Patutkah
Pengambil Kebijakan Dipidana?
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Maret 2014
“Pengambil
kebijakan pun terikat oleh koridor peraturan perundang-undangan dan etika.”
DALAM sidang perdana mantan
Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta, disebut sejumlah nama anggota Dewan Gubernur BI saat
memberi fasilitas pendanaan jangka pendek Bank Century. Ada nama Boediono
yang saat ini menjabat wakil presiden. Sementara dalam penetapan Bank Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik muncul nama Muliaman D Hadad yang saat
ini menjabat Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menjadi pertanyaan apakah
pengambil kebijakan untuk menyelamatkan Bank Century dapat dipidana karena
penyelamatan tersebut menggunakan uang asal negara (keuangan negara)? Apakah
pengambil kebijakan harus mempertanggungjawabkan keputusannya bila di persidangan
ternyata permasalahan yang membelit Bank Century tidak berdampak sistemik
pada bank-bank di Indonesia?
Kebijakan
Inti kebijakan ialah keputusan. Dalam
tulisan ini istilah kebijakan akan disamakan dengan keputusan meski secara
teoretis keduanya bisa dibedakan. Keputusan diambil karena ada sejumlah
pilihan. Dalam pilihan tersebut, termasuk pula tidak mengambil keputusan.
Pengambilan keputusan tidak hanya ada di ranah publik.
Dalam ranah swasta pun
keputusan juga dikenal. Dalam mengambil keputusan atau kebijakan ada dasar
hukum dan norma-norma yang harus diperhatikan.
Dalam ranah publik pengambil
kebijakan wajib memperhatikan dasar kewenangan pengambil kebijakan. Pengambil
kebijakan pun terikat oleh koridor peraturan perundang-undangan dan etika.
Kebijakan atau keputusan setelah
diambil dapat dievaluasi. Kebijakan bisa dianggap benar jika membuahkan hal
yang positif. Sebaliknya kebijakan dianggap salah jika membuahkan hasil yang
tidak diharapkan dan cenderung merugikan. Bagi pengambil kebijakan yang tepat
akan mendapat penghargaan dan promosi. Tidak demikian tentunya bila pengambil
kebijakan dianggap telah salah mengambil kebijakan. Satu hal yang pasti, para
pengambil kebijakan bukanlah peramal yang dapat menerawang ke depan.
Kebijakan benar atau salah hanya dapat diketahui pascapengambilan kebijakan (post factum). Kebijakan salah tidak
sepatutnya diberi sanksi pidana. Bila ini yang terjadi, para pengambil
kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil keputusan kecuali kebijakan
yang diambil benar-benar dapat dipastikan tidak salah.
Perilaku koruptif
Memang ada pengecualian sebuah
kebijakan dapat diberikan sanksi pidana kepada para pengambilnya. Pertama,
kebijakan pejabat yang bernuansa kejahatan internasional, seperti kejahatan
kemanusiaan dan genosida. Kedua, pengambilan kebijakan yang secara tegas
dianggap sebagai suatu kejahatan dalam undang-undang (UU). Sebagai contoh
dalam Pasal 165 UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) disebutkan
seorang yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin dapat dipidana bila izin
yang dikeluarkan berten tangan dengan UU Minerba.
Ketiga, pengambil kebijakan
dapat dipidana bila dalam proses pengam bilan kebijakan terdapat perilaku
koruptif. Hal yang terakhir ini yang patut dicermati oleh aparat penegak
hukum. Pengambil kebijakan tentu tidak boleh kebal dari sanksi pidana bila
dalam proses pengambilan ke bijakan terdapat perilaku koruptif. Perilaku
koruptif yang dimaksud di sini ialah perilaku yang dapat mem beri keuntungan
bagi pribadinya sendiri, orang lain, atau korporasi dari pengambilan
kebijakan.
Dalam melakukan proses hukum
pidana terhadap seseorang yang menduduki jabatan tertentu yang terindikasi
melakukan perbuatan koruptif, aparat penegak hukum harus membuktikan niat
jahat dan perbuatan jahat dari orang tersebut. Bila memang ada niat dan
perbuat an jahat, hukum dan sanksi pidana harus ditegakkan. Akan tetapi, bila
kebijakan yang diambil ternyata salah, bahkan bila dapat dibuktikan telah
merugikan keuangan negara tapi tidak ada perilaku koruptif, tidak sepatutnya
diproses dan dihukum secara pidana.
Oleh karena itu, aparat penegak
hukum dalam menegakkan UU Tipikor tidak seharusnya berfokus pada ada tidaknya
kerugian negara. Adapun yang menjadi fokus ialah perilaku koruptif dari
seseorang yang memiliki kewenangan. Mengapa?
Pertama, bila fokus ada pada
kerugian negara, para pejabat di per usahaan swasta akan terbebas dari
dakwaan UU Tipikor. Padahal perilaku koruptif bisa terjadi juga di sektor
swasta. Kedua, kerugian negara bisa terjadi tidak semata karena perilaku
koruptif. Kerugian negara bisa timbul karena masa lah perdata, seperti
wanprestasi, atau kebijakan administrasi negara.
Kolektif kolegial
Apakah suatu kebijakan yang
diambil secara kolektif kolegial, dengan salah satu
pejabatnya terindikasi
melakukan perilaku koruptif, dapat ditimpakan pertanggungjawaban pidananya
kepada pejabat lainnya? Dalam ilmu hukum, pertanggungjawaban tergantung dalam
ranah hukum apa perbuatan dilakukan. Dalam hukum perdata di kenal tanggung
jawab renteng atau kolektif kolegial bila keputusan diambil dalam suatu unit
yang terdiri dari sejumlah orang. Para anggota direksi bertanggung jawab
secara tanggung renteng atas keputusan yang diambil.
Sedangkan hukum pidana
tidak mengenal tanggung jawab kolektif kolegial karena kejahatan dibebankan
pada individu yang melakukan kejahatan.
Memang dalam hukum pidana ada
ketentuan tentang pihak lain yang turut dalam suatu kejahatan yang dilakukan
oleh seseorang. Ini yang di sebut sebagai `pernyertaan'. Konsep penyertaan
ini yang mungkin dipersepsikan sebagai tindakan kolektif kolegial. Sebuah
persepsi yang salah secara mendasar. Dalam konsep penyertaan, pihak-pihak
yang turut serta dalam suatu tindak pidana harus dicari pertanggungjawaban masing-masing
yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.
Pada akhirnya semua berpulang
pada proses hukum yang didasarkan pada bukti, bila orang yang menduduki
jabatan hendak dipidana, bukan sekadar asumsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar