Roman
dan Diskriminasi
Bandung Mawardi ; Saudagar
Buku
|
TEMPO.CO,
27 Maret 2014
Seabad
silam, Marco Kartodikromo mempersembahkan roman berjudul Mata Gelap: Tjerita Jang Soenggoeh Kedjadian Ditanah Djawa,
Drukkerij Insulinde, Bandung. Ada pengisahan asmara, modernisasi, dan kuasa
uang. Roman menimbulkan polemik, menguak pelbagai persoalan genting di
Hindia-Belanda. Marco (1914:4) mendeskripsikan pertemuan kaum muda Bumiputera,
berlatar Semarang, 1910:
"Laloe
ketiga pemoeda itoe sama berdoedoekan diroemah makan itoe dan berkata-kata
dengan soeka hati. 'Bah! Minta stroop ijs,' kata Amtje jang kelihatan tjape
habis naik fiets, kepada Tjina pendjaga restauratie." Kalimat-kalimat
itu memicu polemik.
Penggunaan
sebutan Bah (Babah) dan Tjina mendapat tanggapan keras dari redaksi Tjoen
Tjhioe, "Roman itu, menoeroet
T.T., sangat rendah deradjatnja. T.T. sebenarnja malas oentoek mengoelas isi
roman itoe, tapi karena sang penoelis boekoe dipandang merendahkan deradjat
orang Tionghoa, maka T.T. angkat bitjara. Toedjoeannja agar kelak, Marco tak
mengoelangi perboatannja jang menjakiti perasaan bangsa Indonesia."
Kritik dijawab penjelasan gamblang. Marco menulis, "Apakah ada orang Tjina jang tida soeka kami panggil Babah atau Bah?
O! Tidak ada. Sebab kalaoe kami bertjampoer gaoel dengan orang Tjina, itoe
seseboetan kami goenakan, en toch tidak ada seorang jang menjangkal…"
Redaksi Tjoen Thjioe memberi protes, "Tapi
apa jang kami sesalken, jalah jang Redacteur Marco telah boeang perkataan
'orang' dimoeka perkataan "Tjina" dalem bagean kalimat: 'Kepada
Tjina pendjaga restauratie'… Mengertikah Marco?" (Hartanto, 2008: 122-127). Perdebatan
sengit mengingatkan kita pada sejarah diskriminasi di Indonesia.
Kita
perlu membuka halaman sejarah. Tionghoa Hwee Koan (THHK) dibentuk pada 7
Maret 1900, bermisi mengembangkan adat-istiadat dan memajukan pendidikan bagi
orang-orang Tionghoa. THHK dicurigai oleh pemerintah kolonial, dianggap
berkiblat ke Tiongkok. THHK menumbuhkan rasa nasionalisme revolusioner etnis
Tionghoa, peranakan dan totok, di Hindia-Belanda (Setiono, 2008:311). Kita
tentu bisa berimajinasi tentang efek roman bagi perdebatan berlatar gerakan
sosial, pendidikan, dan politik kalangan Tionghoa di Hindia-Belanda.
Mata
Gelap memicu polemik sengit, yang belum selesai sampai sekarang. Keppres
Nomor 12 Tahun 2014 berikhtiar merampungkan meski masih menimbulkan perbedaan
tafsir, mengacu pada sejarah politik, sastra, sosial, kultural. Sebutan Cina,
China, Tionghoa, Tiongkok telah memiliki jejak panjang dalam pelbagai teks
dan peristiwa. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tempo Doeloe (1982:6) menulis
dengan penjelasan terang agar tak ada kesalahan: "…sebutan Tionghoa dipergunakan secara umum setelah berhasilnya
aktivitas Tionghoa Hwee Koan, yang diikuti oleh kesadaran nasional Tionghoa
setelah 1900." Di dunia sastra, sebutan Tionghoa cenderung "gampang" dimengerti
ketimbang di dunia politik dan ekonomi.
Keinsafan
penghilangan diskriminasi melalui undang-undang dan peraturan perlu digenapi
dengan pemahaman di halaman-halaman sejarah dan sastra. Pembacaan teks-teks
sastra jadi referensi, sandaran kebermaknaan istilah. Marco telah memberi "sengatan" tentang kerawanan
bahasa dan makna. Roman telah mengingatkan dan mengajak kita untuk mengerti
sejarah diskriminasi di Indonesia mutakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar