“Intimidasi”
Bahasa Politik
Surahmat ; Dosen
Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 28 Maret 2014
Sejak
lama bahasa menjadi instrumen kekuasaan. Lewat bahasa, memungkinkan
penaklukan dilangsungkan tanpa kekerasan. Pada era demokrasi, terlebih pada
hari-hari kampanye pileg di Jateng, bahasa menjadi faktor penentu penting
dukungan publik. Bahasa pula yang menentukan elektabilitas parpol, caleg, bahkan
capres.
Kondisi
ini tak bisa dilepaskan dari fungsi ganda bahasa sebagai alat komunikasi
sekaligus penanda identitas. Sebagai alat, bahasa berfungsi secara pragmatis,
ibarat kapal yang mengantar muatan makna ke benak publik. Sebagai penanda
identitas, bahasa melampaui fungsi harfiahnya. Sebagai identitas, bahasa
tidak sekadar kurir tapi pesan itu sendiri.
Fungsi
ganda itu membuat pemburu kekuasaan berupaya keras memberdayakan bahasa.
Mereka mempelajari secara khusus untuk kepentingan kekuasaan. Dari proses itu
lahirlah varian baru yang kita kenal sebagai ”bahasa politik”. Bahasa politik
berbeda dari bahasa keseharian, bahasa sastra, ataupun bahasa akademik.
Bahasa
keseharian adalah bahasa makna pertama, tak ada jarak semantik antara tuturan
dan maksud. Kalaupun ada penyimpangan makna, itu demi kepentingan etika,
melalui proses ameliorasi, eufimisme, atau kiasan. Jagat sastra menggunakan
bahasa tingkat kedua yang bersifat intepretatif. Adapun bahasa akademik lahir
untuk memenuhi dahaga kejujuran.
Makna Terselubung
Bahasa
politik punya kekhasan karena lahir dari rahim berbeda. Bahasa politik lahir
dari masyarakat terpelajar yang berupaya memperoleh kekuasaan. Tujuan bahasa
politik bukan sekadar menyampaikan pesan melainkan juga menggerakkan publik
untuk mengambil keputusan.
Bahasa
politik adalah bahasa lapis ketiga, keempat, kelima, dan bahkan ke-n (tak
berhingga). Dalam bahasa politik makna tidak bisa diperoleh hanya melalui
simbol tuturan karena tersimpan di ruang terselubung. Bahkan, bahasa politik
intertekstualitas dan kontekstualitas dapat mengubah makna sebuah tuturan
hingga sama sekali berbeda dari wujud leksikalnya.
Untuk
memahami bahasa dalam konteks demikian, Dell Hymes (Foundation of Sociolinguistics, 1974) menyarankan rumus SPEAKING.
Ia berargumen upaya mengungkap makna tuturan harus diimbangi upaya mengungkap
setting (latar fisik dan batin), participant (aktor), ends (tujuan akhir), act squences (urutan tindakan), keys (nada), instrument (saluran), norms
(norma), dan genre (jenis tutur).
Bahasa
politik tidak selalu berlumur kebohongan. Ada banyak informasi faktual dan
dapat dipercaya hadir dalam wacana politik kita. Namun, masyarakat juga perlu
mewaspadai, baik kebohongan maupun kejujuran dalam bahasa politik, selalu
berorientasi pada kekuasaan. Karena itu, upaya verivikasi bahasa politik
tidak boleh berhenti pada pemilahan jujur-bohong atau faktual-fiktif namun
pada motif penuturnya.
Sebagai
propaganda, bahasa politik tidak sekadar memahamkan publik tentang sebuah
realitas atau konsep. Sesudah itu, bahasa menciptakan kegelisahan, rasa
bersalah, rasa tidak berguna, bahkan rasa berdosa jika andai mengambil sikap
sesuai dengan anjuran politikus. Publik harus mengambil keputusan, bukan
karena kesadaran intelektualnya melainkan keinginannya untuk lepas dari rasa
takut itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar