Nyepi
di Tengah Gemuruh Politik
Raka Santeri ; Wartawan;
Tinggal di Denpasar, Bali
|
KOMPAS,
30 Maret 2014
Pelaksanaan
Nyepi tanggal 31 Maret 2014 (Saka 1936) ini berlangsung di tengah ”gemuruh
politik” Indonesia dalam pesta demokrasi menjelang Pemilu Legislatif 9 April
dan pemilu presiden pada Juli mendatang.
Untuk
menghormati umat Hindu menjalankan ibadah penyepiannya, di Bali tidak akan
dilakukan kampanye terbuka pada hari-hari melasti (prosesi ke laut dan
sumber-sumber mata air), tawur ka sanga, nyepi, dan ngembak geni selama lima
hari.
Pergantian
tahun Saka, yang dimulai pada 78 Masehi, sejak awal mengusung pesan
kebudayaan untuk meredakan nafsu perang antarsuku di Asia Selatan,
menggantinya dengan pesan-pesan perdamaian.
Suku
Saka yang mengawali pesan perdamaian itu merupakan suku pengembara yang
sangat tangguh sehingga suku-suku lain segera ikut menyambutnya.
Ternyata
dari rahim perdamaian itu lahir toleransi serta karya sastra, filsafat, dan
ilmu pengetahuan yang dikagumi sampai kini, seperti, misalnya, Nagarjuna
dengan doktrin Buddha Mahayana-nya, penyair Raja Sekhara dengan kitab
Kavyamimamsanya, dan Mathara dengan pemikiran strategi politik.
Maharaja
Kaniska I yang mencanangkan lahirnya Tahun Saka itu ikut membina perkembangan
agama Buddha meskipun dia sendiri beragama Hindu. Toleransi yang masih kita
dambakan pada abad ke-21 ini ternyata sudah hidup subur di Asia Selatan pada
awal Masehi.
Timbul
pertanyaan, bisakah keheningan menyapa hiruk-pikuk kepentingan nafsu manusia?
Atau sebaliknya, hiruk-pikuk nafsu manusia membelai keheningan batinnya
sendiri? Tuhan yang meniupkan keheningan dari sumber diri-Nya ternyata telah
mempertautkan perbedaan dalam kesatuan. Maka, bersabdalah Tuhan dalam
Yayurveda XL.6: ”Seseorang yang melihat
Dia dalam setiap makhluk, dan melihat semua makhluk dalam Dia, akan memahami
kesatuan dan tidak membenci yang lain.”
Yang
lahir dan yang batin, yang riuh dan yang sunyi ternyata masih terangkai dalam
satu kesatuan. Kepicikanlah yang memisahkannya. Namun, bagi siapa saja yang
mau mendaki, akan menemukan keheningan di setiap puncaknya.
Hiruk-pikuk
politik, nafsu-nafsu kekuasaan, serta keserakahan pada harta-benda hanya
merupakan luapan ego manusia yang mengapung dangkal di permukaan. Manusia
tidak akan pernah bahagia dengan semua itu. Manusia juga tidak akan mampu
bertahan hidup dalam situasi krisis dan perang, atau di atas bara permusuhan
dan kebencian.
Karena
jauh di dalam batinnya mengalir keheningan yang melumuri kasih sayang,
kejujuran, dan persaudaraan. Itulah sebabnya, setiap saat kita perlu berhenti
sejenak, merenungi suara batin kita masing-masing, lalu meneguk air kesadaran
dari sumber keheningan.
Menunduk dan bersyukur
Prof
Arysio Santos (2010) menyatakan, Indonesia pernah menjadi kekaisaran dunia,
sumber segala peradaban besar seperti dikisahkan zaman Atlantis. Bisakah ini
membuat kita bersyukur sambil menundukkan kepala memuji kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa? Beberapa kali kemudian bangsa ini telah menunjukkan lagi
kehebatannya. Sriwijaya pada sekitar abad ke-7, menyusul Majapahit pada
sekitar abad ke-14. Tidak mustahil Indonesia akan berjaya kembali pada abad
ke-21 ini.
Visi
Indonesia 2030, misalnya, merumuskan ”cita-cita, imajinasi, dan mimpi menjadi
bangsa yang kuat, lebih dari sekadar meneruskan keadaan seperti saat ini”.
Meskipun baru ”mimpi”, Visi Indonesia 2030 itu diklaim telah dibangun dengan
optimisme yang rasional, dan dengan cara memandang masa depan yang lebih
baik. Intinya, Visi Indonesia 2030 ingin membangun ”Negara Maju yang Unggul
dalam Pengelolaan Kekayaan Alam”.
Pengelolaan
kekayaan alam memang menjadi masalah besar bangsa kita selama ini. Kebijakan
kuno di Bali memandang alam sebagai cerminan wajah Tuhan. Dalam filosofi Tri
Hita Karana, dikaitkan hubungan harmonis antara manusia dan manusia, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Itulah penyebab timbulnya kebahagiaan.
Ketika
alam dieksploitasi hanya sebagai obyek, pada saat yang sama manusia telah
merendahkan derajatnya sendiri, serta mengingkari kekuasaan Tuhan.
Ketidakseimbangan yang terjadi pada akhirnya akan memusnahkan manusia
sendiri.
Tentulah
berkali-kali kita sebagai bangsa pernah tersandung, jatuh, dan sakit sejak
kemerdekaan sampai sekarang. Namun, kita selalu bangkit. Oleh karena itu,
sebagai bangsa yang dikisahkan pernah menjadi pusat peradaban dunia, sudah
seharusnya pula kita bisa menghargai para pemimpin kita, mulai Bung Karno,
Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang
ini. Apa pun kelebihan dan kekurangan mereka, mereka tetap merupakan pemimpin
bangsa yang pernah kita miliki. Tan
hana wwang hayu sinulus, tidak ada manusia yang sempurna.
Justru
dengan kesadaran tidak ada manusia yang sempurna itulah pula pemilu
legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 ini menjadi semakin penting. Lebih
dari tahun-tahun sebelumnya, tahun 2015 ke depan akan menjadi tahun-tahun
dengan tantangan semakin berat bagi bangsa-bangsa di dunia.
Dunia
yang kini telah dipersatukan oleh teknologi informasi akan lebih tertantang
lagi dengan robohnya batas-batas perdagangan, industri, dan jasa manusia.
Bukan hanya bangsa, pribadi-pribadi pun kini dituntut semakin cerdas,
terampil, berkarakter, dan berdaya saing tinggi.
Pemimpin
seperti apa yang bisa tegak berdiri di depan bangsa menghadapi tantangan
seperti itu? Tidak mudah menjawabnya. Diperlukan kecerdasan intelektual,
kepekaan sosial, bahkan keheningan spiritual untuk memutuskan
pilihan-pilihan. Jangan sampai hasil pemilu nanti justru menjadi titik balik
kemajuan bangsa, meminjam istilah Presiden Boston Institute for Developing Economics Gustav F Papanek dalam
paparannya di kantor Redaksi Kompas, Rabu (12/3).
Hari
raya Nyepi mungkin bisa jadi salah satu momentum untuk merenunginya. Namun,
dalam wacana pesan-pesan politik yang semakin riuh, kita pun perlu lebih
sering lagi tenggelam dalam ”nyepi-nyepi”
yang lain agar selalu mendapat bimbingan Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar