Model
Iuran JKN
Satrio Wahono ; Pengajar
FE Universitas Pancasila
|
REPUBLIKA,
25 Maret 2014
Pada 1 Januari 2014 lalu
Indonesia membuka babakan baru bagi pemenuhan kesejahteraan warganya. Itulah
momen ketika negara memberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lewat
Askes sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini sungguh melegakan.
Apalagi dalam sistem ekonomi pasar, program seperti JKN mutlak sebagai bemper
untuk membantu nasib kaum yang tergilas oleh persaingan pasar sehingga mereka
bisa tetap mempunyai daya beli yang di perlukan bagi satu sistem ekonomi. Hanya
saja, tetap ada yang perlu dikritisi dari pelaksanaan JKN ini, utamanya dari segi
iuran yang harus dibayar rakyat sebagai peserta program asuransi sosial ini.
Tiga prinsip
Merujuk Dinna Wisnu (Politik Sistem Jaminan Sosial, Gramedia,
2010, halaman 26), ada tiga prinsip penarikan iuran dalam satu program
asuransi sosial yang diselenggarakan negara. Pertama, prinsip Beveridge alias
prinsip pasar. Menurut prinsip ini (yang namanya diambil dari ekonom Inggris
pelopor sistem jaminan sosial di sana), jaminan sosial didanai pemerintah lewat
pajak. Rakyat tak perlu menerima tagihan atas layanan kesehatan. Karena
mengandalkan pajak maka iuran ini meniscayakan porsi jumbo proporsi upah yang
dipotong, yaitu berkisar 20 hingga 50 persen.
Kedua, prinsip Bismarck (diambil
dari nama kanselir Jerman penggagas sistem jaminan sosial nasional). Berdasarkan
prinsip ini, jaminan sosial didanai bersama-sama oleh pemerintah, pengusaha,
dan pekerja. Subsidi iuran diberikan hanya untuk golongan tak mampu atau
kalangan yang dianggap penting, seperti militer.
Ketiga, prinsip pasar, seperti
dilakukan oleh Medicare di Amerika Serikat (AS). Jaminan sosial didanai oleh
iuran pekerja dan pengusaha saja, dikelola oleh lembaga swasta, tetapi ada
aturan pemerintah yang menjadi patokan pengelolaan.
Lalu, bagaimana Indonesia? Sebagaimana
disosialisasikan pemerintah lewat berbagai iklan layanan masyarakat, JKN
merupakan satu program yang wajib diikuti semua warga masyarakat tanpa
terkecuali. Adapun para peserta JKN terbagi-bagi lagi. Ada peserta dari
kalangan pegawai formal yang bekerja di lapangan pekerjaan formal, ada dari
kalangan profesional atau pekerja informal, dan ada dari golongan tak mampu.
Berdasarkan kategori peserta
maka program JKN mensyaratkan peserta menjadi pengiur. Artinya, semua peserta
wajib mengiur untuk mengikuti JKN. Peserta dari kalangan pegawai formal akan
mengiur bersama-sama dengan perusahaan. Pekerja informal atau profesional
harus membayar iuran penuh. Terakhir, pengiur yang berasal dari kalangan tak
mampu akan diberikan subsidi oleh pemerintah.
Dengan kata lain, Indonesia
lebih memilih prinsip Bismarck dalam menarik iuran sebagai sumber pendanaan
JKN, mengikuti jejak Jerman, Perancis, Belanda, dan Swiss. Inilah yang perlu
dikritisi. Sebagai contoh, salah sasaran adalah isu klasik yang kerap mendera
program bantuan sosial di Indonesia.
Sering kali, orang mampu justru
menerima bantuan subsidi, sementara mereka yang miskin atau tidak terdaftar
sebagai penduduk--karena mereka warga pendatang yang belum memiliki KTP,
misalnya dinyatakan tak berhak mendapatkan subsidi sehingga harus membayar iuran
JKN.
Isu lain lagi, pekerja informal
seakan menjadi warga negara kelas dua atau "tengah-tengah". Sebab,
di satu sisi mereka tidak berhak menerima subsidi karena dianggap memiliki pekerjaan.
Di sisi lain, mereka tidak memiliki atasan atau pihak pemberi pekerjaan (employer) untuk ikut menanggung iuran
mereka. Padahal, mayoritas kaum pekerja di Indonesia adalah pekerja informal.
Parahnya lagi, tidak semua dan justru banyak tenaga kerja informal yang
pendapatannya minim dan pas-pasan untuk bertahan hidup semata, apatah lagi
untuk membayar iuran JKN. Kelompok ini pun menanggung beban ganda dan
mengalami ketidakadilan.
Mengingat potensi ketidakadilan
dan masalah sebagaimana disebut di atas, prinsip Bismarck sejatinya kurang
cocok diterapkan di Indonesia. Menurut hemat penulis, Indonesia bisa
mengatasi isu-isu di atas dengan menerapkan prinsip Beveridge, seperti di terapkan
di Inggris, Spanyol, Selandia Baru, dan negara-negara Skandinavia. Artinya,
pemerintah harus memajaki lebih tinggi kalangan berpendapatan menengah ke
atas untuk memberikan subsidi silang kepada sesama warga negara yang kurang
mampu. Dengan kata lain, penghitungan iuran JKN akan lebih simpel karena
masyarakat tidak perlu lagi mendapati penghasilannya dipotong ganda oleh
pajak plus iuran JKN. Tetapi, cukup masyarakat membayar pajak saja, dengan
masyarakat kelas menengah ke atas membayar pajak lebih tinggi.
Sepintas terkesan kurang adil,
tetapi, redistribusi kekayaan dan pendapatan akan lebih terjamin sekaligus
mengurangi kesenjangan ekonomi. Juga, menjamin terciptanya satu sistem
sosialekonomi yang lebih berkeadilan.
Kita bisa merujuk prinsip
keadilan yang terkenal dari teoretikus politik masyhur, John Rawls (A Theory of Justice, Oxford University
Press, 1973, halaman 83), "ketidaksamaan
atau kebijakan diskriminatif itu sah selama itu menguntungkan secara maksimal
golongan yang paling tertinggal"
Aspek historis
Apalagi prinsip Beveridge ini
juga diterapkan di Inggris, yang secara historis merupakan kiblat bagi
pelaksanaan JKN di Indonesia. Sebab, pendiri Askes sekaligus mantan menteri
Kesehatan Gerrit Agustinus Siwabessy memang terinspirasi dari studinya terhadap
sistem kesejahteraan di bidang kesehatan di Inggris ketika beliau bertugas
mengurusi satu bangsal di Rumah Sakit Hammersmith, London. Dengan kata lain, grand design awal Askes memang
mengambil model dari Inggris, yang menerapkan prinsip Belveridge.
Dalam hal ini, kebijakan
diskriminatif (inequalities)
memajaki lebih tinggi kelas berpendapatan menengah ke atas menjadi sah selama
hasil pajak itu digunakan untuk menalangi iuran golongan tak mampu dan kelas
pekerja informal berpendapatan pas-pasan. Dengan begitu, semoga pelaksanaan
JKN dapat berjalan lebih optimal untuk menciptakan rasa aman dan keadilan
bagi seluruh masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar