Politik
Transaksional
Iksan Basoeky ; Peneliti
pada Pusat Studi Agama dan Politik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
27 Maret 2014
Kontestasi politik kian
mendekat, gelombang persaingan semakin memanas. Peserta pemilu legislatif
(pileg) ramai-ramai turun jalan mendekati konstituen dengan menawarkan gagasan
mereka masing-masing, dibumbui dengan segudang janji politik yang serbamelangit.
Intinya ingin mendapatkan suara rakyat sebagai bekal untuk mendapatkan kursi
jabatan (kekuasaan).
Fenomena pesaingan politik
kiranya menjadi hal lumrah dalam proses dialektika demokrasi di repulbik ini.
Desain gagasan dan janji politik tak ubahnya bumbu kampanye politik agar
"wajah buram" para politisi tidak terkesan kentara pada publik
bahwa mereka hanya ingin memperoleh suara. Selebihnya adalah kekuasaan milik
pribadi dan kroni, sehingga sangat tampak gagasan yang ditawarkan hanya
sebatas ucapan yang jauh dari tindakan, apalagi untuk perbaikan kualitas
hidup jangka panjang.
Dialektika demokrasi hanya
dijadikan momentum transisi kekuasaan dan transaksi politik, tetapi dorongan
melaksanakan demokrasi berbasis kesejahteraan semakin jauh panggang api.
Pesta demokrasi lima tahunan hanya dijadikan momentum penantian untuk memperebutkan
kekuasaan yang miskin nilai.
Mereka turun jalan bukan dalam
arti memperjuangkan hak-hak rakyat dan perbaikan hidup yang hakiki demi terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruhnya rakyat, tetapi hanya sebuah impian
pragmatisme memperoleh tahta kekuasaan.
Perjuangan hanya berhenti pada
wilayah bentuk dan janji, bukan substansi dan eksekusi. Sejatinya, kedatangan
mereka pada rakyat hanya bersifat prosedural mengampanyekan diri dan sepi dan
ideologi. Sehingga, semuanya samar-samar dan terkesan hanya sebatas melaksanakan
proyek pragmatisme politik, seakan dekat tetapi sebenarnya jauh meminjam
bahasa Fahruddin Faiz (2011), lebih jauh daripada luasnya langit dan bumi.
Mereka mendekati rakyat hanya sebagai media untuk memperoleh imbalan jasa
berupa suara dengan cara-cara "haram" transaksi politik berupa
pembelian suara.
Bahkan, pada saat kampanye
seperti sekarang, para politisi kian berani obral janji palsu dengan
bungkusan harapan yang berlebihan. Rakyat didekati dengan halus agar mereka
tulus memberikan suarnya untuk kelanggengan kursi. Padahal, di balik semua
itu tersimpan segudang kebohongan dan pengkhianatan yang nantinya akan
melahirkan penyesalan dan kepedihan yang mendalam di hati rakyat.
Kebohongan mereka cipta dengan
para pendukungnya melalui kampanye kata-kata tetapi sepi dari tindakan. Dusta
politik dianggap jalan alternatif yang sah untuk dilakukan, walaupun sejatinya
ia ingkar terhadap orientasi ideologi partai dan sifat mulia dari demokrasi.
Dusta politik ini, menurut Marcur Olson dalam Power dan Prosperty (2000)
disebabkan oleh sindrom politisi yang sudah dikelilingi para bandit dan
pekulat. Sehingga, keduanya menyebar dan akhirnya menjadi petaka warisan
budaya politik yang senantiasa selalu dipertahankan.
Saatnya melawan
Tentunya kita masih yakin bahwa
pesta demokrasi 2014 ini akan berjalan sesuai dengan harapan dan tidak akan
berjalan mulus yang namanya politik transaksional bilamana kita berani melawannya.
Aksi politik (political action) demikian
harus kita tolak bersama sebab ia bermuara pada kemunafikan dan korupsi.
Politik transaksional sejatinya sangat mencederai orientasi agung dari proses
demokrasi di mana gagasan demokrasi berlangsung sejatinya ingin menghindari
praktik jual belik suara konstituen.
Tradisi praktik politik demikian
men jadikan hak suara rakyat sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan.
Padahal, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox
populi vox Dei) yang tak dapat diperjualbelikan dengan harga sebesar apa
pun karena ia sangat berarti bagi penunjang perbaikan masa depan republik
tercinta ini.
Cita-cita perbaikan bangsa ini harus terselamatkan dari
praktik-praktik politik yang berorientasi provite oriented sebab ia hanya akan melahirkan
pemimpin-pemimpin berideologi pragmatis yang senantiasa selalu ingin mengejar
uang dan kekuasaan sementara program bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat
tergadaikan.
Sifat dari ideologi pemimpin
seperti ini biasanya selalu menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsu
pragmatisme individu dan kelompoknya. Bahkan, ia berani mengeluarkan banyak
uang demi mendapatkan kekuasaan dengan membeli suara rakyat dalam bentuk sedekah
uang agar tidak terlalu terkesan melakukan praktik money politics. Walhasil, jika ia tepilih maka yang akan
didahulukan adalah berburu harta dan korupsi demi mengembalikan biaya
kampanye politik yang cukup mahal.
Perjuangan mewujudkan
kesejahteraan hanya nyaring kedengarnya. Ia bagaikan nyanyian kata-kata tanpa
laku (tindakan). Berbondong-bondong mendekati rakyat sejatinya bukan
berangkat dari hati yang tulus demi sebuah upaya dan usaha memperbaiki
kualitas hidup bangsa. Tetapi, semata-mata ingin berkomunikasi prihal
kepentingan pragmatisme dan kekuasaan mereka masing- masing. Lebih ironisnya
lagi, visi dan misi yang dibangun sebatas hitam di atas putih dan sepi dari
implementasi.
Praktik-pratik transaksi politik
demikian yang akan berakibat pada kefatalan dalam dimensi proses demokrasi,
yang sejatinya "wajib" kita perangi bersama karena ia telah
mencederai nilai-nilai demokrasi dan secara tidak langsung telah menggadaikan
kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Oleh sebab itu, keterlibatan dan
kesadaran dari semua elemen untuk melawan praktik haram ini adalah inti dari
suksesi proses berlangsungnya pesta demokrasi. Merasakan pesta demokrasi
bukan dalam arti harus menghamburhamburkan uang dan membagi-bagikannya kepada
khalayak publik sebab tindakan tersebut sama halnya dengan melukai hati
nurani rakyat. Memberi dan menjual suara adalah dua tindakan yang sama akan
melahirkan kesengsaraan yang bersifat jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar