Hikmah
Samuel Mulia ; Penulis
Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
30 Maret 2014
”Loss has been part of my journey. But it has also
shown me what is precious. So has love for which I can only be grateful.” Kalimat
penutup dalam film Message in a Bottle
itu membuat saya berpikir, mengapa saya selalu mencari rasionalisasi untuk
semua kekecewaan yang saya terima dalam hidup ini.
Lara
Waktu
ayah saya meninggal, seorang kerabat mengatakan kalau saya tak perlu bersedih
terlalu lama, karena ayah sudah berada bersama Tuhan. Saya tahu pasti,
kalimat itu memiliki tujuan untuk memberi penghiburan. Apakah penghiburan itu
datang dari lubuk hatinya, atau sekadar bibirnya bergerak, saya juga tidak
tahu.
Yang
jelas, penghiburan itu malah menjengkelkan saya. Pertama, saya berhak
merasakan kesedihan tanpa butuh dihibur. Saya perlu merasakan kekesalan yang
dalam karena saya tak menerima ayah meninggal.
Kedua,
alangkah tidak tepatnya menghibur orang yang sedang tak membutuhkan
penghiburan. Kemampuan mendiamkan mulut agar tak bersuara itu, memang perlu
kepekaan yang tinggi.
Ketiga,
dari mana ia tahu bahwa bapak saya sudah bersama Tuhan? Kalaupun kerabat saya
itu memiliki iman yang luar biasa, bukankah keputusan masuk surga atau tidak
ada di tangan Tuhan?
Kejadiannya
selalu demikian. Penghiburan dijadikan solusi kesedihan. Pengalaman berharga
dijadikan antidot kehilangan. Kegagalan selalu dikatakan sebagai keberhasilan
yang tertunda.
Mengapa
saya tak pernah berani mengatakan perjalanan hidup saya memang tak pernah
berhasil tanpa embel-embel mencari hal yang positif di baliknya? Dan
pernyataan klise yang sering kali saya dengar dan sungguh membosankan, adalah
”pasti ada hikmahnya.”
Ada
seorang teman yang selalu mengatakan kalimat ampuhnya, kamu pasti sembuh,
kalau ia melihat seseorang sedang sakit. Kesembuhan sudah menjadi milikmu,
katanya suatu hari. Singkat cerita, teman yang sakit itu meninggal dunia.
Kemudian
ia mengatakan begini. Meninggal itu sebuah kesembuhan. Kesembuhan tak selalu
bersifat fisik, pembebasan rasa sakit adalah kesembuhan. Semua ada hikmahnya.
Komentarnya itu sungguh membuat saya naik pitam.
Selalu
saja diusahakan mendapatkan alasan dari sebuah kejadian buruk, selalu
diusahakan mencari pembenaran untuk sebuah masalah. Kemudian saya bertanya,
mengapa harus demikian?
Pelipur lara
Loss has been part of my journey. Loss itu
enggak enak. Titik. Apa pentingnya kalimat itu dilanjutkan dengan: it has also shown me what is precious?
Kemudian saya berpikir, jangan-jangan setiap kali saya mencoba melihat hikmah
di balik kegagalan atau kekecewaan, itu hanya karena saya takut menerima dan
mengalami kenyataan yang pahit.
Karena
pahit saya mencari alat pelipur lara yang super bijaksana yang sangat bisa
diterima akal sehat. Bisa jadi yang saya lihat dalam sebuah hikmah hanyalah
sebuah fatamorgana. Tetapi sejauh fatamorgana itu bersifat melipur lara,
yaa...mengapa tidak?
Pada
saat ayah meninggal dan saya begitu kesalnya sampai beberapa minggu lamanya,
teman saya berkata begini. ”Kalau elo
marah dan kesal terus, emang babe lo idup lagi? Enggak kan?”
Saya
tahu bapak saya tak akan hidup lagi, tapi permasalahannya mengapa orang
selalu menganjurkan saya untuk tidak meluapkan rasa kekesalan dengan
menerima. Kenapa harus demikian? Mengapa mereka tak membiarkan saya menerima
rasa kesal dan menyalurkannya dalam bentuk amarah meski itu tak membuat ayah
saya hidup lagi?
Bahwa
pada akhirnya, saya bisa melihat bahwa kejadian itu memberi hikmah dan
bernilai, itu hal nomor dua. Lama-lama saya jadi berpikir, keseringan mencoba
mencari hikmah malah membuat saya semakin terlihat sebagai seorang loser.
Kalau
mengambil contoh film lawas di atas itu, saya akan bersyukur bahwa saya
memiliki cinta, tetapi kalau saya sampai mengatakan bahwa loss has been part of my journey,
mengapa saya harus bersyukur menjadi loser
setiap saat?
Dan
mengapa harus dilanjutkan dengan kalimat macam but it has also shown me what is precious? Atau kemudian pada
keadaan yang lain, saya menyalurkan rasa cinta yang besar itu pada sebuah
aktivitas sosial, misalnya.
Aktivitas
sosial tidak saya lakukan dalam bentuk pelarian. Saya harus membiasakan untuk
memberanikan diri menerima rasa pahit, rasa kehilangan. Menerima bahwa saya
memang gagal, dan kegagalan yang saya hadapi itu bukan sebuah keberhasilan
yang tertunda.
Saya
gagal memang karena saya tidak pandai. Ada yang pandai berhitung, ada yang
tidak pandai berhitung. Ada yang memiliki kepekaan keenam, saya kedua saja
tak punya. Saya memang gagal dan tidak berhasil. Titik.
Hikmah tidak untuk dicari dengan akal, tetapi dirasakan terjadi secara
alamiah saat keadaan buruk dihadapi. Dengan demikian, hikmah akan menjadi
sebuah pencerahan bukan sebuah pelipur lara yang masuk akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar