Sabtu, 29 Maret 2014

“Intimidasi” Bahasa Politik

“Intimidasi” Bahasa Politik

Surahmat ;   Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Sejak lama bahasa menjadi instrumen kekuasaan. Lewat bahasa, memungkinkan penaklukan dilangsungkan tanpa kekerasan. Pada era demokrasi, terlebih pada hari-hari kampanye pileg di Jateng, bahasa menjadi faktor penentu penting dukungan publik. Bahasa pula yang menentukan elektabilitas parpol, caleg, bahkan capres.

Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari fungsi ganda bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus penanda identitas. Sebagai alat, bahasa berfungsi secara pragmatis, ibarat kapal yang mengantar muatan makna ke benak publik. Sebagai penanda identitas, bahasa melampaui fungsi harfiahnya. Sebagai identitas, bahasa tidak sekadar kurir tapi pesan itu sendiri.

Fungsi ganda itu membuat pemburu kekuasaan berupaya keras memberdayakan bahasa. Mereka mempelajari secara khusus untuk kepentingan kekuasaan. Dari proses itu lahirlah varian baru yang kita kenal sebagai ”bahasa politik”. Bahasa politik berbeda dari bahasa keseharian, bahasa sastra, ataupun bahasa akademik.

Bahasa keseharian adalah bahasa makna pertama, tak ada jarak semantik antara tuturan dan maksud. Kalaupun ada penyimpangan makna, itu demi kepentingan etika, melalui proses ameliorasi, eufimisme, atau kiasan. Jagat sastra menggunakan bahasa tingkat kedua yang bersifat intepretatif. Adapun bahasa akademik lahir untuk memenuhi dahaga kejujuran.

Makna Terselubung

Bahasa politik punya kekhasan karena lahir dari rahim berbeda. Bahasa politik lahir dari masyarakat terpelajar yang berupaya memperoleh kekuasaan. Tujuan bahasa politik bukan sekadar menyampaikan pesan melainkan juga menggerakkan publik untuk mengambil keputusan.

Bahasa politik adalah bahasa lapis ketiga, keempat, kelima, dan bahkan ke-n (tak berhingga). Dalam bahasa politik makna tidak bisa diperoleh hanya melalui simbol tuturan karena tersimpan di ruang terselubung. Bahkan, bahasa politik intertekstualitas dan kontekstualitas dapat mengubah makna sebuah tuturan hingga sama sekali berbeda dari wujud leksikalnya.

Untuk memahami bahasa dalam konteks demikian, Dell Hymes (Foundation of Sociolinguistics, 1974) menyarankan rumus SPEAKING. Ia berargumen upaya mengungkap makna tuturan harus diimbangi upaya mengungkap setting (latar fisik dan batin), participant (aktor), ends (tujuan akhir), act squences (urutan tindakan), keys (nada), instrument (saluran), norms (norma), dan genre (jenis tutur).

Bahasa politik tidak selalu berlumur kebohongan. Ada banyak informasi faktual dan dapat dipercaya hadir dalam wacana politik kita. Namun, masyarakat juga perlu mewaspadai, baik kebohongan maupun kejujuran dalam bahasa politik, selalu berorientasi pada kekuasaan. Karena itu, upaya verivikasi bahasa politik tidak boleh berhenti pada pemilahan jujur-bohong atau faktual-fiktif namun pada motif penuturnya.

Sebagai propaganda, bahasa politik tidak sekadar memahamkan publik tentang sebuah realitas atau konsep. Sesudah itu, bahasa menciptakan kegelisahan, rasa bersalah, rasa tidak berguna, bahkan rasa berdosa jika andai mengambil sikap sesuai dengan anjuran politikus. Publik harus mengambil keputusan, bukan karena kesadaran intelektualnya melainkan keinginannya untuk lepas dari rasa takut itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar