Jokowi
dalam Rasionalitas Pemilih
Reza Indragiri Amriel ;
Analis
pada SMI Quadrant
|
SINAR
HARAPAN, 27 Maret 2014
Dibandingkan
calon-calon presiden lainnya, Joko Widodo (Jokowi) bisa jadi memang tidak
memiliki kekuatan visi yang setara. Kemasan pemikirannya dipandang kurang
kompleks, nyaris tidak ada program prioritas dengan landasan konseptual,
multidimensional, dan berwawasan global yang solid. Sebaliknya, seperti
dinilai banyak kalangan, gaya kepemimpinan Jokowi terkesan hit and run, terlalu mikro, dan
reaksioner.
Tambahan
lagi kemampuan bicara Jokowi yang sangat seadanya, plus penampilan
lahiriahnya yang ala kadarnya, banyak orang menyangsikan kesiapan Jokowi
menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di negeri dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia. Ringkasnya, di mata sebagian masyarakat,
Jokowi terlihat kurang canggih menjadi presiden Indonesia.
Saat
yang sama, para pesaing Jokowi justru memperlihatkan kedahsyatan mereka dalam
merumuskan rencana aksi, visi, bahkan filosofi hingga sedemikian impresif.
Persoalannya, siapa bilang konstituen adalah manusia-manusia rasional?
Proses
berpikir rasional, dalam perspektif psikologi-ekonomi, adalah proses kerja
kognitif yang sangat rumit lagi komprehensif. Dengan ragam berpikir yang
rasional, manusia diasumsikan akan menyerap sebanyak mungkin informasi, lalu
menyaringnya setahap demi setahap, hingga akhirnya menjatuhkan keputusannya
pada pilihan yang dianggapnya terbaik.
Asas
rasionalitas kognitif tersebut menghasilkan rumusan bahwa, semakin banyak
informasi yang diolah individu, semakin baik pula mutu keputusannya kelak.
Agar mampu mengerahkan rasionalitasnya sedemikian rupa, tak pelak individu
membutuhkan pasokan energi dalam jumlah besar dan ketersediaan waktu yang
banyak.
Bila
konstituen diyakini memutar otak sekeras itu sebelum menetapkan pilihannya
pada calon presiden tertentu, setiap calon presiden memang perlu menyuplai
para pemilih dengan sebanyak mungkin informasi atau pengetahuan tentang
portofolio mereka.
Konkretnya,
formula visi dan pilar-pilar kepemimpinan lainnya menjadi sesuatu yang harus
dirumuskan secara matang, kemudian disampaikan ke khalayak luas. Jika itu
diabaikan, sama artinya dengan membatasi kemungkinan konstituen menerima lalu
mengolah informasi secara luas. Padahal, sekali lagi, asupan informasi
merupakan prasyarat bagi konstituen agar kelak mantap mencoblos gambar calon presiden
(dan wakil presiden) terbaiknya.
Sayangnya,
asumsi bahwa konstituen adalah manusia rasional
tampaknya merupakan utopia. Di tengah ketidakpuasan masif terhadap
pemerintah yang berkuasa saat ini, ditambah sudah banyaknya isu keseharian
yang harus dipikirkan setiap warga, seberapa banyak pemilih yang sudi ataupun
sanggup membaca secara cermat jalan pengetahuan tentang visi dan segala
cengkunek lainnya yang disuguhkan para calon presiden?
Betapa
pun informasi tentang hal-hal tersebut penting, relevan,
dan—mungkin—bermanfaat, seberapa banyak pula waktu yang tersedia bagi para
pemilih untuk mempelajari satu per satu para petarung pemilihan presiden
mendatang?
Alhasil,
alih-alih rasional, jauh lebih besar kemungkinan setiap konstituen akan
memilih calon presidennya kelak dengan pendekatan berpikir jalan pintas (heuristic, mental shortcut). Informasi
yang dibutuhkan sebagai modal untuk mengenal presiden Indonesia mendatang
tidak perlu banyak. Cukup seadanya, sesuai sisa tenaga yang bisa dikerahkan
si pemilih. Waktunya pun tidak banyak, alias sepintas lalu saja.
Apakah
kemudian keputusan konstituen yang didahului simplisitas kognitif itu akan
berkualitas rendah? Lebih konkret lagi, apakah jalan pintas nalar konstituen
akan menghasilkan presiden yang tak keruan?
Belum
tentu. Sebagian ilmuwan bermazhab heuristic
justru yakin, informasi yang terbatas atau sedikit bisa atau bahkan lebih
bisa diandalkan untuk menghasilkan keputusan bermutu tinggi.
Mekanisme
berpikir ala jalan pintas tersebut sebenarnya linear dengan realita bahwa, di
tengah animo berpolitik yang tak setinggi masa silam, publik ingin memastikan
aspirasi mereka terekspresikan secepat-cepatnya.
Mereka
tidak mau berkutat pada proses kerja politik yang panjang. Kondisi psikis
sedemikian rupa sungguh-sungguh terfasilitasi media sosial. Twitter dan Facebook
menjadi ganti poster, spanduk, surat pembaca, dan petisi. Berunjuk rasa
sebagai “parlemen jalanan” sudah
kian kehilangan pesonanya, tergeser oleh “parlemen
netizen” dengan berbagai kelebihannya.
Terbukti,
dalam pantauan PoliticaWave,
percakapan tentang Jokowi yang sebelumnya berkisar antara 20.000-40.000 per
harinya, melonjak ke angka sekitar 165.000 per harinya “hanya” dipicu
pendeklarasian wong Solo itu sebagai calon presiden. Tendensi konstituen yang
kian mencandu proses berpikir potong kompas, berpapasan dengan perkembangan
dunia media sosial, dan bersimpul pada sosok Jokowi.
Betapa
pun blusukan dipandang sebagai gaya kepemimpinan “tingkat rendah”, kontras dengan kecanggihan yang diperagakan
para calon presiden lainnya seperti diuraikan di atas, blusukan adalah sebuah
perilaku yang kasat mata, berlangsung saat ini, dan berdurasi singkat.
Sebagai sebuah informasi, ketiga ciri tersebut menjadikan blusukan
benar-benar pas dengan selera dan stamina kognitif konstituen.
Jokowi,
tak tertolakkan, tampil sebagai informasi yang jauh lebih mudah dicerna otak
konstituen. Pemunculan imajinasi tentang blusukan yang berlangsung otomatis
saban kali mendengar maupun membaca nama Jokowi, merupakan ilustrasi betapa
kuatnya kini konstituen terbelenggu dalam availability bias.
Sisi
positifnya, peluang Jokowi untuk menjadi produk keputusan terbaik pun kian
meninggi, terlepas ketepatan kata “terbaik” tetap merupakan sebuah
permasalahan tersendiri.
Secara
sinis, masyarakat bisa mengomentari tampilnya Jokowi sebagai wujud
kontra-pencerdasan politik konstituen. Kalaulah harus disebut kedangkalan,
yang terefleksikan oleh figur Jokowi tersebut seperti melecehkan pernyataan
bahwa “Solo bisa diatasi dengan
blusukan, tapi tidak dengan Jakarta, apalagi Indonesia”.
Dengan timbunan
problematika bangsa seperti sekarang, daya pukau Jokowi justru terletak pada
antitesisnya terhadap kecermatan berpikir sebagai keharusan sebelum memilih
calon pemimpin nasional.
Tentu,
dari kacamata awam, produk pemikiran heuristic
sering dianggap sepele. Tidak sehebat pembuatan keputusan berbasis
rasionalitas yang kompleks. Namun, andai dukungan bagi Jokowi sudah kadung
bulat sempurna, tersisa asa bahwa less
is more akan menemukan tuahnya.
Terlalu
cepatnya publik menambatkan hati pada Jokowi, sebagaimana begitu cepatnya
Jokowi melesat ke kedudukan tertinggi di jagad politik nasional,
mudah-mudahan selaras dengan slogan Jusuf Kalla “lebih cepat, lebih baik” tanpa diakhiri dengan tanda tanya. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar