Mafia
Rhenald Kasali ; Guru
Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 27 Maret 2014
ANDA
pernah membaca novel The Godfather
karya Mario Puzo? Best seller
1970-an dan 1980-an itu adalah salah satu novel favorit saya. Selain itu,
Mario Puzo -yang kelahiran Manhattan, New York, Amerika Serikat- juga
merupakan salah seorang novelis favorit saya. Hampir semua novelnya saya
baca. Berkat novel itu, Italia -terutama Kota Sisilia- disebut sebagai negeri
para mafia
The Godfather berkisah tentang persaingan
Keluarga Corleone dalam menghadapi tokoh-tokoh mafia papan atas di Amerika
Serikat. Novel itu kemudian diangkat ke layar perak dalam bentuk trilogi.
Sekuel
pertama film itu meraih penghargaan Oscars sebagai Film Terbaik pada 1972.
Pemeran utamanya, Marlon Brando, juga meraih penghargaan Oscars sebagai Aktor
Terbaik. Namun, ketika itu Marlon Brando menolak penghargaan tersebut sebagai
bentuk protes terhadap perlakuan buruk yang diterima penduduk asli Amerika
dari industri perfilman negeri itu.
Melalui
novel itulah istilah yang terkait dengan mafia untuk kali pertama
diperkenalkan. Di depan tokoh-tokoh mafia, Don Vito Corleone, kepala keluarga
Corleone, menyebut istilah sonna cosa
nostra yang artinya kita urus dunia kita sendiri. Maksudnya, mafia akan
mengurus dunianya dengan aturan yang mereka buat sendiri. Mereka tidak akan
tunduk pada aturan hukum yang dibuat pemerintah.
Di
negara kita, mafia juga menyebar ke mana-mana, di berbagai sektor bisnis.
Salah satunya, mungkin Anda pernah mendengar istilah mafia garam? Kalau
belum, begini duduk ceritanya.
Pada
1936, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sewa paksa lahan garam di tiga
kabupaten di Madura sepanjang 50 tahun. Sesuai dengan kontrak, semestinya
pada 1986 masa sewa paksa berakhir dan lahan tersebut dikembalikan kepada
petani garam. Kenyataannya tidak begitu. Pemerintah malah menyerahkan lahan
tersebut ke PT Garam. Maka, jadilah BUMN itu mengelola ladang garam seluas
5.500 hektare.
Masalah
mencuat karena kinerja PT Garam ternyata jauh dari harapan. Dengan memakai
teknologi yang katanya canggih, perusahaan tersebut hanya mampu memproduksi
35-40 ton garam per hektare sekali panen. Padahal, dengan teknologi yang jauh
lebih sederhana, para petani garam di sana mampu menghasilkan 125-150 ton
garam per hektare per panen.
Masalah
berikutnya, dari seluruh lahan garam yang dikuasai PT Garam, seluas 85 persen
malah tidak digarap. Kenyataan itu menjadi pahit kalau dihadapkan pada fakta
bahwa negara kita masih kekurangan pasokan garam. Setiap tahun kita
membutuhkan 1,6 juta ton garam, sedangkan kemampuan produksinya jauh di bawah
itu. Akibatnya, setiap tahun kita mesti mengimpor garam dalam jumlah besar.
Politik Transaksional
Selain
mafia garam, kita punya banyak mafia lain. Misalnya, ada mafia gula. Mafia
itu melakukan lobi untuk membuat regulasi yang sesuai dengan keinginan
mereka. Misalnya, selama ini impor gula hanya bisa dilakukan importer
terdaftar dan mereka ingin mengubahnya agar boleh dilakukan oleh importer
umum. Mafia itu juga melobi agar pasar gula yang selama ini terbagi dua,
yakni gula konsumsi dan gula industri, kelak disatukan saja. Dengan demikian,
mereka lebih leluasa dalam mengimpor gula.
Kita
tentu tidak ingin negeri ini dikendalikan para mafia. Namun, perubahan ke
arah sana pasti tidak mudah, terutama di tengah sistem politik kita yang
masih transaksional dan rendahnya kualitas politisi yang tak menyadari
partainya mulai disandera para mafia. Apalagi mesin birokrasi kita masih
bergaya ''kalau bisa diperlambat,
mengapa harus dipercepat''. Kecuali bila ada ''pelumasnya''.
Tapi,
saya yakin, untuk membuat negeri ini berubah, kita tidak membutuhkan terlalu
banyak orang. Jika 3-5 persen saja dari seluruh komponen bangsa ini mau
bersama-sama bergerak untuk melakukan perubahan, pasti akan terjadi
perubahan. Salah satu perubahan itu adalah tidak membiarkan negeri ini
dikendalikan para mafia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar