Teater
Rakyat
Bre Redana ; Penulis
Kolom “Catatan Minggu” di Kompas
|
KOMPAS,
30 Maret 2014
Beruntung,
saya berkesempatan menonton La Bohème
di London bulan lalu. Sekarang di Eropa makin jarang diproduksi opera klasik.
Dia surut dilibas gebyar musikal, tontonan ringan nyanyi-nyanyi yang memenuhi
West End, kawasan gedung-gedung
pertunjukan di London. Yang sedang top sekarang musikal berjudul Thriller, tentang kehidupan Michael
Jackson.
La Bohème, opera empat babak karya
Puccini, digelar di Royal Albert Hall, gedung opera kuno, terletak di South
Kensington, di depan kastel Putri Diana dulu yang kini ditempati putranya,
Pangeran William, dan istrinya yang cantik, Kate Middleton.
Diakrabi
terutama oleh masyarakat Eropa sejak akhir tahun 1800-an, La Bohème biasanya
dipentaskan di panggung prosenium. Begitu layar dibuka, orang akan dibuat
kagum dengan dekorasi menakjubkan, menggambarkan tempat tinggal kaum bohemian
di Perancis pada zamannya, ataupun pesona pusat keramaian Paris, Latin
Quarter.
Keistimewaan
kali ini, La Bohème dipentaskan di panggung melingkar atau arena. Seperti
teater rakyat, sederhana dan dekat penonton. Seperti teater rakyat pula,
setiap menjelang pergantian babak, kita melihat para pemain ikut berbenah
menata set dan dekorasi panggung. Begitu panggung beres, pelan-pelan mereka
masuk lagi ke tokoh yang diperaninya.
Wajar
dan menghanyutkan. Cerita yang telah diakrabi sebagian orang ini tetap
menyentuh. Saya pribadi, selain tersentuh oleh hubungan cinta kasih tokoh
utama Mimi dan Rodolfo, terpesona dengan tokoh Musetta, yang diperankan
secara luar biasa oleh Zulimar Lopez-Hernandez. Ketengilan cewek ini
mengingatkan pada salah satu teman di Jakarta. Tahu begini, saya ajak dia ke
London.
Pertunjukan
klasik di manapun selalu melandasi dirinya dengan nilai-nilai yang mutlak.
Tentang cinta dalam Le Bohème,
misalnya, ia adalah cinta tanpa reserve.
Pokoknya cinta sampai mati.
Bentuk
pertunjukan yang sewajarnya, nilai-nilai sederhana, hitam adalah hitam, putih
adalah putih, menjadikan saya menikmati tontonan ini seakrab saya menikmati
wayang, ketoprak, sandiwara keliling, dan lain-lain teater rakyat yang
bersama tradisinya saya ikut bertumbuh. Dalam tontonan seperti itu,
sebagaimana cerita silat ataupun koboi, tidak ada wilayah abu-abu. Model film
koboi yang dengan pistol berisi enam peluru membuat 20 penjahat tersungkur,
saya yakin masih banyak penggemarnya.
Soalnya,
bawah sadar banyak orang dipastikan masih menyimpan nilai-nilai hitam putih
itu. Pokoknya yang benar menang yang salah kalah. Alam bawah sadar ini tidak
bisa seketika ditumpas dengan dalih dakik-dakik, bahwa konon sekarang zaman
makin kompleks, alternatif tak lagi mudah dicari, pilihan kian sulit.
Seorang
peneliti asing belum lama ini bertanya kepada saya, apa perbedaan signifikan
kerja kewartawanan sekitar 25 tahun lalu dan sekarang. Saya jawab seadanya.
Dulu, kami bertemu narasumber di rumahnya. Karena terpincut primadona ketoprak,
saya uber dia sampai rumahnya di desa dekat hutan jati di Blora. Malam-malam
pula. Kami terbiasa mengenali orang dalam
gestalt-nya. Kini, kami bertemu narasumber di mal. Sosok itu berada di
lingkungan artifisial.
Yang
kedua, dulu kami menulis pakai mesin ketik. Kalau petang kantor bergemeretak
suara tuts, apalagi beberapa orang punya kebiasaan menekan tuts keras-keras.
Ada teman, yang sekarang telah almarhum, kadang mengetik dengan membuka baju,
hanya mengenakan singlet. Wartawan-wartawan yang lain tahu kalau dia mengetik
dengan bersinglet, tandanya besok tulisannya akan jadi headline.
Saya
tambahi jawaban agar kelihatan bermutu, kekuatan ujung jari dalam melakukan
gerak motorik menjadikan tubuh sebenarnya juga melakukan krida seiring kerja
otak. Orang yang berlatih kanuragan paham hal itu.
Ini beda
dengan kerja menggunakan komputer. Komputer berkemampuan memanipulasi otak
kita. Memori di otak dan memori artifisial di komputer campur baur, kadang
sampai gawat, membuat orang tak lagi paham mana menjiplak mana tidak.
Anda
tahu, tanya saya.
Peneliti
itu manggut-manggut, tak jelas paham atau bingung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar