Air
dan Krisis Lingkungan
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika
Santo Thomas Sumut, Direktur Center for National Food Security Research
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Maret 2014
HARI Air Sedunia (World Water Day), yang diperingati setiap
22 Maret, pada tahun ini mengambil tema water
and energy (air dan energi). Tema itu dipilih dengan mempertimbangkan
keterkaitan yang erat antara air dan energi. Di masa datang, ketersediaan
energi dengan harga terjangkau dan harga air tawar yang makin mahal akan
menjadi masalah pelik bagi setiap negara.
Meski air kebutuhan dasar
manusia, peringatan Hari Air Sedunia belum mendapat perhatian luas dari
masyarakat. Di tengah kehidupan yang kian boros energi karena tersedianya
berbagai fasilitas yang memanjakan kehidupan, setiap anggota masyarakat
diharapkan mau melaksanakan berbagai kegiatan gerakan hemat air dalam
kehidupan sehari-hari.
Gerakan hemat air semakin
penting ketika krisis lingkungan yang kian masif belakangan ini dapat
menetaskan defisit air tawar di tengah penduduk dunia yang jumlahnya terus
meningkat. Dalam 10 tahun terakhir meningkat menjadi 7 miliar, dan akan
mendekati angka 9 miliar dalam kurun waktu 30 tahun yang akan datang. Defisit
air tawar menjadi ancaman baru. Kebutuhan sekarang dan masa datang akan lebih
sulit karena masyarakat membutuhkan pangan yang jumlahnya dua kali produksi
pangan saat ini, yang berarti meningkatkan kebutuhan air. Itu menunjukkan
kebutuhan air bagi umat manusia sangatlah penting karena air ialah sumber
kehidupan.
Defisit
Kebutuhan air yang makin
meningkat setiap tahun di tengah krisis lingkungan yang kian masif patut
mendapat perhatian dari pemerintah. Di mata masyarakat dunia, Indonesia
dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya air yang cukup besar.
Namun,
mereka juga mencatat bahwa bencana kebakaran hutan yang terjadi di Riau dan
di sejumlah daerah baru-baru ini telah menetaskan defisit air tawar. Fenomena
krisis lingkungan yang makin buruk ini akan memicu kelangkaan pangan di
negeri yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Tanpa
pengelolaan serius, di masa datang air akan menjadi sumber konflik di tengah
warga. Para ahli konservasi air mengestimasi dua dari tiga penduduk akan
semakin sulit mengakses bersih tawar pada 2025.
Air merupakan kebutuhan vital
manusia. Namun, krisis lingkungan yang kian masif mengakibatkan pemenuhan
kebutuhan air tawar bagi penduduk dunia menghadapi masalah pelik. Sekitar 1,8
miliar penduduk dunia mengonsumsi air tidak bersih setiap hari dan 1,3 miliar
penduduk dunia belum memiliki fasilitas sanitasi. Dampaknya dari sekitar 50
ribu orang meninggal setiap hari di dunia, sedikitnya 16 ribu orang di
antaranya meninggal akibat mengonsumsi air yang kurang bersih.
Lalu, bagaimana pemenuh an air
bersih di Indonesia? Sudahkah seluruh masyarakat dapat mengakses air bersih
secara merata baik kuantitas maupun kualitas untuk kebutuhan sehari-hari? Apa
upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah krisis air? Apakah sudah
terjalin kerja sama yang baik dengan masyarakat luas untuk mengatasi
pencemaran air di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan?
Kerja sama kian penting
mengingat harga air semakin mahal. Ilmu ekonomi zaman dulu mengajarkan air
ialah barang gratis. Kini terbukti air lebih mahal daripada bensin. Dahulu,
untuk minum dan kebutuhan rumah tangga cukup mengambil air dari sumur. Namun,
seiring dengan kualitas air sumur yang kian diragukan kelayakannya karena
tercemar, masyarakat harus membuka dompet untuk membeli air kemasan yang
diproses dari air pegunungan demi menjaga kesehatan.
Sudah menjadi rahasia umum warga
Jakarta dan kota besar lainnya seperti Medan dan Surabaya terus menyedot air
tanah secara berlebihan menyusul pembangunan permukiman baru yang bertumbuh
secara signifikan. Penggunaan air tanah dengan cara menyedot secara
berlebihan dapat mengakibatkan intrusi air laut di berbagai kota pantai. Air
di sumur-sumur penduduk berubah menjadi asin alias payau. Penyedotan air
tanah secara berlebihan akan membentuk rongga-rongga di dalam tanah dan
banjir besar akan selalu mengintai karena terjadi penurunan permukaan tanah.
Di Jakarta belahan utara,
menurut data terkini, tanahnya sudah turun secara bermakna dalam jangka waktu
30 tahun belakangan. Intrusi air laut sudah mencapai daerah Monas. Jika
eksploitasi air tanah ini dilanjutkan secara terus-menerus tanpa pengendalian,
penurunan tanah akan mencapai 4 meter pada 2030. Dalam kondisi demikian, bisa
dipastikan akan sangat sulit mengatasi bahaya banjir yang kerap terjadi
belakangan ini. Bahkan tidak mustahil kawasan Jakarta Utara akan menjadi
waduk raksasa.
Gerakan hemat air
Mengatasi defisit air tawar
patut dilakukan melalui gerakan hemat air dan dikampanyekan secara
terus-menerus. Kesadaran masyarakat akan terbangun untuk memahami bahwa
sumber daya air itu harus dijaga kelestariannya demi kelangsungan hidup
bangsa. Hal itu akan menetaskan paradigma baru, yakni memberi pemahaman bahwa
fungsi air tidak sekadar untuk mandi, cuci, dan kebutuhan minum, tetapi juga
berfungsi untuk membilas kota.
Kota Jakarta, yang saat ini
berpenguhuni sekitar 12 juta jiwa, setiap hari menghasilkan sekitar 3.000 ton
tinja. Jumlah limbah yang luar biasa itu dikhawatirkan dapat menjadi `bom
waktu' yang mencemari seluruh air tanah dangkal oleh bakteri koli yang hidup
dalam tinja manusia. Untuk itu, dibutuhkan air yang cukup untuk membilas Kota
Jakarta dari cemaran dan ancaman penyakit akibat bakteri koli.
Kecukupan air bersih sebagai hak
asasi manusia masih terjadi kesenjangan. Masyarakat miskin yang tidak mampu
berlangganan air minum harus membayar lebih mahal dari tukang pikul jika
dibandingkan dengan tarif air minum yang dibayar warga yang mendapatkan
pelayanan air bersih dari PAM. Sekadar menyebut contoh, masyarakat miskin di
Jakarta Utara harus membeli air bersih yang harganya lebih mahal daripada
yang dinikmati masyarakat mampu di Menteng dan Kebayoran Baru.
Data menunjukkan warga Medan
yang bisa menikmati air PAM baru mencapai 40%. Warga lainnya mendapatkan air
bersih dari air tanah yang kualitasnya sudah mulai menurun. Untuk kebutuhan
mandi dan cuci, sebagian warga menggunakan air dari Sungai Deli dan Babura
yang warnanya kerap berubah menjadi cokelat karena tercemar baik secara kimia
maupun biologis.
Mengingat kian masifnya krisis
lingkungan belakangan ini dan sudah berdampak buruk pada defisit air tawar
untuk kehidupan, saatnya kita belajar menghargai setiap tetes air. Jika
setiap orang, misalnya di Jakarta, dapat menghemat 1 liter air setiap hari,
berarti ada 12 juta liter air yang bisa diselamatkan. Nah, mulai sekarang
mari berhemat air guna mencegah konflik baru memperebutkan sumber kehidupan
yang satu ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar