Memperjuangkan
Buruh Migran
Yulianti Muthmainnah ; Mahasiswa
Paramadina Graduate School of Diplomacy, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
|
REPUBLIKA,
28 Maret 2014
Pemerintah tidak memiliki data
yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran. Minimnya political
will dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pembelaan merupakan
salah satu faktor determinan yang membuat buruh migran Indonesia belum bisa
bekerja dengan aman. Indonesia belum memiliki sistem yang baik yang dapat
memproteksi, menjamin keselamatan dan kehormatan buruh migran di negara
tempatnya bekerja. Akibatnya, buruh migran Indonesia rentan mendapatkan
pelbagai bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik dan psikis,
pembunuhan, serta perlakuan tak manusiawi lainnya.
Meskipun pada 2011 Presiden SBY
mengikrarkan untuk menempatkan agenda perlindungan terhadap tenaga kerja
Indonesia di luar negeri sebagai prioritas utama kebijakan luar negerinya,
aplikasinya masih jauh dari kenyataan. Faktanya, dari waktu ke waktu kondisi
buruh migran bukannya semakin cerah, namun semakin kelam. Hukuman mati juga
seolah tak pernah berhenti membayangi mereka.
Kali ini ada Satinah. Jika tak
ada upaya penyelesaian yang konkret, seperti melalui diplomasi yang
signifikan, Satinah akan dihukum pancung tanggal 12 April mendatang karena
dituduh membunuh majikannya. Naifnya lagi, Satinah tidak sendirian. Selain
dia, ada puluhan buruh migran Indonesia tersebar di berbagai negara yang saat
ini juga tengah menghadapi sejumlah ancaman hukuman pidana, termasuk pidana
mati.
Migrant Care menyebut ada 26
buruh migran, sedangkan Kemenlu RI menyebut ada 22 buruh migran yang tahun
ini menghadapi pidana mati. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki
data yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran.
Tidak serius
Setelah mendapatkan tekanan luas
dari publik, Presiden SBY akhirnya baru tergerak menggelar rapat dengan para
menterinya dan berkirim surat kepada Raja Arab Saudi. Namun, dalam pandangan
penulis, upaya tersebut justru menegaskan ketidakseriusan pemerintah.
Sebab, sering kali rapat hanya
sebatas rapat dan tak memiliki implikasi nyata di lapangan. Hal tersebut juga
menggambarkan betapa kemauan untuk melindungi buruh migran masih terfokus
pada kasus perorangan. Pemerintah belum mau memikirkan dan membangun sebuah
sistem perlindungan komprehensif yang secara preventif bisa diandalkan
menjaga rasa aman buruh migran.
Di kawasan Timur Tengah yang
merupakan destinasi utama, Indonesia sebenarnya mempunyai keuntungan untuk
menempuh jalur dilplomasi antarsesama anggota Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI). Selain itu, organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan
NU, juga mempunyai hubungan yang dekat, baik dengan tokoh ulama, tokoh
organisasi, dan Pemerintah Arab Saudi.
Hubungan semacam itu semestinya
bisa dimanfaatkan secara maksimal sehingga kasus demi kasus penzaliman
terhadap buruh migran tidak terus berulang. Indonesia, misalnya bisa menagih
sistem pengadilan yang adil bagi buruh migran dan pengurangan denda sehingga
tak melebihi batas kewajaran. Sayangnya, usaha itu belum sepenuhnya dilakukan
pemerintah saat ini.
Di sisi yang lain, presiden dan
elite negeri ini mungkin kurang peduli dan simpati karena sedang masa
kampanye.
Sehingga, yang lebih
diprioritaskan, yakni urusan politik kepartaian daripada melunasi tanggung
jawabnya. Presiden justru lebih mengutamakan bersafari, berkampanye dengan
menyanyi untuk mempertahankan kursi dan kekuasaan partai. Itu pula yang
dilakukan oleh jajaran menterinya, tak terkecuali menteri yang seharusnya
bertanggung jawab secara langsung untuk mengurus kesejahteraan buruh migran.
Cermin kegagalan Jika
direfleksikan secara mendalam, di balik fenomena buruh migran, sesungguhnya
mencerminkan kegagalan pemerintah secara nasional dalam upaya menghidupkan
ekonomi dan menyejahterakan warga negara. Sumber daya alam yang seharusnya
digunakan untuk kemakmuran rakyat dibiarkan dikuasai asing.
Lapangan kerja
yang tersedia sangat terbatas dan kebanyakan tidak dapat diakses oleh rakyat
miskin tidak berpendidikan. Pertumbuhan ekonomi begitu rendah, sedangkan pada
saat yang sama populasi penduduk terus bertambah.
Aldo Matteucci (2007) mengatakan
ada empat alasan yang mendorong orang untuk bermigrasi secara internasional. Yaitu,
wealth (kemakmuran), weather (cuaca), water (air), dan warfare
(perang/konflik). Terdorong untuk mencari kemakmuran, kesejahteraan (wealth) itulah maka sangat masuk akal
bila kemudian banyak perempuan miskin di desa-desa yang bermigrasi mencari
kehidupan lebih baik di luar negeri. Ya, menjadi buruh migran untuk membiayai
diri dan keluarganya karena kondisi dalam negeri tak mendukung harapan itu.
Dalam perspektif teori
neoklasik, pilihan tersebut sangat realistik. Dengan bekal pendidikan dan
pengetahuan yang minim, mereka harus mencari uang. Pekerjaan di sektor domestik
sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerjaan kasar lainnya terbuka lebar
meskipun memiliki risiko besar.
Diperkirakan, setidaknya
terdapat 6,5 juta tenaga kerja kita yang berkerja di luar negeri. Dari
cucuran keringat dan tetesan air mata buruh migran tersebut, sejumlah pakar
menghitung bahwa negara memperoleh keutungan devisa sebanyak Rp 80 triliun
per tahun. Meski demikian, dari waktu ke waktu, komitmen politik dan jaminan
perlindungan negara terhadap buruh migran jauh dari memadai dan bahkan
cenderung diabaikan. Pemerintah sangat pelit dalam memberikan bantuan dan
pertolongan saat mereka sedang membutuhkan.
Padahal, memperjuangkan dan membela
buruh migran juga berarti membela dan mempertahankan kehormatan serta harga
diri bangsa Indonesia. Keberadaan mereka di luar negeri tak bisa tidak mempresentasikan
dan mewakili citra Indonesia di negara tersebut. Jika harga diri buruh migran
dilecehkan dan nyawa mereka begitu tak berharga, sesungguhnya martabat dan
harga diri bangsa demikian terinjak-injak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar