Revolusi
Putih dan Gizi Bangsa
Ali Khomsan ; Guru Besar
dan Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi Manusia IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Maret 2014
GIZI berperan penting untuk
mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh sebab itu, politikus
hendaknya juga melek terhadap persoalan-persoalan gizi yang dihadapi segenap
anak bangsa.
Coba kita tengok data indeks
pembangunan manusia (IPM). Indonesia harus puas berada di bawah Filipina, Sri
Lanka, dan Thailand. Kita hanya menang sedikit dan berada satu-dua tingkat di
atas Vietnam. Tentu saja untuk mengejar IPM Malaysia atau Singapura masih
jauh panggang dari api. Ketika usia harapan hidup manusia Indonesia baru
sedikit di atas 70 tahun, Malaysia sudah hampir 75 tahun dan Singapura 80
tahun.
Bila batasan masalah kesehatan
dicerminkan oleh prevalensi penderita gizi kurang sebesar 10%, hampir seluruh
provinsi di Indonesia tidak terbebas dari masalah tersebut. Wilayah Indonesia
Timur ialah yang paling berat menghadapi persoalan gizi. Diketahui bahwa
kematian balita terkait erat dengan masalah gizi. Kontribusi kurang gizi
terhadap kematian balita ialah 54%. Selain itu, penyakit diare dan infeksi
saluran pernapasan juga menyumbang terjadinya kematian balita, tetapi tidak
setinggi kurang gizi.
Sungguh tepat kiranya jika para
politikus yang kini sedang berlomba untuk menjadi wakil rakyat mengungkit
fenomena kegagalan pembangunan gizi di Tanah Air. Hasil Riset Kesehatan Dasar
2013 mengungkap potret buram dunia pergizian di negeri ini.
Keberhasilan
pertumbuhan ekonomi ternyata tidak berbanding lurus dengan perbaikan gizi
masyarakat. Prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 5,7% dari 4,9% di 2010. Adapun
prevalensi gizi kurang naik dari 13% pada 2010 menjadi 13,9% di 2013. Anak
stunting (bertubuh pendek) juga meningkat menjadi 37,2%, padahal pada 2010
`hanya' 35,6%.
Hilangnya identitas gizi dalam
pembangunan harus dicegah, yakni dengan menjadikan gizi sebagai isu politik.
Investasi di bidang gizi adalah investasi berdurasi panjang. Karena itu,
dampaknya mungkin h baru akan muncul setelah beberapa p dekade. Kalau semua
pihak sudah u, menyadari hal ini dan mereka tidak n hanya berpikir jangka
pendek untuk rkepentingan sesaat, kepentingan sesaat, bangsa kita akan mampu
mengatasi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Gizi perlu menjadi
indikator keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program
penanggulangan kemiskinan.
Pola pangan bangsa kita yang
lebih banyak mengandalkan nasi sebagai sumber karbohidrat dan protein su dah
harus dikoreksi. Dengan menye jahterakan rakyat, membuka peluang kerja,
mengatasi pengangguran, dan memperbaiki upah buruh, barulah kita dapat
`menyuruh' masyarakat untuk berdiversifikasi dalam kon sumsi pangan. Tidak
perlu lagi ada lomba tumpeng nonberas di acara peringatan HUT kemerdekaan ka
rena diversifikasi konsumsi ke arah nonberas akan terwujud bila hidup
masyarakat semakin makmur.
Pangan-pangan tertentu yang
selama ini nyaris tidak terjangkau daya beli masyarakat, seperti susu dan
daging, niscaya akan bisa diakses oleh rakyat manakala mereka terbebas dari
kungkungan kemiskinan. Berpuluh-puluh tahun kita mengenal empat sehat lima
sempurna, tetapi ironisnya bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang sangat
sedikit minum susu.
Tren peningkatan konsumsi susu
di Indonesia berlangsung sangat lambat. Pada 1970 bangsa kita hanya mengonsumsi
susu 1,82 kg/kapita/tahun dan pada 2000 meningkat men jadi 6,50 kg. Jadi,
selama 30 tahun hanya terjadi peningkatan 4,68 kg. Saat ini konsumsi susu
orang Indonesia hanya sekitar 7-8 liter per tahun. Kalau kita ingin mengejar
konsumsi susu seperti orang Amerika (100 liter/kapita/ tahun), mungkin kita
harus menunggu sampai 600 tahun. Revolusi putih untuk menggalakkan minum susu
harus dicanangkan.
Budaya minum susu secara tidak
langsung diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Namun, pada saat itu kita
sebagai inlander yang hanya melihat dan mungkin meneteskan air liur di saat
bangsa penjajah menikmati susu. Sementara bangsa Indonesia harus berjuang keras
untuk merebut kemerdekaan sehingga makan pun seadanya. Minum susu sekadar
mimpi di zaman itu.
Tertanam di benak kita bahwa
kalau ingin mempunyai postur tinggi besar seperti orang Belanda dan ingin
berkuasa seperti bangsa penjajah, minumlah susu. Pada awal 1950-an Prof
Poorwo Sudarmo (Bapak Gizi Indonesia) mencetuskan empat sehat lima sempurna
dengan menempatkan susu pada urutan terakhir. Karena ada kata `sempurna',
seolah-olah susu adalah penyempurna makanan kita seharihari.
Padahal,
barangkali saja susu diletakkan di urutan terakhir karena bangsa kita belum
begitu mengenal susu dan juga susu masih merupakan barang langka yang
harganya mahal.
Budaya minum susu yang masih
sangat rendah bisa dipahami dari beberapa segi, antara lain susu masih
dianggap barang luks. Saat ini harga 1 liter susu setara dengan harga 2 kg
beras. Dapat dimaklumi kalau mayoritas masyarakat Indonesia lebih
mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat daripada sumber
protein/mineral. Yang penting perut seluruh anggota keluarga bisa kenyang,
sementara gizi urusan belakangan.
Dengan menaruh harapan besar
bahwa Pemilu 2014 akan menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas, seyogianya
nasib rakyat juga harus membaik. Bangsa ini tidak fobia minum susu, hanya
belum ada kesempatan. Rakyat Indonesia sekarang sedang menunggu terjadinya
perubahan nasib sehingga berkemampuan ekonomi setara dengan bangsa-bangsa
tetangga yang sudah berlari meninggalkan kita.
`You are
what you eat', demikian kata pepatah. Bangsa ini akan terus
berkubang dengan persoalan gizi manakala kosumsi pangannya tidak membaik.
Kualitas asupan gizi antara lain ditentukan oleh seberapa banyak pangan
hewani (termasuk susu) yang dikonsumsinya. Semakin tinggi kontribusi pangan
hewani dalam asupan gizi masyarakat, suatu bangsa akan dikatakan semakin
sejahtera. Pangan hewani adalah komoditas elastis yang sangat peka dengan
kemampuan daya beli rakyat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar