Nuklir,
Solusi Krisis Listrik
Prima Mulyasari Agustini ; Executive
Director of Center for Energy
and Strategic Resources Indonesia (Cesri)
|
TEMPO.CO,
29 Maret 2014
Penggunaan
nuklir dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional ditempatkan pada nomor bontot dalam kebjiakan energi nasional
yang disahkan DPR. Padahal, jika mencermati krisis kelistrikan di Indonesia,
tampaknya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) merupakan aspek
penting yang perlu menjadi prioritas. Hampir setiap hari, berbagai wilayah di
Indonesia secara bergiliran mengalami pemadaman listrik. Listrik ada, tapi
pasokan energinya tidak kontinu. Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan energi
listrik semakin hari kian meningkat.
Untuk
memenuhi kebutuhan listrik, diperlukan pasokan energi listrik yang stabil
dalam jangka panjang, bukan pasokan yang byar-pet.
Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik mencapai hampir 40 ribu MW.
Untuk menopang pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, dibutuhkan peningkatan
kapasitas tambahan listrik setiap tahun sekitar 10-11 persen dengan
elastisitas sekitar 1,3 persen. Itu artinya, setiap tahun dibutuhkan tambahan
kapasitas listrik sebesar 4.000 MW. Selama lima tahun ke depan, diperlukan
tambahan daya sebesar 20 ribu MW. Kebutuhan yang sangat besar dan mendesak
untuk menyediakan pasokan energi listrik dengan kontinuitas yang terjaga.
Saat
ini, di Indonesia terdapat tiga reaktor nuklir jenis penelitian, yaitu
reaktor Kartini yang berada di Yogyakarta, berdaya 100 KWth; reaktor Bandung
yang berdaya 2 MWth, terletak di Bandung; dan reaktor G. A Siwabessy yang
berdaya 30 MWth, terletak di Serpong. Tenaga nuklir belum dimanfaatkan
sebagai pembangkit listrik. Saat ini, baru dimulai pembuatan prototipe PLTN
yang berkapasitas 30 MW.
Pemanfaatan
tenaga nuklir saat ini meliputi produksi radiisotop yang hasilnya telah
diekspor ke beberapa negara, fasilitasi fabrikasi elemen nuklir, fasilitasi
pengolahan limbah radioaktif, fasilitasi penyimpanan bahan bakar bekas,
penyediaan reaktor nuklir untuk penelitian, serta penggunaan zat radioaktif
untuk kesehatan dan industri.
Pemanfaatan
tenaga nuklir diawasi oleh institusi pemerintah yang bersifat independen,
yaitu Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Selain itu, Indonesia menjadi
anggota International Atomic Energy Agency (IAEA), yaitu
suatu institusi insternasional yang salah satunya bertugas mengawasi
pemanfaatan tenaga nuklir di dunia.
Selama
ini, kebutuhan akan energi listrik di Indonesia dipenuhi dengan menggunakan
bahan bakar tak terbarukan, seperti minyak bumi, batu bara , panas bumi, gas
alam, dan tenaga air. Ketersediaan sumber daya fosil yang terbatas ini
memerlukan pemikiran akan ketersediaan energi listrik dengan pasokan yang
terjaga pada masa yang akan datang dan dapat disediakan dalam waktu cepat.
Dengan
adanya krisis listrik, Indonesia perlu
segera membangun PLTN. Nuklir bukanlah pilihan terakhir untuk mengatasi
krisis listrik, melainkan justru harus menjadi prioritas utama. Jika 10 tahun
yang akan datang kebutuhan dalam negeri listrik Indonesia perlu tambahan
sekitar 40 ribu MW, atau dua kali lipat kebutuhan saat ini, pembangunan tiga
pembangkit tenaga nuklir dengan kapasitas seperti Swabessy dapat mengatasi
krisis. Jika pembangunan PLTN dimulai dari sekarang, dengan asumsi akan
selesai 10 tahun yang akan datang, PLN akan dapat memenuhi kebutuhan pasokan
listrik.
Negara-negara
maju pada umumnya membangun PLTN untuk memasok energi listrik di negaranya.
Sebut saja Amerika, yang memiliki 100 PLTN. Belum lagi Prancis, yang 8-
persen pasokan energi listriknya berasal dari PLTN. Jumlah PLTN di seluruh
dunia mencapai 441 buah, beberapa di antaranya ada di sekitar Indonesia,
seperti di Jepang, Singapura, Malaysia, dan Vietnam, serta Australia.
Begitu
banyak alasan mengapa Indonesia harus memprioritaskan pembangunan PLTN.
Dengan PLTN, negara bisa mengurangi subsidi listrik. Harga listrik per KWH
bisa dipatok lebih rendah, sehingga meringankan masyarakat secara finansial
serta menghasilkan bisnis-bisnis baru dalam bidang kelistrikan, misalnya
ekspor listrik untuk negara tetangga. Selain itu, Indonesia tidak dilecehkan
oleh bangsa-bangsa lain. Sebab, salah satu indikator kemajuan negara adalah
kepemilikan pembangkit tenaga nuklir.
Secara
geografis, Indonesia sudah dikelilingi PLTN. Kecemasan terhadap limbah
radioaktif dan ketakutan akan adanya kebocoran pembangkit tidaklah beralasan.
Kejadian ini sangat kecil kemungkinannya karena reaktor pada era sekarang
didesain sedemikian rupa sehingga berdampak kecil pada masyarakat. Apalagi,
pengelolaan limbah radio aktif sepenuhnya dilakukan oleh negara dan tidak
bisa dijalankan oleh perusahaan swasta.
Menilik
krisis listrik yang ada di Indonesia dan kebutuhan energi listrik yang sangat
besar pada masa yang akan datang, pembangunan PLTN sangatlah mendesak.
Pemanfaatan tenaga nuklir yang relatif ramah lingkungan perlu direalisasi
sesegera mungkin. Indonesia sudah terlalu lama menunggu kehadiran pembangkit
ini. Lebih dari 50 tahun menjadi polemik, kini saatnya hal ini dieksekusi
pemerintah agar Indonesia bisa segera keluar dari krisis energi, terutama
krisis listrik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar