhar
menyatakan keberatan terhadap setiap tindakan yang menggambarkan utusan dan
nabi-nabi Allah dan para sahabat Nabi SAW," tulis Daily Mail (9/3).
Terkait
kisah Nabi Nuh AS, kita mungkin masih ingat dialog antara Nabi Nuh dan
anaknya dalam Alquran: "Dan
bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh
memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat jauh terpencil: 'Hai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir'. Anaknya menjawab: 'Aku akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!' Nuh berkata, 'Tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang'.
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan." (QS Huud: 42-43).
Anehnya,
beberapa aliran Nasrani juga menolak film Noah. Perwakilan Gereja Pantekosta
Australia mengatakan terkejut dengan penggambaran Nabi Nuh dalam film itu.
Jerry A. Johnson, presiden National Religious Broadcasters (NRB), memastikan
semua orang yang melihat film tersebut tahu bahwa itu adalah interpretasi
imajinatif dari Kitab Suci dan tidak literal (Dailymail, 12/3).
Pro-kontra
atas penolakan film Noah boleh jadi mengingatkan publik dunia pada Innocence of Muslims beberapa waktu
lalu yang merendahkan Nabi Muhammad. Yang merasa tersinggung dengan film itu
bukan hanya umat Islam. Vatikan juga tersinggung. Vatikan mengutuk tindakan
keji yang dibuat orang yang bertujuan untuk menghina hal-hal yang dianggap
suci oleh umat Islam di seluruh dunia.
Memang
jika kembali ke akidah asli agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam,
mereka memang tegas menolak visualisasi Tuhan dan para nabi-Nya.
Kembali
ke film Noah, terlepas dari keberatan sesuai akidah agama seperti disebutkan
di atas, di dunia ini sebenarnya beredar beberapa kisah yang mirip dengan
kisah Nabi Nuh.
Jauh
sebelum kisah Nabi Nuh beredar, orang Yunani juga punya mitologi bahwa Dewa
Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang semakin sesat dengan sebuah
banjir besar. Hanya Deucalion dan istrinya, Pyrrha, yang selamat dari banjir
karena ayah Deucalion sebelumnya menyarankan anaknya untuk membuat sebuah
kapal. Pasangan itu mendarat di Gunung Parnassis sembilan hari setelah
menaiki kapal. Dalam sejarah Tiongkok kuno, juga dikisahkan seseorang yang
bernama Yao bersama tujuh orang lain atau Fa Li bersama istri dan
anak-anaknya yang selamat dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah
perahu layar.
Sebelum
datangnya agama-agama samawi, orang Sumeria atau Babilonia (Iraq kuno) juga
punya kisah senada dengan kisah Nabi Nuh yang disebut epik atau kisah Gilgamesh. Nabi Nuh dalam versi mereka
bernama Utnaphishtim yang juga
mendapat perintah secara supernatural untuk membangun bahtera agar dapat
menyelamatkan diri dari banjir raksasa.
Dalam
cerita versi Sumeria itu, juga terdapat hal yang sama dengan Nuh, yakni Utnaphishtim
melepas burung untuk mengetahui apakah banjir telah surut atau belum, persis
yang dilakukan Nabi Nuh. Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh disatukan
dalam benang merah bahwa di Kota Ur-Erech di Sumeria yang saat ini dikenal
sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di selatan Mesopotamia yang saat
ini bernama Tall Far'ah menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu pernah terjadi
banjir di kawasan tersebut, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari
Universitas Pennsylvania antara 1922-1930.
Jadi,
kota-kota di Iraq kuno yang dicatat sejarah sebagai kawasan berperadaban
tinggi pertama di dunia karena di sana dimulai keberadaan tulis-menulis dan
agama pertama, dalam satu kurun waktu tertentu, ternyata pernah disapu banjir
besar seperti tampak dari struktur tanah dan temuan hewan-hewan laut. Alquran
atau Alkitab memang menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari
Sang Pencipta, banjir besar didatangkan sebagai hukuman atas kota-kota besar
di Iraq kuno tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar