Senin, 31 Maret 2014

Memperjuangkan Buruh Migran

Memperjuangkan Buruh Migran

Yulianti Muthmainnah  ;   Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
REPUBLIKA, 28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemerintah tidak memiliki data yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran. Minimnya political will dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pembelaan merupakan salah satu faktor determinan yang membuat buruh migran Indonesia belum bisa bekerja dengan aman. Indonesia belum memiliki sistem yang baik yang dapat memproteksi, menjamin keselamatan dan kehormatan buruh migran di negara tempatnya bekerja. Akibatnya, buruh migran Indonesia rentan mendapatkan pelbagai bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik dan psikis, pembunuhan, serta perlakuan tak manusiawi lainnya.

Meskipun pada 2011 Presiden SBY mengikrarkan untuk menempatkan agenda perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai prioritas utama kebijakan luar negerinya, aplikasinya masih jauh dari kenyataan. Faktanya, dari waktu ke waktu kondisi buruh migran bukannya semakin cerah, namun semakin kelam. Hukuman mati juga seolah tak pernah berhenti membayangi mereka.

Kali ini ada Satinah. Jika tak ada upaya penyelesaian yang konkret, seperti melalui diplomasi yang signifikan, Satinah akan dihukum pancung tanggal 12 April mendatang karena dituduh membunuh majikannya. Naifnya lagi, Satinah tidak sendirian. Selain dia, ada puluhan buruh migran Indonesia tersebar di berbagai negara yang saat ini juga tengah menghadapi sejumlah ancaman hukuman pidana, termasuk pidana mati.

Migrant Care menyebut ada 26 buruh migran, sedangkan Kemenlu RI menyebut ada 22 buruh migran yang tahun ini menghadapi pidana mati. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki data yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran.

Tidak serius

Setelah mendapatkan tekanan luas dari publik, Presiden SBY akhirnya baru tergerak menggelar rapat dengan para menterinya dan berkirim surat kepada Raja Arab Saudi. Namun, dalam pandangan penulis, upaya tersebut justru menegaskan ketidakseriusan pemerintah.

Sebab, sering kali rapat hanya sebatas rapat dan tak memiliki implikasi nyata di lapangan. Hal tersebut juga menggambarkan betapa kemauan untuk melindungi buruh migran masih terfokus pada kasus perorangan. Pemerintah belum mau memikirkan dan membangun sebuah sistem perlindungan komprehensif yang secara preventif bisa diandalkan menjaga rasa aman buruh migran.

Di kawasan Timur Tengah yang merupakan destinasi utama, Indonesia sebenarnya mempunyai keuntungan untuk menempuh jalur dilplomasi antarsesama anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Selain itu, organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan NU, juga mempunyai hubungan yang dekat, baik dengan tokoh ulama, tokoh organisasi, dan Pemerintah Arab Saudi.

Hubungan semacam itu semestinya bisa dimanfaatkan secara maksimal sehingga kasus demi kasus penzaliman terhadap buruh migran tidak terus berulang. Indonesia, misalnya bisa menagih sistem pengadilan yang adil bagi buruh migran dan pengurangan denda sehingga tak melebihi batas kewajaran. Sayangnya, usaha itu belum sepenuhnya dilakukan pemerintah saat ini.

Di sisi yang lain, presiden dan elite negeri ini mungkin kurang peduli dan simpati karena sedang masa kampanye.

Sehingga, yang lebih diprioritaskan, yakni urusan politik kepartaian daripada melunasi tanggung jawabnya. Presiden justru lebih mengutamakan bersafari, berkampanye dengan menyanyi untuk mempertahankan kursi dan kekuasaan partai. Itu pula yang dilakukan oleh jajaran menterinya, tak terkecuali menteri yang seharusnya bertanggung jawab secara langsung untuk mengurus kesejahteraan buruh migran.

Cermin kegagalan Jika direfleksikan secara mendalam, di balik fenomena buruh migran, sesungguhnya mencerminkan kegagalan pemerintah secara nasional dalam upaya menghidupkan ekonomi dan menyejahterakan warga negara. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat dibiarkan dikuasai asing. 
Lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas dan kebanyakan tidak dapat diakses oleh rakyat miskin tidak berpendidikan. Pertumbuhan ekonomi begitu rendah, sedangkan pada saat yang sama populasi penduduk terus bertambah.

Aldo Matteucci (2007) mengatakan ada empat alasan yang mendorong orang untuk bermigrasi secara internasional. Yaitu, wealth (kemakmuran), weather (cuaca), water (air), dan warfare (perang/konflik). Terdorong untuk mencari kemakmuran, kesejahteraan (wealth) itulah maka sangat masuk akal bila kemudian banyak perempuan miskin di desa-desa yang bermigrasi mencari kehidupan lebih baik di luar negeri. Ya, menjadi buruh migran untuk membiayai diri dan keluarganya karena kondisi dalam negeri tak mendukung harapan itu.

Dalam perspektif teori neoklasik, pilihan tersebut sangat realistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang minim, mereka harus mencari uang. Pekerjaan di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerjaan kasar lainnya terbuka lebar meskipun memiliki risiko besar.

Diperkirakan, setidaknya terdapat 6,5 juta tenaga kerja kita yang berkerja di luar negeri. Dari cucuran keringat dan tetesan air mata buruh migran tersebut, sejumlah pakar menghitung bahwa negara memperoleh keutungan devisa sebanyak Rp 80 triliun per tahun. Meski demikian, dari waktu ke waktu, komitmen politik dan jaminan perlindungan negara terhadap buruh migran jauh dari memadai dan bahkan cenderung diabaikan. Pemerintah sangat pelit dalam memberikan bantuan dan pertolongan saat mereka sedang membutuhkan.

Padahal, memperjuangkan dan membela buruh migran juga berarti membela dan mempertahankan kehormatan serta harga diri bangsa Indonesia. Keberadaan mereka di luar negeri tak bisa tidak mempresentasikan dan mewakili citra Indonesia di negara tersebut. Jika harga diri buruh migran dilecehkan dan nyawa mereka begitu tak berharga, sesungguhnya martabat dan harga diri bangsa demikian terinjak-injak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar